Indonesia Ambil Sikap Hati-Hati Perihal Keberadaan Kapal Survei China di Natuna

Analisis yakin walaupun tanpa publikasi Jakarta telah bernegosiasi dengan China untuk penyelesaian masalah.
Staf BenarNews
2021.10.19
Indonesia Ambil Sikap Hati-Hati Perihal Keberadaan Kapal Survei China di Natuna Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berbicara di Universitas Katholik Amerika di Washington DC, Amerika, 18 Oktober 2021.
Tangkapan layar BenarNews

Satu setengah bulan setelah kapal survei China memasuki Laut Natuna, Indonesia tampaknya masih melakukan pendekatan tenang dan hati-hati di perairan itu, meskipun ada tekanan publik.

Sejak 31 Agustus, Haiyang Dizhi 10 telah beroperasi di Laut Natuna Utara dekat ladang minyak dan gas penting Blok Tuna. Kapal China itu sempat tidak berada di wilayah tersebut saat melakukan pemasokan perbekalan pada akhir September, namun kemudian terlihat kembali ke lokasi pada awal Oktober.

Jakarta telah mengecilkan kehadiran kapal China itu, bahkan setelah para ahli menunjukkan bahwa pola seperti grid yang diciptakannya adalah tipikal aktivitas survei dasar laut maritim. Tekanan domestik telah meningkat dari sejumlah peneliti, seperti Imam Prakoso dari Indonesia Ocean Justice Initiative, yang mengatakan bahwa kemungkinan Haiyang Dizhi 10 telah “melakukan kegiatan penelitian yang melanggar hukum.”

Pemerintah Indonesia perlu mengambil "tindakan tegas", kata Imam dalam interview dengan BenarNews, ketika Haiyang Dizhi 10 kembali memasuki zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia pada 5 Oktober. “Punya izin atau tidak? Kalau tidak, jelas ilegal karena kita punya aturan yang jelas terkait kegiatan penelitian ilmiah di laut,” ujarnya.

Namun  awal Minggu ini di ibu kota Amerika, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menepis kekhawatiran seputar Laut Natuna.

“Kami menghormati kebebasan navigasi di Laut Natuna,” kata Luhut di Catholic University of America di Washington D.C., di mana ia menyampaikan kuliah berjudul Peran Indonesia dalam Pengaturan Global.

Pejabat Indonesia telah bersikeras bahwa kapal China itu tidak melakukan pelanggaran dan bahwa semua kapal asing bisa melewati Laut Natuna.

“Saya pikir Indonesia sangat selektif dengan hati-hati tentang bagaimana dan kapan bereaksi serta menanggapi prilaku China, yang saya bahkan sebut provokasi, di Laut Natuna,” kata Huong Le Thu, analis senior di Australian Strategic Policy Institute.

Dia mengatakan banyak analis Indonesia yakin mereka dapat menyelesaikan urusan dengan China melalui dialog, dan itu membutuhkan waktu. Namun dia menambahkan bahwa sementara itu, “China telah memodernisasi kemampuan militernya, merebut kembali pulau-pulau di Laut China Selatan dan semakin berambisi.”

“Saya tidak berpikir kita memiliki waktu seperti yang diperkirakan banyak orang di Jakarta,” kata Huong.

Namun demikian, beberapa ahli Indonesia percaya bahwa Jakarta telah melakukan upaya yang tidak dipublikasikan tetapi tegas untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya di Laut Natuna.

“Fakta bahwa Angkatan Laut Indonesia dan Bakamla (Badan Keamanan Laut Indonesia) mengerahkan kapal perang untuk membayangi Haiyang Dizhi menunjukkan posisi Indonesia,” kata Satya Pratama, seorang pejabat senior pemerintah yang juga dan mantan kapten Bakamla.

“Tidak harus melakukan tindakan afirmatif seperti serudukan atau semacamnya,” katanya kepada BenarNews.

Grafik yang memperlihatkan kapal survei China berada di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Grafik yang memperlihatkan kapal survei China berada di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Protes atau tidak?

Sementara Indonesia tidak menganggap dirinya sebagai pihak dalam sengketa Laut China Selatan seperti negara-negara lainnya yang bertetangga dengan China, Beijing memang mengklaim hak bersejarah atas wilayah yang tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Satya mengakui bahwa “protes formal adalah norma untuk kasus-kasus seperti ini. Tapi saya yakin beberapa di pemerintahan Indonesia tidak percaya pada ‘diplomasi megafon’.”

Beberapa negara lain di kawasan seperti Malaysia juga lebih memilih diplomasi yang tenang ketika berhadapan dengan klaim China di Laut China Selatan.

Namun baru-baru ini, Malaysia secara terbuka memprotes pengoperasian kapal survei China lainnya, Da Yang Hao, di ZEE-nya dan bahkan memanggil duta besar China di Kuala Lumpur.

Da Yang Hao meninggalkan perairan Malaysia dua minggu kemudian. Tidak jelas apakah protes diplomatik itu memainkan peran yang menentukan. Tetapi Elina Noor, seorang ahli di Asia Society Policy Institute yang berbasis di DC, mengatakan bahwa “untuk alasan simbolis dan substantif, penting bagi Malaysia untuk terus memprotes serangan semacam ini terlepas dari dampak langsungnya.”

Dia mengatakan itu "menandakan ketidaksabaran dan kekhawatiran yang tumbuh dari pihak Malaysia tentang keagresifan pendekatan China."

Namun, Huong, analis di Australian Strategic Policy Institute, berpendapat bahwa sebagai negara yang tidak mengklaim Laut China Selatan, Indonesia memiliki posisi yang agak berbeda dari negara pengklaim seperti Malaysia, Vietnam, dan Filipina, yang “tidak mempunyai pilihan seperti apa yang dimiliki Indonesia untuk melakukan langkah mundur dari 'Laut Cina Selatan' dan hanya fokus pada 'Natuna'”.

Dia mengatakan bahwa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir “telah menunjukkan kecenderungan yang relatif lebih melihat ke dalam” dan disibukkan dengan masalah domestik utama seperti desentralisasi otoritas, masalah etnis, agama dan COVID-19.

‘Dengan saudara’

Luhut yang juga koordinator kerja sama Indonesia -China menjelaskan kebijakan Indonesia terhadap China dalam presentasinya di Catholic University.

“Semua dokumen, semua hukum internasional telah tersedia – kami hanya menghormatinya,” katanya. “Kami berdiskusi dengan mitra kontak kami di China, kami setuju untuk tidak setuju di beberapa area, tetapi saya pikir kami mampu mengelola sejauh ini,” katanya kepada hadirin, menambahkan bahwa ketegangan di sana [di Laut China Selatan] adalah “tidak seburuk yang orang pikirkan di AS”

“Kami tidak merasa memiliki masalah dengan China,” kata Luhut tentang perbatasan maritim Indonesia di Laut China Selatan.

Ketika ditekan tentang pelecehan yang dilaporkan terhadap nelayan Indonesia oleh kapal penjaga pantai China di perairan yang disengketakan, menteri koordinator mengatakan: “Kami berbicara [dengan pihak China] di telepon dan berkata, ‘hei, menjauhlah dari sana!’”

“Ibaratnya dengan saudara, kadang ada masalah tapi jangan dijadikan masalah besar!” kata Luhut.

Melihat tanggapan Luhut itu, Indonesia tampaknya akan mempertahankan status quo di Laut China Selatan untuk saat ini. Ini juga berarti kemungkinan Haiyang Dizhi 10 akan terus melintasi Laut Natuna untuk sementara waktu.

Ika Inggas dan Shailaja Neelakantan di Washington turut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.

Komentar

Amdar
2021-10-21 04:16

Aktifitas Cina di Natuna tetap harus.diwaspadai. jika kita tidak mengawal dan.memperingatkan Cina.maka kita akan terus dipecundangi.

Chitatocool
2021-10-21 06:16

Indonesia selalu saja menggunakan soft diplomacy dlm menyikapi & menyelesaikan urusan dgn pihak luar. Krn sekali bertindak terlalu over-acting,pasti akan banyak yg gerah dibuatnya..😀🤝👊🤛