Indonesia Bisa Jadi Penengah Sengketa Laut China Selatan
2016.06.17
Jakarta

Indonesia diharapkan menjadi honest broker – penengah yang adil – dalam menyelesaikan sengketa antarnegara yang mengklaim wilayah Laut China Selatan, di tengah kontroversi terkait pendirian ASEAN dalam masalah yang telah lama berlangsung itu.
“Posisi Indonesia bukan negara yang bersengketa (claimant state), bisa jadi honest broker, namun sebatas hanya conflict detention dan self-restraint demi tercapainya stabilitas di kawasan,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian International, Damos Dumoli Agusman kepada BeritaBenar, Kamis, 16 Juni 2016.
Kemelut di Laut China Selatan menjadi topik hangat dalam beberapa pekan terakhir menyusul upaya China menggalang dukungan internasional terkait klaim Beijing atas apa yang disebut 9-dash line (sembilan garis putus) yang meliputi hampir seluruh perairan Laut China Selatan.
Akibat klaim sepihak China itu, telah mengakibatkan dua kali terjadi ketegangan dengan otoritas Indonesia di perairan Natuna, Kepulauan Riau – yang disebut Beijing sebagai tempat penangkapan ikan tradisional nelayan mereka.
Maret lalu, kapal penjaga pantai China mengintervensi petugas Kementerian Kelautan dan Perikatan (KKP) dengan cara menabrak kapal ikan China yang diduga mencuri ikan sehingga kapal itu terlepas. Pemerintah sempat memprotes dengan memanggil duta besar China di Jakarta.
Kemudian kejadian terulang 27 Mei lalu, saat kapal Gui Bei Yu 27088 tidak memiliki izin dan dokumen menangkap ikan di perairan itu. Kapal dan delapan awaknya ditangkap TNI Angkatan Laut. Pemerintah China sempat memprotes penangkapan tersebut.
Halal atau haram
Filipina malah telah mengajukan gugatan terkait klaim China di Laut China Selatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda, Januari 2013.
Kedua negara terlibat perebutan Scarborough Shoal, yang juga disebut Pulau Huangyan atau Panatag Shoal, setelah China menguasai area karang pada 2012. Menurut rencana, keputusan sengketa yang diajukan Filipina itu akan keluar, beberapa pekan ke depan.
Menurut Damos, hasil Permanent Court of Arbitration (PCA) tidak akan memenangkan salah satu pihak yang bersengketa.
“PCA hanya akan klarifikasi dan penafsiran terhadap pasal-pasal UNCLOS yang ditanyakan oleh Filipina,” katanya. “Dalam bahasa lain adalah menentukan apakah 9-dash line itu halal atau haram.”
Filipina berpendapat klaim 9-dash line China melanggar batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)nya – zona laut 200 mil laut dari pantai suatu negara, dimana bangsa punya hak khusus di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Mahkamah Arbitrase Internasional juga berwenang untuk memutuskan apakah kegiatan China yang membangun pulau-pulau baru untuk memperkuat klaim di Laut Cina Selatan bertentangan dengan UNCLOS atau tidak.
“Namun hasil tidak akan memutuskan soal pulau apa dan milik siapa, tidak memutuskan delimitasi batas laut, sehingga sengketa akan tetap ada,” papar Damos.
Negara-negara yang wilayahnya bersengketa dengan China di Laut China Selatan, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam, terus memantau setiap perkembangan Mahkamah Arbitrase Internasional di Belanda.
Namun ada juga anggota ASEAN yang telah bersekutu dengan China dalam sengketa itu, terutama Kamboja dan Laos.
Penyataan ditarik
Ketegangan antara sesama anggota ASEAN juga terlihat dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN dan China, di Yunnan, China, 13-14 Juni 2016.
Setelah pertemuan berakhir, sempat beredar media statement resmi yang dikeluarkan ASEAN. Dalam pernyataan itu di antaranya disebutkan proposal Code of Unplanned Encounters at Sea (CUES) yang akan menjadi acuan bagi kapal angkatan laut jika terjadi bentrokan atau insiden di Laut China Selatan.
Tetapi selang 20 menit, pernyataan tersebut ditarik kembali.
“Mohon maaf kami harus menarik kembali penyataan media ini karena ada beberapa tambahan amandemen yang akan dimuat. Mohon untuk tidak dipublikasikan,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Malaysia, seperti dikutip AFP, 15 Juni 2016.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir menjelaskan penarikan itu dilakukan karena pernyataan tersebut merupakan media guidelines yang akan dipakai para Menlu ASEAN untuk disampaikan dalam konferensi pers.
“Namun dalam pertemuan bagaimana mekanisme mengeluarkan konten itu berlarut panjang, akhirnya konferensi pers batal digelar,” jelas pria yang akrab dipanggil Tata saat jumpa pers, Kamis.
Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Melda Kamil Ariadno mendesak pemerintah segera menyiapkan statement bersama ASEAN terkait masalah klaim Laut China Selatan baik sebelum atau setelah hasil PCA keluar.
“ASEAN harus bersatu. Hal ini untuk memberikan pesan yang kuat terhadap China kalau kita harus menghormati hukum internasional. Kalau China beritikad baik maka dia akan bersedia duduk bersama,” ujar Melda.
Menanggapi hal itu, Tata mengatakan Indonesia terus mengawasi dan memonitor hasil PCA yang akan keluar dalam beberapa minggu ke depan. “Kami belum bisa bilang ambil statement atau tidak. Kalau sudah keluar hasilnya baru bisa menanggapinya,” kata dia.