Kajian: Sepak Terjang China di Kawasan Mengkhawatirkan Tetangganya
2019.12.12
Washington

Langkah China dalam memperkuat posisi ekonomi dan militernya di Asia Selatan dan Tenggara direspons kekhawatiran oleh sejumlah negara di kawasan tersebut, demikin rilis dua lembaga penelitian Amerika Serikat.
Pew Research melaporkan warga yang disurvei di Indonesia dan Filipina telah menyatakan kekhawatirannya terhadap China, sementara lembaga think tank AidData melaporkan upaya Beijing di Bangladesh diarahkan untuk bisa tetap mengawasi Rusia dan India.
"Meskipun kebangkitan China sebagian besar dianggap positif di negara-negara berkembang, ada celah-celah ketidakpuasan," demikian laporan Pew dalam kajian yang bertajuk “Pertumbuhan Ekonomi China Disambut Baik di Pasar Berkembang, tetapi Negara Tetangganya Waspada Terhadap Pengaruhnya."
“Di negara-negara yang menyambut pertumbuhan ekonomi China, sedikit yang merasakan hal yang sama tentang perkembangan kekuatan militernya. Sebaliknya, sebagian besar cenderung melihat militer China yang sedang tumbuh sebagai sesuatu yang buruk bagi negara mereka. "
Pew menunjukkan salah satu temuan menariknya - Warga Filipina dan Indonesia memiliki kepercayaan yang sama terhadap diktator Korea Utara Kim Jong Un seperti pada Presiden China Xi Jinping. Penelitian dilakukan pada lebih dari dari 2.200 responden di kedua negara dengan menanyakan apakah mereka yakin bahwa Xi dan Kim "melakukan hal yang tepat untuk kebaikan dunia."
Di Filipina, 58 persen responden memiliki pandangan positif tentang Xi dibandingkan dengan 56 persen untuk Kim, sementara orang Indonesia sedikit lebih percaya pada Kim - 33 persen dibandingkan 32 persen atas Xi. Kedua pemimpin dunia itu kalah populer dibandingkan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe yang mendapat review positif 73 persen di Filipina dan 40 persen di Indonesia.
Sementara itu, hampir setengah dari semua responden di kedua negara - 49 persen di Filipina dan 48 persen di Indonesia - melihat investasi China buruk bagi negara mereka.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah mengatakan negaranya bersedia bekerja sama dengan China tetapi tidak mau terikat dengan Beijing dalam memperkuat ekonomi.
"Negara kami memiliki kapasitas untuk bernegosiasi tentang masalah investasi," katanya kepada BeritaBenar, menambahkan, "kami bukan negara yang dapat didikte, karena kami memiliki banyak sumber pendanaan yang kompetitif."
Teuku mengatakan Indonesia tidak memiliki batasan untuk melakukan bisnis dengan negara lain.
“Kami tidak memihak satu negara di atas yang lain. Jika masyarakat kami menerima investasi dari suatu negara, itu baik dan negara lain harus mengikutinya," katanya.
Laporan Pew juga menunjukkan bahwa negara-negara tetangga China umumnya mengambil sikap yang lebih negatif terhadap militernya.
Di Filipina, yang menentang masuknya Angkatan Laut China ke wilayah Laut China Selatan yang diklaim oleh Manila, 71 persen responden berpandangan negatif terhadap militer Beijing. Di Indonesia, di sisi lain, 44 persen menentang militer China dibandingkan dengan hanya 28 persen yang memiliki pandangan positif.
Penelitian Pew di Indonesia didasarkan pada wawancara tatap muka dengan 1.212 orang antara periode 24 Juni dan 8 Agustus 2019. Pew mengatakan hasilnya memiliki margin tingkat kesalahan 4,3 poin persentase.
Hasil penelitian untuk Filipina didasarkan pada wawancara tatap muka dengan 1.035 orang antara 25 Mei dan 22 Juni, dengan margin tingkat kesalahan 4,3 poin persentase.
Lembaga Pusat Penelitian Pew tidak terkait dengan pemerintah Amerika Serikat, menyebut institusinya sebagai lembaga independen, dan tidak mengambil posisi kebijakan.
China and Bangladesh
AidData, dalam laporannya "Diplomasi Jalur Sutra: Mendekonstruksi Upaya Beijing untuk Mempengaruhi Asia Selatan dan Tengah," mengatakan para pejabat China sadar akan perlunya memperluas diplomasi untuk menanggulangi reaksi negatif atas kekuatan ekonomi dan militernya.
“Para pemimpin China ingin menghindari ketidakstabilan di negara-negara tetangganya yang bisa meluas menjadi kerusuhan di dalam negeri. Selain itu, Beijing ingin memproyeksikan kekuatan untuk memeriksa pengaruh saingan regionalnya, India dan Rusia,” demikian laporan itu dalam pengantarnya.
Sebuah laboratorium penelitian di Global Research Institute William & Mary University, AidData mengatakan China telah masuk untuk mendukung pembangunan di Bangladesh hingga US $ 10,2 miliar untuk proyek-proyek infrastruktur di Dhaka dan sekitarnya pada 2017.
murah untuk operasi manufaktur China dan pasar ekspor yang menarik untuk sektor elektronik konsumennya," demikian laporan AidData.
Ini menunjukkan bahwa perusahaan China telah merelokasi operasi manufaktur ke Bangladesh selama dua dekade terakhir untuk memerangi kenaikan biaya tenaga kerja di rumah.
"Menjaga hubungan baik dengan para pemimpin Bangladesh juga penting bagi China untuk melindungi investasinya di Bangladesh dan di sepanjang Jalur Sutra Maritim," kata AidData mengacu pada proyek One Belt, One Road China.
Jalan Sutra Maritim adalah bagian dari rencana China untuk meningkatkan hubungan perdagangan globalnya dengan mengembangkan rute darat dan laut yang menghubungkan negara terpadat di dunia itu ke pasar di Eropa.
Terlepas dari upaya Beijing, mantan Duta Besar Bangladesh untuk China, Munshi Faiz Ahmad, mengatakan ia telah melihat meningkatnya sentimen anti-China pada masyarakat Bangladesh.
“Orang-orang biasa telah menjadi anti-China karena krisis Rohingya dan dukungan Beijing untuk Myanmar. Persepsi masyarakat awam adalah jika China telah menjadi teman, mengapa mereka memberikan dukungan tak kenal lelah kepada Myanmar pada masalah Rohingya di tingkat internasional?" Ahmad mengatakan kepada BeritaBenar.
Laporan AidData menunjukkan bahwa elit Bangladesh juga kecewa dengan kedekatan China dengan Myanmar.
Ahmad mencatat bahwa China memiliki motif tersembunyi untuk bekerja meningkatkan hubungan dengan negara-negara tetangganya, menunjuk pada upaya untuk mempengaruhi India.
“Sebenarnya, China ingin membawa India lebih dekat sebagai proyek One Belt, One Road tidak akan berhasil tanpa dukungan India. China akan rugi jika berkonflik dengan India,” pungkas Ahmad.
Tia Asmara di Jakarta dan Kamran Reza Chowdhury di Dhaka turut berkontribusi dalam laporan ini.