Bunuh Diri di Gunung Kidul, Antara Mitos dan Kondisi Kejiwaan
2017.09.22
Gunung Kidul

Sugeng Riyanto (23) bersyukur mendapat kesempatan hidup setelah pernah mencoba bunuh diri. Tekad menatap masa depan dan berbakti kepada sang ibu membuatnya bangkit dan berubah menjadi pribadi yang tegar.
Di sela kesibukan bekerja di Kantor Desa Bejiharjo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sugeng menyempatkan diri membantu ibunya mengurus kebun dan ternak.
“Kemarin baru selesai mencangkul karena sudah mau memasuki masa tanam,” tuturnya sembari menunjuk kebun di samping rumahnya.
Sugeng menyadari apa yang dilakukannya, tahun lalu, yaitu mencoba mengakhiri hidup dengan gantung diri adalah sebuah kesalahan fatal hanya karena sakit sesak nafas yang dideritanya.
Nasib berkata lain. Patahnya kayu penyangga karena rapuh yang tak mampu menopang saat Sugeng menggantung diri ternyata membuka pikiran dan kesadarannya.
Tangisan ibunya saat tahu Sugeng ingin bunuh diri membuatnya sadar bahwa dia begitu berarti, terutama bagi sang ibu yang sudah renta.
Ia mendapat pendampingan psikiater dan perawatan medis sepuluh hari. Ia sadar apapun masalah, seberat apapun pasti ada solusi jika mau berbagi kepada keluarga terdekat.
“Bunuh diri bukan solusi, semua orang punya masalah, tapi bisa diatasi, kuncinya adalah komunikasi,” ungkapnya kepada BeritaBenar, Kamis, 21 September 2017.
Ia kini aktif di organisasi kepemudaan di desa sehingga merasa orang-orang sekitar menghargainya.
Angka bunuh diri tinggi
Kabupaten Gunung Kidul dihuni sekitar 756.000 penduduk. Sekitar 241 ribu warga setempat bermata pencaharian sebagai petani dan peternak.
Menurut data kepolisian yang dirangkum Lembaga Swadaya Masyarakat Inti Mata Jiwa (IMAJI), terdapat 458 kasus bunuh diri dari tahun 2001 hingga 2016. Dengan kata lain, rata-rata terjadi 28-29 kasus dalam setahun.
Sejak Januari 2017 hingga Mei 2017, tercatat 18 kejadian bunuh diri. Sebanyak 73 dari 84 kasus selama 2015-2017, bunuh diri dilakukan dengan cara gantung diri, dan lima orang yang berhasil diselamatkan.
Sementara itu menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 setidaknya ada 812 kasus bunuh diri di seluruh Indonesia
“Bunuh diri adalah peristiwa kemanusiaan, dan sangat memprihatinkan karena belasan tahun tidak ada pengurangan signifikan,” jelas ketua IMAJI, Joko Yanu Widiasto kepada BeritaBenar.
Hasil visum et repertum diketahui beberapa faktor bunuh diri dalam tiga tahun terakhir yaitu depresi (43 %), sakit fisik menahun (26 %), gangguan kejiwaan (6 %), masalah ekonomi (5 %), masalah keluarga (4%). Sedangkan 16 % tak bisa diidentifikasi.
Tabir mitos ‘pulung gantung’
Sigit Wage Dhaksinarga, warga asli Gunung Kidul yang telah mengamati kasus bunuh diri di Gunung Kidul sejak tahun 1995 menjelaskan, pihak keluarga sering menjawab pulung gantung sebagai alasan di balik kejadian itu.
Pulung gantung dijabarkan sebagai pijaran bola api terbang ke rumah orang yang bunuh diri, Pijaran bola api diartikan sebagai wahyu. Lalu, orang yang disebut-sebut melihatnya melakukan bunuh diri dengan gantung diri.
“Tapi sampai sekarang belum ada yang bisa membuktikan wujud visual pulung gantung, meski setelahnya selalu diikuti dengan pencarian gelu di bawah lokasi gantung diri,” ujar Wage.
Gelu adalah bulatan tanah yang dipercaya ada di bawah lokasi gantung diri. Jumlahnya biasanya tiga yang kemudian dipakai sebagai penyangga jenazah saat dikuburkan.
“Saat dicari, tidak pernah ketemu, tetapi ada saja yang mengaku mendapatkan gelu. Tak bisa dipastikan kebenarannya sebab tidak pernah diserahkan untuk diteliti apa memang gelu dengan kadar tanah tertentu atau hanya tanah biasa yang dibulatkan,” ujar Joko.
Terkait gantung diri yang jadi sarana mengakhiri hidup, Joko melihat lebih dipengaruhi kondisi sosial warga agraris dan gantung diri dirasa paling mudah karena menggunakan peralatan pertanian dan peternakan yang banyak tersedia di lingkungan warga.
Sugeng mengaku tak pernah melihat pulung gantung. Alasannya ingin mengakhiri hidup karena merasa tak berguna akibat sakit-sakitan ditambah tidak ada pekerjaan.
Joko dan Wage sependapat mitos pulung gantung sengaja dimunculkan guna mengubah citra bunuh diri negatif menjadi positif, dari aib menjadi kejadian tak terelakkan karena berkaitan dengan wahyu dan takdir.
Dari pengamatan yang dilakukan IMAJI ketika ada sosialisasi terkait penyebab dan untuk mengetahui gejala orang berpotensi melakukan bunuh diri, respon warga sangat negatif terhadap mereka yang mengakhiri hidupnya.
“Mereka hanya melihat bunuh diri menimpa siapa saja yang sebenarnya bisa dicegah jika dikenali gejalanya sehingga mendapat pertolongan dan tak terjadi lagi kasus bunuh diri,” ujar Joko.
Sosialisasi penyadaran masyarakat terkait masalah bunuh diri oleh Satuan Tugas Berani Hidup di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, 18 September 2017. (Dok. IMAJI)
Satgas berani hidup
Saat peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, 10 September 2017, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul mendeklarasikan Satuan Tugas (Satgas) Berani Hidup, untuk merespon kasus bunuh diri yang relatif tinggi.
“Satgas bertujuan membuat kita semua berada dalam satu sinergi,” terang Wakil Ketua Satgas Berani Hidup, Ida Rochmawati.
Ida yang telah bertugas belasan tahun di Gunung Kidul sebagai dokter ahli kejiwaan atau psikiater dan melakukan penelitian tentang bunuh diri selama 2006-2011 melihat bahwa kasus itu berkaitan dengan faktor kejiwaan, yang kemudian dipengaruhi kondisi sosial, ekonomi, biologis dan berbagai faktor lain yang sangat kompleks.
“Karena menurut studi literatur, faktor resiko orang bunuh diri adalah depresi. Depresi sebenarnya gangguan jiwa yang bisa dialami setiap orang,” katanya.
Satgas juga bertujuan membangkitkan kesadaran bahwa bunuh diri merupakan masalah bersama dan bukan disebabkan oleh mitos pulung gantung.
“Bunuh diri adalah potret orang yang tak menemukan jalan hidup, potret keputusasaan, karena nggak ada seorang pun ingin mati,” pungkas Ida.