Satu dari Tiga Buronan MIT Tewas Ditembak
2022.04.28
Palu

Kepolisian di Sulawesi Tengah pada Kamis (28/4) memastikan satu dari tiga anggota kelompok militan bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang masih menjadi buronan tewas ditembak petugas keamanan di Kabupaten Parigi Moutong.
Suhardin alias Hasan Pranata tewas dalam upaya penyergapan di Desa Salubanga, Kecamatan Sausu pada Rabu sekitar pukul 13.20 WITA, kata Kapolda Sulawesi Tengah Inspektur Jenderal Polisi Rudy Sufahriadi.
“Jenazah itu adalah (buronan) atas nama Suhardin alias Hasan Pranata,” terangnya dalam keterangan kepada jurnalis di Parigi Moutong.
Rudy menjelaskan Suhardin ditemukan oleh Satgas yang tengah patroli, tapi saat diminta untuk menyerahkan diri, dia melakukan perlawanan.
“Suhardin melemparkan body vest (rompi) berwarna loreng ke satgas yang diduga berisi bom rakitan. Setelah itu satgas menembak hingga Suhardin (hingga dia) tewas di tempat,” paparnya.
Rudy menyebutkan Suhardin dan dua anggota lainnya dari kelompok yang telah berbaiat kepada jaringan ekstrem Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu sebelumnya memang sudah sempat dikejar oleh satgas di wilayah Salubangan pada Senin, namun mereka meloloskan diri.
Sita amunisi dan bom
Rudy mengungkapkan jenazah Suhardin langsung dibawa ke Palu untuk diidentifikasi di rumah sakit Bhayangkara Polda Sulteng.
Di tempat kejadian petugas menemukan sejumlah barang milik Suhardin, termasuk 17 peluru kaliber 5,56 mm dan satu buah bom rakitan.
Rudy mengharapkan dua anggota MIT yang masih tersisa - Askar alias Jaid dan Nae alias Galuh - segera menyerahkan diri.
“Kalau tidak, satgas masih akan terus memburu mereka hingga dapat,” imbuhnya.
Dimakamkan di Palu
Jenazah Suhardin langsung dimakamkan di Palu setelah diidentifikasi, kata juru bicara Polda Sulawesi Tengah Kombes Didik Supranoto.
“Jenazah hari ini juga dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Poboya di Palu,” katanya kepada BenarNews.
Menurut Didik, pihak keluarga Suhardin yang berada di Poso sudah diberitahu tentang kematian dan pemakaman Suhardin.
“Istri Suhardin sudah mengetahui. Dan dia lagi perjalanan ke Palu untuk dimintai keterangan juga,” tegasnya.
Berdasarkan data yang dirilis Polda Sulteng, Suhardin diketahui lahir pada 26 Februari 1985. Ia sebelumnya bermukim di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Saat di sana, Suhardin pernah ditangkap karena terlibat kerusuhan Mamasa – yang dipicu oleh konflik antara komunitas Islam dan Kristen pada 2004 dan diperuncing oleh isu pemekaran daerah. Ia ditangkap dengan tuduhan kepemilikan senjata api.
Seusai menjalani hukuman terkait kerusuhan Mamasa, Suhardin kemudian pindah dan menetap di Kelurahan Moengko, di Kabupaten Poso.
Saat di Poso itulah pada tahun 2012, Suhardin bertemu dengan Santoso alias Abu Wardah, pimpinan utama MIT, yang menjadikan MIT sebagai kelompok militan pertama di Indonesia yang berbaiat kepada ISIS pada 2014.
Di bawah kepemimpinan Santoso, MIT sempat beranggotakan hingga 40-an orang termasuk sejumlah Muslim Uighur dari Xinjiang, China. Santoso tewas di tangan pasukan keamanan dalam baku tembak pada pertengahan 2016.
“Suhardin merupakan anggota lama MIT dan terlibat serangkain aksi teror MIT di Poso, Parigi Moutong, dan Sigi. Dia juga mahir membuat bom rakitan,” kata Didik.
Pengacara siap mendampingi buronan MIT
Andi Akbar, seorang pengacara dari kelompok Tim Pembela Muslim di Sulawesi Tengah mengatakan siap membela di muka hukum jika kedua buronan MIT yang masih tersisa itu turun gunung dan menyerahkan diri kepada polisi.
“Tentu kami akan mendampingi. Tinggal dilihat saja, apakah mereka mau menyerahkan diri atau tidak,” katanya kepada BenarNews.
“Keluarga Suhardin yang akan diperiksa pun kami yang akan mendampingi,” tandasnya.
Akbar menyebutkan sebelumnya satgas sudah mengeluarkan imbauan agar anggota MIT yang tersisa mau menyerahkan diri dan hak mereka akan dipenuhi.
“Hemat saya itu sudah langkah baik dilakukan satgas. Hukum mereka sesuai perbuatannya dan tetap berikan haknya sebagai warga negara,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti terorisme Lukman S. Tahir berharap satgas bisa menangkap hidup dua anggota MIT yang tersisa.
“Karena MIT selesai di Poso itu ketika sudah tidak memiliki simpatisan. Oleh karena itu seluruh simpatisan MIT juga harus ditangkap,” tegas Lukman, “penting untuk menyelesaikan MIT hingga ke akar.”
MIT terbentuk pada tahun 2010, berakar pada konflik berdarah antara komunitas Muslim-Kristen di Poso yang menewaskan lebih dari 1.000 orang antara tahun 1998 dan 2001.
Kelompok ini dikenal karena aksi pembunuhan yang kejam terhadap warga yang mereka anggap sebagai informan aparat keamanan.