Menggali Harapan di Jakarta
2017.04.18
Jakarta

Pria 52 tahun itu duduk nelangsa di trotoar Jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Dua cangkul tampak tak jauh darinya.
Seolah tak peduli lalu lalang kendaraan yang melintas, Djaja setia menanti di pelataran pemakaman orang-orang berjasa itu. Sebagai pekerja kasar, dia berharap hari itu ada pelintas yang meminta jasanya untuk menggali sesuatu.
“Sudah dua hari ini saya nggak dapat kerjaan. Biasanya ada saja orang ngajak saya kerja. Sepertinya untuk makan hari ini harus ngutang,” tutur Djaja kepada BeritaBenar yang menemuinya, Sabtu, 15 April 2017.
Sudah lebih 10 tahun, Djaja melakoni profesi ini. Dia meninggalkan istri dan tiga anaknya di Cirebon, Jawa Barat, untuk mencari nafkah di ibukota. Tak ada pekerjaan yang bisa dikerjakan di kampungnya membuat Djaja terpaksa hijrah ke Jakarta.
“Saya ngontrak rumah di Pancoran, 600.000 sebulan. Penghasilan kadang ada, kadang nggak. Kadang nggak kirim uang ke kampung. Paling setahun sekali pulang,” ujarnya.
Djaja tak sendiri. Ada puluhan rekan seprofesinya yang mangkal di situ. Erlan Suherlan (42), salah satunya, berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sebagai buruh lepas, mereka memilih kawasan Kalibata untuk mangkal, karena mudah ditemui.
“Kalau mau nyari pekerja galian, tempat ngumpulnya ya di sini. Kadang kita diusir juga, nggak boleh mangkal di sini,” kata Erlan.
Dia mengaku punya sawah yang bisa digarap di kampungnya. Namun hasilnya tak cukup membiayai sekolah anaknya.
“Sawah diurus istri. Saya ke Jakarta, cari kerjaan apa saja supaya bisa menutupi biaya membesarkan anak-anak,” ujarnya.
Ladang harapan
Jakarta adalah ladang harapan, tak hanya bagi mereka dengan keahlian dan pendidikan tinggi, tapi juga magnet bagi warga yang hanya mengandalkan tenaga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statitik (BPS) September 2016, warga miskin di Jakarta mencapai 385.840 orang atau 3,75 persen dari penduduk ibukota yang berjumlah 10,1 juta jiwa. Rata-rata mereka bekerja di sektor informal.
Penghasilan Djaja, Erlan dan rekan-rekan mereka jauh dari Upah Minimum Provinsi yang ditetapkan sebesar Rp3.35 juta per bulan. Mereka hanya memperoleh Rp1 juta sebulan. Kadang malah kurang.
Dua calon gubernur Jakarta yang bakal bertarung pada 19 April dalam setiap kampanye menjanjikan berbagai program guna mengentaskan kemiskinan di kota metropolitan itu.
Pasangan petahana Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat mengklaim program seperti Kartu Jakarta Sehat dan Jakarta Pintar, menggratiskan bus TransJakarta dapat mengurangi beban kaum miskin di ibukota.
Sementara Anis Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno, juga punya program serupa seperti pembiayaan ekonomi rakyat melalui program yang disebut ‘Oke Oce’, Program KJP Plus, menjanjikan program perumahan tanpa agunan atau DP 0 persen.
Pengamat perkotaan, Yayat Supriatna menyatakan bahwa yang paling dibutuhkan warga miskin di Jakarta adalah transportasi murah dan rumah yang terjangkau.
Mengenai warga yang tak memiliki keterampilan serta harus bekerja serabutan seperti Djaja, Erlan dan rekan-rekannya, menurut Yayat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu memikirkan langkah pembinaan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas mereka.
"Misalnya mereka disertifikasi agar hasil kerjanya terjamin. Mereka juga akan memiliki nilai tawar dan tak mudah ditipu kontraktor nakal," katanya kepada BeritaBenar, Senin, 17 April 2017.
Djaja mengaku pernah tertipu. Usai bekerja menggali parit untuk pemasangan kabel operator telepon selular, tahun lalu, kontraktor yang mempekerjakannya kabur tanpa membayar Djaja dan rekan-rekannya.
"Mau cari kemana, orangnya kita juga nggak tahu. Uang hasil kerja kita dibawa kabur. Terpaksa untuk makan, ngutang ke orang," aku Djaja.
Sejumlah pekerja galian melepaskan lelah di depan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, 15 April 2017. (Rina Chadijah/BeritaBenar)
Solusi pemberdayaan
Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya punya program merekrut pekerja serabutan untuk dipekerjakan sebagai petugas kebersihan. Mereka yang diberdayakan disebut ‘pasukan oranye’.
Namun peluang itu tak mungkin didapatkan Djaja dan rekan-rekannya, sebab mereka tak tercatat sebagai warga Jakarta. Djaja dan Erlan adalah warga Jawa Barat.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengharapkan Pemerintah DKI agar mewadahi warga tak ber-KTP Jakarta, karena mereka mencari penghidupan di ibukota. Menurutnya, mereka juga berhak mendapat perhatian.
"Bukan malah disuruh pulang kampung tanpa dibekali kemampuan ketrampilan usaha. Mereka juga berhak mendapat pelatihan untuk disalurkan ke tempat kerja baru, bekerja di luar daerah, atau mampu membuka usaha mandiri," ujarnya kepada BeritaBenar.
Nirwono menilai, terjaminnya kesejahteraan akan berdampak pada menurunnya angka kemiskinan di Jakarta. Dia melihat, pentingnya Pemda memberi peluang lapangan kerja baik di Jakarta maupun wilayah sekitarnya.
Yayat menyarankan Pemerintah DKI menggandeng pemerintah daerah asal para pekerja itu agar warga miskin yang hidup di kolong jembatan dan emperan jalanan di Jakarta tak bertambah setiap tahun.
“Pola hubungan kerjasama ini penting supaya warga terlantar di Jakarta tak bertambah. Kita tak melarang mereka ke Jakarta, tapi ada baiknya mereka punya keterampilan dulu di daerahnya,” katanya.
Kendati tak mempunyai keterampilan khusus selain menjadi pekerja kasar, Djaja, Erlan dan rekan-rekanya tetap mangkal di pinggir jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata, bertahan untuk menggali harapan di Jakarta.