Jusuf Kalla: Kita Harus Lihat Akar Munculnya Terorisme

Anton Muhajir
2016.08.10
Nusa Dua
160810-ID-bali-top-620.jpg Weixiong Chen, wakil direktur eksekutif Direktorat Eksekutif Komite Penanganan Terorisme PBB, menyampaikan sambutan pada International Meeting on Counter Terrorism (IMCT) di Nusa Dua, Bali, 10 Agustus 2016.
Anton Muhajir/BeritaBenar

Penanganan terorisme harus melihat akar masalah munculnya fenomena global tersebut, demikian Wakil Presiden Jusuf Kalla membawakan pidato kunci dalam International Meeting on Counter Terrorism (IMCT) di Nusa Dua, Bali, Rabu, 10 Agustus 2016.

Menurutnya, akar terorisme termasuk termasuk pada kesalahpahaman terhadap agama atau ideologi, kemarahan pada kebijakan suatu negara, serta tak ada harapan akan masa depan.

“Kita marah melihat korban terorisme tapi kita juga harus melihat akar masalah untuk bisa menyelesaikannya,” ujarnya.

Dalam pidato di depan sekitar 200 peserta dan undangan, Kalla menambahkan pendekatan yang hanya berbasis kekerasan dan senjata tak akan menyelesaikan masalah terorisme, karena terorisme juga terjadi akibat ideologi radikal pelaku.

“Para pelaku terorisme termasuk yang terjadi akhir-akhir ini di Belgia dan Paris adalah orang-orang yang tidak memahami agama dengan benar,” tambahnya.

Untuk itu, Kalla melanjutkan, penanganan terorisme juga harus dilakukan dengan cara mengubah pikiran para teroris.

“Pengalaman saya menyelesaikan konflik Poso, mereka ikut kelompok teroris karena tergoda untuk mencapai surga dengan cara cepat. Setelah saya kasih tahu bahwa mereka akan masuk neraka dengan cara itu, mereka sadar,” katanya.

Ia menambahkan bahwa Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) muncul tak bisa lepas dari ketidakstabilan politik di kedua negara itu. Kondisi itu muncul setelah ada invasi negara adidaya.

“Karena itu jangan ada lagi negara-negara besar menginvasi negara lain tanpa alasan yang jelas,” ujarnya.

Hal lain yang perlu diantisipasi negara-negara untuk melawan terorisme, tutur Kalla, adalah fenomena kembalinya para teroris ke negara-negara asal yang biasa disebut foreign terrorism fighters (FTF).


IMCT di Nusa Dua, Bali, 10 Agustus 2016, diikuti delegasi 23 negara termasuk dari Rusia dan 3 organisasi internasional. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

‘Lone Wolves’

IMCT dengan tema Countering Crossborder Movement on Terrorism itu digelar sehari bersamaan dengan 2nd Counter Terrorism Financing Summit pada 8-11 Agustus 2016 di tempat yang sama.

Pertemuan itu dihadiri 140 peserta dari 23 negara dan 3 organisasi internasional, yaitu ASEAN, PBB, dan Interpol. Adapun negara yang hadir selain Indonesia, antara lain Australia, Rusia, Turki, Belgia, Perancis, Malaysia, Filipina, dan Selandia Baru.

“Kehadiran ASEAN, PBB, dan Interpol menegaskan bahwa usaha-usaha negara kita harus disertai dengan kerja sama kuat secara bilateral, regional, maupun global,” kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto yang membuka IMCT.

Menurutnya, serangan teroris di seluruh dunia saat ini mengingatkan bahwa semua negara harus terus melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme.

“Pilihan kita adalah dengan menguatkan kerja sama lebih dekat dan dengan cara berkelanjutan,” katanya.

Selain ketidakstabilan politik dan pemerintahan serta ideologi radikal, penyebab lain munculnya terorisme menurut Wiranto adalah penggunaan media siber, peningkatan sumber daya keuangan ilegal, dan kembalinya mantan anggota ISIS ke negara-negara asal.

Hal ini semua, kata Wiranto melahirkan fenomena baru yaitu “lone wolves”dimana seorang individu menjadi radikal dan melakukan aksi terorisme tanpa harus tergabung dengan jaringan teroris manapun.

Kemudahan pergerakan manusia, barang, dan uang di perbatasan juga turut memicu munculnya fenomena FTF dan “lone wolves” ini.

Paul Jevtovic, kepala Pusat Pelaporan dan Analisisa Transaksi Australia (AUSTRAC) kepada wartawan di Bali mengatakan bahwa fenomena “lone wolves” adalah salah satu masalah utama yang disepakati para negara peserta untuk ditindaklanjuti secara intensif.

“’Lone wolves’ dengan dana sendiri ini adalah salah satu temuan yang konsisten di sejumlah negara," kata Jevtovic seperti dikutip Reuters.

Komitmen

Le Luong Minh, Sekretaris Jenderal ASEAN mengatakan negara-negara ASEAN telah memiliki beberapa dokumen kunci untuk mengantisipasi terorisme seperti Deklarasi ASEAN tentang Kejahatan Transnasional yang telah diadaptasi dalam Pertemuan Tingkat Menteri terkait Kejahatan Internasional di Manila pada 1997. Dalam deklarasi itu, para pihak sepakat untuk memperluas jangkauan usaha mereka dalam melawan kejahatan transnasional, termasuk terorisme.

Komitmen tersebut diperbarui melalui adopsi Deklarasi Kuala Lumpur dalam Melawan Kejahatan Transnasional, tahun lalu.

ASEAN juga mempunyai ASEAN Convention in Counter-Terrorism (ACCT) yang menegaskan komitmen negara-negara anggotanya untuk meningkatkan kerja sama dalam melawan terorisme.

Pertemuan Khusus Menteri-Menteri ASEAN pada Oktober 2015 di Kuala Lumpur juga telah menyetujui untuk memberi tekanan lebih besar pada aspek deradikalisasi dalam rehabilitasi dan integrasi sebagai bagian dari program menyeluruh melawan terorisme.

“Pendekatan ini untuk membantu mereka yang sudah radikal atau ekstrem untuk kembali pada masyarakat dan mencegah agar mereka tidak kembali (relapse) pada kelompok militan atau teroris,” katanya.

Di tingkat global, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah berkomitmen untuk mengantisipasi maraknya FTF dan lone wolves .

“FTF terus meningkatkan intensitas dan jangka waktu konflik serta mengeluarkan ancaman signifikan di negara-negara tempat mereka singgah dan kemudian di negara asalnya saat kembali,” kata Weixiong Chen, wakil direktur eksekutif Direktorat Eksekutif Komite Penanganan Terorisme PBB.

Chen menambahkan PBB telah mengembangkan rencana pelaksanaan peningkatan kapasitas untuk menghambat FTF.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.