China Setop 15 Proyek Pembangkit Batu Bara di Luar Negeri
2022.04.22
Jakarta

Komitmen Beijing pada 2021 untuk mengakhiri dukungan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri telah mengakibatkan 15 proyek yang didukung China ditangguhkan atau dibatalkan, dengan potensi 32 lainnya juga dihentikan, menurut analisis lembaga riset berbasis di Eropa.
Studi yang dilakukan oleh the Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) – sebuah organisasi penelitian berbasis di Finlandia – menemukan bahwa janji China berdampak pada investasi batu baranya di luar negeri dan memengaruhi kebijakan energi negara tuan rumah.
Tetapi celah potensial dalam menafsirkan larangan itu memungkinkan 18 pembangkit listrik untuk dilanjutkan karena telah mendapatkan pembiayaan dan izin atau terkait dengan proyek Belt and Road Initiative (BRI) China di Indonesia, yang dianggap sebagai prioritas oleh pemerintah, kata CREA.
“Kebijakan 'tidak ada (pembangkit listrik) batubara baru di luar negeri China telah berdampak signifikan pada pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara," kata CREA dalam laporannya yang dirilis bertepatan dengan peringatan Hari Bumi, 22 April.
“Sejak September 2021, CREA menemukan bahwa sekitar 12,8 gigawatt (15 pembangkit) proyek batubara luar negeri yang didukung China ditangguhkan atau dibatalkan, menyusul kebijakan energi yang direvisi di negara tuan rumah dan mundurnya perusahaan China,” katanya.
Pembangkit yang ditangguhkan atau dibatalkan termasuk proyek di Indonesia, Vietnam, Turki, Kenya, Iran, Pantai Gading dan Zimbabwe, menurut penelitian tersebut.
Dalam pidato di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan September, Presiden China Xi Jinping mengumumkan bahwa Beijing tidak akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri sebagai bagian dari upaya untuk menangani perubahan iklim.
Tetapi dua pembangkit listrik baru yang didukung China kemungkinan akan terus berjalan di Indonesia, karena celah yang memungkinkan kontrak konstruksi dan peralatan pada proyek BRI yang sudah ada ditafsirkan sebagai pengecualian.
Pada 14 Februari, Tianjin Electric Power Construction menandatangani perjanjian untuk membangun pembangkit 1.520 megawatt di Pulau Obi di provinsi Maluku Utara untuk mendukung industri nikel. Obi Industrial Park telah merencananakan alokasi 4,2 gigawatt untuk pembangkit listrik tenaga batu bara di kompleks tersebut, kata CREA.
Proyek kedua adalah perluasan pembangkit listrik tenaga uap yang terkait dengan pemrosesan baja dan nikel di Morawali Industrial Park di provinsi Sulawesi Tengah.
Anhui Electric Power Construction First Engineering China memenangkan tender peralatan untuk Unit 7-9 pada Desember 2021, yang akan dibangun untuk menambah 2.330 megawatt yang sudah dalam pengerjaan di sana, kata studi tersebut.
Vietnam pada akhir tahun 2021 menunda proyek batu bara sebesar 6,6 gigawatt (GW) setelah tahun 2030, sehingga pembangkit seperti itu tidak mungkin dibangun, kata CREA.
Namun lembaga penelitian itu juga menemukan bahwa 18 proyek di tempat lain dengan kapasitas 19,2GW yang telah mendapatkan pembiayaan dan izin masih dapat dilanjutkan.
Ini termasuk investasi batu bara di Indonesia yang terkait dengan kompleks baja dan nikel yang didukung China, kata laporan tersebut.
Pembangkit batu bara ini bisa berjalan karena ada celah, kata para peneliti CREA.
Mengakhiri dukungan keuangan untuk pembangkit batu bara dianggap sebagai alat utama dalam upaya global untuk mengurangi ancaman dari perubahan iklim karena pembakaran batu bara merupakan satu-satunya sumber emisi gas rumah kaca terbesar yang memanaskan planet ini, ungkap CREA.
Greenpeace sambut baik
Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyambut baik analisis dari CREA tersebut bahwa janji China untuk menghentikan pembiayaan batu bara luar negeri sudah mulai diimplementasikan dan sudah mulai berdampak.
“Kami mengapresiasi perkembangan ini karena sebagai pendana batu bara terbesar, keputusan yang diambil oleh China tahun lalu tersebut, akan mempunyai dampak signifikan kepada proses transisi energi menuju energi terbarukan secara global,” kata Leonard kepada BenarNews, Jumat (22/4), menambahkan bahwa transisi energi harus dipercepat jika semua pihak menginginkan peluang mengatasi krisis iklim.
Namun Leonard menyayangkan bahwa masih ada pembangkit batu bara di Indonesia dan mendesak pemerintah China agar lebih tegas untuk memisahkan proyek-proyek nikel di Indonesia Timur dengan pembangkit listrik tenaga batu bara.
“Pengecualian seperti yang masih terjadi di Sulawesi dan Maluku Utara tersebut akan memberikan preseden yang buruk. Kita memerlukan Belt and Road Initiative yang benar-benar hijau, artinya tanpa batubara dan energi fosil lainnya,” kata Leonard.
Menurut dia, justru China harus lebih tegas kepada pemerintah Indonesia bahwa sumber-sumber listrik atau energi untuk proyek-proyek nikel yang termasuk PSN (Proyek Strategis Nasional) ini harusnya sudah beralih ke energi terbarukan, misalnya kombinasi antara solar, angin dan geotermal.
“Hal ini juga seharusnya menjadi titik balik untuk pemerintah Indonesia yang selama ini banyak dikritik bahwa PSN-PSN yang gencar dibangun di mana-mana cenderung merusak lingkungan,” ujar Leonard.
Leonard mengatakan komitmen untuk menyediakan energi terbarukan sebagai sumber listrik bagi PSN-PSN akan memberikan sinyal yang jelas bagi para investor global bahwa Indonesia makin ramah dan kondusif bagi investasi energi terbarukan pada skala besar.
Menurut Pusat Kebijakan Pengembangan Global Universitas Boston, AS, jika semua PLTU di luar negeri yang dibiayai China, yang sekarang sedang dan akan dibangun dibatalkan, maka bisa mencegah 646 juta ton emisi CO2 per tahun.
China, produsen gas rumah kaca terbesar di dunia, telah berjanji untuk beralih ke energi yang lebih rendah karbon, tetapi hanya akan mulai memangkas konsumsi batubara mulai 2026.