Mencegah Mahasiswa Terpapar Radikalisme

Kemenag mengatakan telah melakukan pencegahan seperti melalui pembinaan kegiatan rohis dan pemberian materi agama yang moderat.
M.Sulthan Azzam & Tria Dianti
2018.05.03
Padang & Jakarta
180503-ID-students-622.jpg Keluarga Indonesia yang berhasil melarikan diri dari cengkeraman ISIS di Raqqa berkumpul di tenda penampungan pengungsi Ain Issa di Suriah, 24 Juli, 2017.
AP

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen. Pol. Suhardi Alius membenarkan sekitar 39 persen mahasiswa di Indonesia terpapar paham radikal.

“Itu kan perkiraan, namanya survei. Memang terindikasi seperti itu,” katanya kepada BeritaBenar saat ditemui di Padang, Sumatera Barat, Rabu, 2 Mei 2018.

“Kami (BNPT) juga pernah melakukan survei. Yang penting semangatnya tidak usah kita mencari dimana, tapi bagaimana kita mengenali dan mencegahnya.”

Mahasiswa menjadi sasaran penyebaran radikalisme, tambahnya, karena kalau berhasil menguasai kalangan terdidik akan mudah mempengaruhi yang lain.

“Bukan hanya mahasiswa saja, tapi dosen-dosennya juga harus kita amati,” kata mantan Kabareskrim Mabes Polri itu. “Sekarang saya keliling kampus-kampus.”

Pada 26 September 2017 lalu, sekitar 3.000 pimpinan perguruan tinggi dari seluruh Indonesia mendeklarasikan komitmen untuk menolak dan melawan segala bentuk intoleransi dan radikalisme di Bali.

Kepala Badan Inteligen Negara (BIN), Budi Gunawan, Sabtu lalu, menyebutkan ada 39 persen mahasiswa terpapar paham radikal.

Direktur Komunikasi dan Informasi BIN, Wawan Purwanto, menyatakan angka 39 persen itu didapat setelah BIN melakukan riset internal dengan sampling random dari berbagai universitas negeri maupun swasta di 15 provinsi, pada 2017.

"Tiga universitas menjadi perhatian khusus BIN karena mendapatkan grafik tertinggi penyebaran dan dukungan terhadap radikalisme dan ekstrimisme," kata Wawan yang menolak mengungkapkan nama universitas dimaksud.

Namun, BIN telah memberitahukan rektor ketiga universitas tersebut agar melakukan pembenahan.

"Pembiaran bisa berdampak buruk, yang tadinya simpatisan bisa menjadi partisan tindak terorisme," ujarnya kepada BeritaBenar, Selasa, 1 Mei 2018.

Dari puluhan ribu kuesioner yang disebar, katanya, banyak responden memilih setuju untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, mendukung peperangan di Suriah dan Irak, bahkan tindakan teror yang dilakukan ISIS.

"Dikatakan radikal karena mereka dikasih pertanyaan “setuju”, “tidak setuju” atau “tidak tahu”. Grafik menggambarkan 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar menyatakan persetujuan terhadap konsep jihad dengan kekerasan," jelas Wawan.

Bukan hal baru

Pakar terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Ali Wibisono, menyebutkan radikalisme bukan hal baru.

"Pemerintah harus ada pencapaian jelas, acuan jelas siapa yang ditarget, parameternya harus jelas sebab radikalisme memang ada di dunia kampus," katanya saat dihubungi.

Pihak universitas bisa memonitor mahasiswa dengan mengendalikan informasi digital di kampus, melarang mahasiswa menyebarluaskan informasi bernuansa ektrimisme, dan pengendalian gerak uang masuk maupun ke luar universitas.

Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, mengakui radikalisme di kampus masih tinggi karena konter-radikalisme baru dimulai, sementara gerakan radikalisasi telah ada sejak puluhan tahun.

"Kita melihat ada upaya dilakukan pemerintah untuk menangkal radikalisme, terutama di kampus, tapi perlu terus ditingkatkan,” katanya.

“Gerakan radikalisasi berlangsung secara sistematis, dengan membangun narasi yang menyodorkan mimpi dan sebetulnya jauh dari kenyataan."

Sedangkan, peneliti Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar menyatakan riset BIN sejalan dengan kajian lembaganya tahun 2017 dimana 7,7 persen dari 1.500 responden di atas usia 17 tahun, bersedia melakukan aksi radikal bila ada kesempatan dan 0,3 persen pernah bertindak radikal.

"Butuh upaya pencegahan komprehensif. Pemerintah memang perlu khawatir akan angka tersebut," katanya.

Alamsyah melihat radikalisme biasanya menjalar di kalangan mahasiswa karena ada fenomena kegiatan mendalami ajaran agama.

"Justru banyak mahasiswa yang baru mendalami agama terpapar radikalisme karena tak memiliki dasar agama kuat," katanya.

Pada 31 Oktober 2017, lembaga penelitian Alvara Research Center dan organisasi non-profit MataAir Foundation merilis data hasil risetnya bahwa 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar siap berjihad demi tegaknya negara Islam.

Jumlah responden survei yang digelar pada 1 September-5 Oktober 2017 adalah 1.800 mahasiswa dari 25 perguruan tinggi di Indonesia dan 2.400 pelajar Sekolah Menengah Atas unggulan.

CEO Alvara, Hasanuddin Ali kala itu menyatakan 17,8 persen mahasiswa dan 18,3 persen pelajar setuju dengan konsep khilafah daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Selain itu, katanya, 18,6 persen mahasiswa dan 16,8 persen pelajar lebih memilih Islam daripada Pancasila sebagai ideologi negara.

Preventif

Wawan menjelaskan kerja sama sejumlah lembaga seperti Kemendiknas, Majelis Ulama Indonesia, Kemendagri, Kemenag dan Forum Rektor untuk melakukan pencegahan agar mahasiswa tidak bergerak ke arah radikal.

"Semua dilakukan terbuka melalui seminar, hoax di media sosial diluruskan, patroli cyber agar mahasiswa tidak menelan mentah-mentah informasi yang didapat dan bisa dicegah dampak yang mengarah ke tindakan radikal dan ekstrimisme," katanya.

Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, mengatakan pihaknya telah melakukan sejumlah langkah untuk mencegah radikalisme di kampus.

Pihaknya juga melakukan pembinaan terhadap kegiatan rohani Islam (rohis) di sekolah dengan menempatkan pengawasan melalui kepala sekolah.

"Dalam buku agama isinya lebih moderat. Kalau ada guru yang mengajarkan radikalisme bisa dilaporkan akan kami bina," tuturnya.

Juru bicara UI, Rifelly Dewi Astuti, menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen menjaga keutuhan NKRI dengan memerangi intoleransi dan radikalisme di lingkungan kampus.

"Kami menentang setiap potensi terorisme di kampus baik dari aktivitas mahasiswa dan sivitas akademik maupun organisasi di bawah naungan UI," katanya.

Meski tak menutup kemungkinan atas pernyataan BIN bahwa mahasiswa bisa terpapar radikalisme, pihaknya melakukan berbagai langkah pencegahan.

"Di antaranya melalui konseling dan pengamatan track record akademis mahasiswa dan bimbingan berkala setiap semester oleh para pembimbing akademik di masing-masing jurusan,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.