Jokowi resmikan bursa karbon, ungkap potensi ribuan triliun rupiah
2023.09.26
Jakarta

Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada Selasa (26/9) meresmikan bursa karbon Indonesia, seraya menyebut bahwa pasar jual beli kredit karbon tersebut adalah kontribusi nyata Indonesia melawan krisis iklim global.
Merujuk pada lembaga penyedia data iklim dan energi berbasis di Inggris, Carbon Brief, Indonesia menempati peringkat kelima negara penghasil emisi karbon kumulatif terbanyak di dunia. Data 2021 emisi kumulatif Indonesia mencapai 102 gigaton karbon dioksida (CO2) — terbesar setelah Amerika Serikat, China, Rusia, dan Brasil.
Jokowi mengatakan keberadaan bursa karbon juga dapat menjadi sumber ekonomi baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan bagi Indonesia dengan potensi nilai kredit mencapai ribuan triliun.
"Catatan saya, ada kurang lebih 1,3 juta ton CO2 potensi kredit karbon yang bisa ditangkap yang jika dikalkulasi, potensi (perdagangan) bursa karbon bisa mencapai Rp3.000 triliun, bahkan lebih," kata Jokowi dalam pembukaan perdagangan di Jakarta.
"Peluncuran bursa karbon hari ini bisa menjadi langkah konkret. Sebuah langkah besar untuk Indonesia mencapai NDC (nationally determined contribution)."
Indonesia menetapkan target penurunan emisi pada 2030 sebesar 31,89 persen atas usaha sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional.
Pada sektor energi, Indonesia juga menargetkan setidaknya terdapat 43 persen pembangkit energi terbarukan dari keseluruhan pembangkit listrik yang ada pada 2030 demi mencapai emisi nol bersih di sektor listrik pada 2050.
Secara sederhana, perdagangan karbon atau bursa karbon merupakan transaksi jual beli kredit atas pengeluaran CO2 oleh sebuah perusahaan. Perusahaan yang mampu menekan emisinya dapat menjual kredit ke perusahaan yang melampaui batas emisi.
Dalam beberapa jam perdagangan pada hari pertama, transaksi kredit di bursa karbon Bursa Efek Indonesia (BEI) tercatat mencapai Rp32,01 miliar.
Bursa karbon telah terbentuk di beberapa negara, antara lain Swiss dan Selandia Baru pada 2008, China dan Kazakhstan pada 2013, Australia pada 2016, Kanada pada 2019, dan Meksiko pada 2021.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menilai bursa karbon Indonesia berpotensi menjadi salah satu yang terbesar dan terpenting di dunia lantaran memiliki volume dan kontribusi besar terhadap pengurangan emisi karbon nasional maupun dunia serta keragaman unit yang diperdagangkan mulai dari kehutanan, ketenagalistrikan, limbah, pertanian, minyak dan gas, industri umum, serta kelautan.
Dalam waktu dekat, Mahendra juga menyebut 99 pembangkit listrik berbasis batu bara yang ada di Tanah Air akan mengikuti perdagangan karbon.
"Jumlah itu setara 86 persen dari total pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi di Indonesia," kata Mahendra dalam keterangan di Jakarta.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira tak memungkiri bahwa bursa karbon Indonesia menyimpan potensi besar, dapat mencapai Rp8.000 triliun.
Hanya saja menurutnya karena digodok dalam waktu singkat, potensi pasar tersebut belum dapat dimaksimalkan, salah satunya terkait format bursa yang bersifat efek, alih-alih komoditas.
"Bentuk bursa seperti dipaksakan dalam efek, bukan komoditas. Itu agak berbeda dengan sistem yang sudah ada, terutama di Amerika Serikat dan Eropa," ujar Bhima dalam keterangannya kepada BenarNews.
Dia juga menyayangkan ketiadaan regulasi pajak karbon yang dapat mendorong perusahaan-perusahaan untuk membeli sertifikat karbon di bursa. Pada negara-negara yang sudah memiliki bursa karbon, pajak tersebut dapat dijadikan insentif perdagangan, namun juga berlaku sebagai penalti jika perusahaan tidak memenuhi batas emisi.
"Kalau tidak dikenakan pajak, apa yang membuat mereka mau membeli unit karbon. Harus ada hukumannya," ujarnya lagi.
Peneliti iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edvin Aldrian pesimistis kebijakan perdagangan kredit karbon bakal efektif menanggulangi krisis iklim saat ini.
Pasalnya, komitmen negara-negara maju dalam mengadang perubahan iklim masih tergolong rendah.
"Bisa efektif, tapi sangat lama. Uang karbon bisa didapat, tapi akan susah berdampak dalam mengurangi perubahan iklim," kata Edvin kepada BenarNews.
"Prinsip negara kapitalis memang seperti itu. Namun memulai pasar ini sudah langkah yang baik."
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman, menyebut kebijakan ini sebagai "solusi palsu".
"Upaya mengatasi perubahan iklim tidak diimbangi upaya pemulihan hak dan perlindungan masyarakat adat yang selama ini sudah menjaga ekosistem lingkungan hidup," kata Arman kepada BenarNews.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar menambahkan bahwa keberadaan bursa karbon memang berpotensi menimbulkan masalah baru seperti penguasaan wilayah hutan yang membuat masyarakat adat tersingkir.
Dia merujuk pada pembentukan bursa karbon di Kongo yang mengusir jutaan masyarakat adat akibat banyaknya perusahaan berebut mengurusi kawasan hutan.
"Ini langkah kompromistis antara negara dan industri. Ini digeser menjadi sekadar masalah ekonomi. Enggak ada perlindungan terhadap rakyat itu sendiri," kata Melky kepada BenarNews.
Pernyataan senada disampaikan Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Uli Arta Siagian yang mengatakan bahwa kebijakan itu tetap dapat menghilangkan hak masyarakat adat atas hutan mereka.
"Sederhananya, yang dieksploitasi di Morowali untuk nikel, tapi dibayarkan untuk konservasi di Papua. Hal itu berpotensi tetap mengusir masyarakat adat dari wilayah mereka," ujar Uli kepada BenarNews.