BPOM: Obat COVID-19 Buatan UNAIR dan BIN-TNI AD Belum Lolos Uji Edar

KSAD akhir minggu lalu mengumumkan pihaknya telah menemukan “obat anti-COVID-19” tersebut.
Tia Asmara
2020.08.19
Jakarta
200819_ID_covid_1000.jpg Para tenaga kesehatan melakukan tes swab ke sejumlah warga yang beberapa di antaranya tinggal di kompleks Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat, Bandung, pada 11 Juli 2020, setelah beberapa hari sebelumnya diketahui sekitar 1.200 siswa termasuk para instruktur di sekolah tersebut positif tertular COVID-19.
AFP

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Rabu (19/8) mengumumkan bahwa obat anti-COVID-19 yang dikembangkan Universitas Airlangga bersama Badan Intelejen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) belum memenuhi persyaratan untuk bisa diproduksi serta diedarkan dalam waktu dekat, demikian keterangan pejabat terkait.

Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito, menyatakan hasil inspeksi awal terhadap uji klinik tahap tiga obat kombinasi ini belum valid sehingga meminta peneliti untuk merevisi hasil penelitiannya sesuai dengan kaidah yang ditentukan BPOM.

“Berdasarkan hasil review inspeksi yang kami lakukan, kami nilai masih belum valid, kata Penny dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Rabu, seraya menambahkan dengan demikian pihaknya belum bisa memberikan izin edar seperti yang diharapkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa bisa keluar pada pekan ini.

Penny menambahkan, obat ini memiliki kombinasi kandungan yang bisa menimbulkan efek yang tidak diinginkan.

“Obat ini adalah kombinasi obat keras, tentunya ada efek samping yang bisa ditimbulkan,” kata Penny.

Untuk diketahui, obat pereda gejala COVID-19 yang diracik peneliti Universitas Airlangga dengan bantuan dana dari BIN dan TNI AD ini menggunakan tiga kombinasi obat yang terdiri dari Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline, dan Hydrochloroquine dan Azithromyci.

“Kita masih antisipasi efek sampingnya ya, sehingga tidak bisa diberikan kepada sembarang orang, apalagi orang yang tidak sakit, orang tanpa gejala,” kata Penny.

Penny memastikan hasil inspeksi awal ini juga turut mempertimbangkan perlindungan kepada publik di tengah banyaknya klaim dari berbagai pihak yang menyebut telah menemukan obat COVID-19.

“BPOM bertugas memberikan perlindungan kepada publik untuk memastikan proses uji klinik dan riset berlangsung mengikuti tata cara kaidah sains yang sesuai dengan standar yang berlaku secara internasional,” ujar dia.

Akhir pekan lalu, KSAD Jenderal Andika Perkasa mengumumkan pihaknya telah menemukan obat “anti-COVID-19 pertama di dunia” hasil pengembangan bersama peneliti kampus yang berada di Surabaya, Jawa Timur itu dan badan intelijen.

Andika mengklaim vaksin ini telah lolos uji klinis tahap tiga dan siap diedarkan setelah izinnya keluar dari BPOM.

“Berdasarkan penjelasan dari ketua tim pelaksana riset tadi, (obat) semua sudah memenuhi sains,” kata Andika, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, dalam telekonferensi, Sabtu.

Rektor Universitas, Airlangga M. Nasih, yang turut hadir dalam telekonferensi dengan Andika, mengklaim uji klinis obat kombinasi ini sudah dilaksanakan sesuai protokol yang disetujui BPOM.

Nasih menjelaskan, uji klinis obat kombinasi dilakukan terhadap 754 subyek. Jumlah ini melebihi target dari BPOM yang hanya 696 subyek. Sementara, uji klinis fase ketiga obat ini telah dilaksanakan pada 7 Juli - 4 Agustus 2020 di RS Unair Surabaya, Rumah Sakit Dustira (Secapa AD) Jawa Barat, Pusat isolasi Rusunawa Lamongan, dan RS Polri Jakarta.

“Tingkat kesembuhan obat ini mencapai 98 persen,” kata Nasih.

Sementara itu, Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan pihaknya akan mematuhi hasil uji yang dilakukan BPOM dan segera melakukan penyempurnaan terhadap obat tersebut.

“Kalau memang ada yang kurang, akan ditindaklanjuti,” kata Wawan ketika dihubungi, Rabu.

Transparansi publik

Juru Bicara Penanganan COVID 19, Wiku Adisasmito, mengatakan diperlukan transparansi publik mengenai kaji etik penelitian yang dilakukan oleh Universitas Airlangga terhadap obat yang dikembangkan melalui regimen tersebut.

“Oleh sebab itu, tentunya Universitas Airlangga dengan dukungan TNI AD dan BIN juga pasti tidak keberatan untuk menjelaskan bagaimana kaji etik berlangsung dan juga uji klinis yang sedang dijalankan,” ujar dia dalam press briefing mingguan.

Uji klinis tersebut, ujar dia, harus dijalankan dengan protokol yang sesuai standar perlindungan yang baik dan aman. Artinya, sesuai tahapan menyembuhkan yang benar.

Ia memastikan sampai dengan sekarang belum ada izin edar untuk obat ini karena masih dalam prose uji klinis.

“Mungkin bisa jadi bahan review untuk selanjutnya masuk ke dalam perizinan edar.  Ada beberapa prinsip dipenuhi yaitu aman, dan efektif. Untuk saat ini WHO belum menentukan jenis obat yang efektif untuk bisa menyembuhkan COVID,” jelasnya.

Pada Rabu, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 mengumumkan penambahan 1.902 kasus terkonfirmasi baru sehingga total keseluruhannya menjadi 144.945. Sebanyak 6.346 orang dilaporkan meninggal dunia setelah adanya penambahan 69 kasus kematian baru dalam 24 jam terakhir.

Satgas juga mengumumkan angka kesembuhan pasien yang mencapai 98.657 atau bertambah 2.351 dibandingkan hari sebelumnya.

Diragukan

Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono meragukan keakuratan dari obat anti-COVID 19 yang diinisiasi UNAIR, TNI AD dan BIN karena hasilnya belum diulas secara independen.

“Dari idenya saja tidak akurat, tidak bisa diterima oleh akal sehat, dan tidak memenuhi kaidah yang seharusnya, dan tidak dikonsultasikan dengan komite etik Balitbangkes Kemenkes,” ujar Pandu kepada BenarNews.

Ia menjelaskan, obat ini menggunakan percampuran obat yang sudah ada dan kemudian diujikan kembali ke stem sel. “Virus COVID-19 dikasih sabun pun mati, tapi tidak bisa langsung disimpulkan bisa berlaku pada manusia,” kata Pandu.

Kemudian, sambung Pandu, pihak UNAIR diduga langsung mengkombinasikan semua unsur obat tersebut dan mengklaim telah lolos uji klinis.

“Padahal itu yang fase di lab saja belum diuji bagaimana validitasnya di manusia,” katanya.

Pandu menilai, para peneliti seharusnya mengikuti persyaratan uji klinis obat sesuai standar yang ditetapkan secara internasional dan harus diregistrasi uji klinis oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

“Penelitian ini belum bisa dipercaya, hasil belum di-review secara independ, kalau disetujui jadi pemaksaan itu namanya,” tukasnya.

Bulan lalu, Kementerian Pertahanan juga mengklaim telah menemukan obat terapi penyembuhan COVID-19 dengan kandungan eucalyptus yang bakal diproduksi dalam bentuk kalung, inhaler (hisap) dan roll on (usap).

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementan, Fajdry Jufry, mengakui bahwa produk berbahan eucalyptus ini bukanlah antivirus, namun, produk turunannya sudah banyak digunakan sebagai pengobatan alternatif untuk gangguan pernapasan.

BPOM mengatakan izin edar untuk kalung eucalyptus milik Kementerian Pertanian tersebut masuk dalam kategori jamu, bukan obat.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.