Pemerintah akan Verifikasi Dugaan Pekerja Anak di Perkebunan Sawit

Staf Sawit Watch menyatakan pekerja anak di perkebunan adalah praktik umum meski perusahaan secara formal melarangnya.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.12.02
Jakarta
161202_ID_PalmOil_1000.jpg Seorang anak mendorong gerobak saat bekerja di perusahaan kepala sawit di Pelalawan, Provinsi Riau, 16 September 2015.
AFP

Kementerian Tenaga Kerja akan menurunkan tim untuk mengecek dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk penggunaan pekerja anak di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera.

Dugaan pelanggaran HAM ditemukan Amnesty International (AI) dalam laporannya, 29 November lalu, setelah menginvestigasi dengan mewawancarai 120 pekerja, termasuk mereka yang berperan sebagai pengawas, pada perkebunan milik anak perusahaan Wilmar dan penyedia minyak sawit ke penyulingan Wilmar di Indonesia.

Perusahaan Wilmar disebutkan merupakan pemroses dan pelaku niaga terbesar minyak sawit di dunia dan mengontrol lebih dari 43 persen perdagangan minyak sawit global.

Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja, Dita Indah Sari, mengaku pihaknya sudah mendengar laporan itu, tapi belum menerima secara resmi untuk dipelajari agar dapat memanggil pihak perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran.

“Kami akan minta Dinas Ketenagakerjaan setempat atau menurunkan tim ke lapangan secara langsung untuk mengecek kebenaran laporan tersebut,” ujarnya saat dikonfirmasi BeritaBenar, Kamis, 1 Desember 2016.

Dita menambahkan apabila laporan itu benar, pihak kementerian akan minta partisipasi serikat pekerja setempat untuk mengatasi masalah tersebut karena mereka lebih tahu kondisi sebenarnya di lapangan.

Wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Susanto, mengatakan pihaknya akan mendalami laporan tersebut dan sejauh ini belum menentukan sikap.

“Kami akan mendalami secara komprehensif. Jika betul, nanti kami akan mengambil sikap sesegera mungkin,” katanya kepada BeritaBenar.

Pekerja anak

Laporan AI menemukan anak-anak berusia 8 hingga 15 tahun bekerja membantu orang tua mereka pada sore hari setelah jam sekolah dan akhir pekan atau saat liburan di perkebunan perusahaan Wilmar dan pemasoknya.

Ada juga anak putus sekolah yang menghabiskan banyak waktunya untuk bekerja di perkebunan.

Mereka harus mengangkat beban berat, karena mengangkut karung berisi biji sawit dan beberapa anak mendorong gerobak penuh berisi tandan buah segar yang berat melalui jalanan tidak rata dan jembatan sempit.

“Saya telah membantu Ayah setiap hari selama dua tahun (sejak berusia 12 tahun). Saya belajar hingga kelas enam di sekolah. Saya putus sekolah untuk membantu Ayah karena dia tidak bisa bekerja sendirian lagi,” tutur seorang anak berusia 14 tahun berinisial B, yang diwawancara peneliti AI di perkebunan anak perusahaan Wilmar.

“Saya khawatir karena belum selesai sekolah... Saya ingin kembali sekolah, saya keluar karena ayah saya sakit dan saya harus membantu.”

K, seorang ayah dan pekerja di perusahaan pemasok Wilmar yang dua tahun terakhir dibantu anaknya berusia 10 tahun yang putus sekolah setelah kelas dua SD, mengaku, dapat bonus dari buah brondolan yang jatuh karena anaknya membantu.

“Saya tidak bisa memenuhi target bila tidak lakukan ini... Mandor melihat anak saya membantu. Mandor berkata bagus anak membantu,” katanya.

Dalam laporan AI itu juga disebutkan ada pekerja yang terpapar bahan kimia beracun.

Zidane, staf organisasi Sawit Watch yang juga terlibat dalam penelitian AI di Kalimantan, membenarkan adanya anak-anak di perkebunan sebagai pekerja mandiri yang menerima upah sendiri ataupun membantu orang tuanya.

“Target kerja yang tinggi membuat pekerja mengajar keluarganya, termasuk anak-anaknya, untuk bekerja memenuhi target,” ujarnya saat dihubungi BeritaBenar.

Dia menambahkan perusahaan secara formal melarang pekerja anak dan menduga pemerintah lokal tahu kondisi tersebut tapi sepertinya mendiamkan saja.

“Ini adalah praktik umum di perkebunan kelapa sawit Indonesia. Yang diteliti oleh AI hanya sampel saja,” ujar Zidane.

Menurut AI, hasil perkebunan dari Indonesia dipasok ke klien-klien utama Wilmar, antara lain perusahan-perusahaan multinasional seperti Nestlé, Colgate-Palmolive, Kellogg’s, Unilever dan Reckitt Benckiser.

Investigas internal

Dita menganjurkan partisipasi masyarakat yang mengetahui praktik tersebut untuk melaporkan ke pihak berwajib, mengingat kondisi perkebunan di pedalaman dan terpencil sehingga sering tidak terpantau pemerintah.

Dalam pernyataan resminya, Wilmar mengatakan pihaknya sudah dihubungi AI sejak 5 Oktober terkait dugaan pelanggaran hak asasi pekerja di wilayah perkebunan miliknya dan pemasoknya.

Pihak Wilmar mengaku sudah melakukan investigasi internal sejak Agustus 2016, yang juga terkait dugaan AI.

“Banyak isu disorot membutuhkan platform lebih besar dari sertifikasi berkelanjutan untuk menyelesaikan. Mereka membutuhkan kolaborasi pemerintah, perusahaan, dan organisasi masyarakat sipil seperti Amnesty International,” ujar Perpetua George, asisten manajer umum untuk Wilmar Group Sustainability dalam pernyataan tertulis.

“Sama seperti langkah-langkah besar yang diambil dalam pelaksanaan komitmen deforestasi, dibutuhkan lebih dari sekadar perusahaan untuk membantu mengatasi masalah ini yang mempengaruhi kehidupan para pekerja perkebunan.”

Dia menambahkan pihaknya menyadari AI telah mengambil langkah-langkah untuk melibatkan pemerintah Indonesia pada isu-isu yang disebutnya sebagai langkah besar.

“Kami telah mengulurkan tangan kepada Amnesty International untuk bekerja lebih kolaboratif dengan industri dan kami berharap ini bisa menjadi kenyataan," pungkas Perpetua.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.