Menkeu: Lebih dari Sejuta Pekerja Sudah Dirumahkan karena COVID-19
2020.04.17
Jakarta

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan jumlah pekerja yang dirumahkan perusahaan sejak wabah virus corona melanda Indonesia mencapai sekitar 1,4 juta, kebanyakan dari sektor formal.
“Jumlah pekerja yang dirumahkan dari April adalah 1,24 juta dari pekerja sektor formal,” kata Sri Mulyani dalam telekonferensi, Jumat.
Penambahan jumlah orang yang di-PHK juga terlihat dari kenaikan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) 21 atas Jaminan Hari Tua/Pensiun sebanyak 10,12 persen pada Maret 2020 dibandingkan periode tahun sebelumnya.
"Ini adalah pertumbuhan tertinggi selama triwulan I. Mengindikasikan penurunan jumlah tenaga kerja. Pertumbuhan ini bukan berarti baik, diasosiasikan dengan PHK," kata Sri Mulyani.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebelumnya telah menyiapkan sejumlah insentif untuk sekitar 6 juta pekerja yang berpotensi terkena pemutusan hubungan kerja, melalui Kartu Pra-Kerja dengan nilai sekitar Rp3,55 juta per orang untuk periode waktu tertentu.
Insentif bulanan tersebut terdiri dari dana pelatihan sebesar Rp1 juta per periode pelatihan (dilakukan secara online), peserta juga akan diberikan bantuan tambahan senilai Rp600 ribu per bulan selama 4 bulan dan insentif mengisi survei sebesar Rp50 ribu per bulan selama tiga bulan.
Seiring hal tersebut pemerintah juga memberikan kebijakan insentif pajak terhadap 11 sektor baru guna menangkal dampak COVID-19.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan terdapat 11 sektor baru yang akan mendapatkan kebijakan insentif pajak dari pemerintah, guna menangkal dampak negatif wabah corona. Menurut Suryo, 11 sektor tersebut akan mendapatkan stimulus berupa relaksasi PPh 21, PPh 22 Impor, PPh Badan, dan percepatan restitusi PPN.
“Kami sedang merancang adanya perluasan sektor penerima stimulus fiskal melalui sejumlah paket relaksasi perpajakan, seperti PPh 21 ditanggung pemerintah, PPh 22 impor dibebaskan, PPh badan dikurangi dan restitusi PPN yang dipercepat,” kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo dalam konferensi pers daring, Jumat, 17 April 2020.
Ke-11 sektor tersebut adalah pangan seperti peternakan, perikanan, perkebunan dan agrikultura, perdagangan bebas dan eceran, ketenagalistrikan dan energi terbarukan, minyak dan gas bumi, tambang dan batu bara, kehutanan, pariwisata dan ekonomi kreatif, telekomunikasi dan penyelenggara internet, logistik, transportasi darat, udara, angkutan sungai dan penyeberangan, dan konstruksi.
Angka kasus dan kematian tertinggi di Asia Tenggara
Per Jumat (17/4) jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia tercatat sebagai yang tertinggi di Asia Tenggara, mencapai 5.923, demikian merujuk laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
"Konfirmasi positif menjadi 5.923 orang," kata Juru Bicara Pemerintah Terkait Penanganan Wabah Virus Corona, Achmad Yurianto, dalam siaran pers hariannya.
Adapun pasien yang dinyatakan sembuh menjadi 607 orang dan 502 lainnya meninggal dunia. Yuri turut mengumumkan saat ini terdapat 173.732 orang berstatus ODP (orang dalam pemantauan) dan 12.610 PDP (pasien dalam pengawasan).
Sebelum data terbaru Indonesia diumumkan hari ini, Filipina memiliki jumlah terkonfirmasi positif tertinggi di Asia Tenggara, dengan 5.878 kasus, menurut data Worldometer.
Sementara itu, sebanyak 75 warga negara Indonesia yang mengikuti acara massal Jamaah Tabligh di India dilaporkan positif terinfeksi virus corona, 13 di antaranya telah dinyatakan sembuh, kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, melalui telekonferensi, Jumat.
“Angka 75 orang ini merupakan angka tertinggi, kalau kita lihat dari WNI yang terpapar COVID-19 dari seluruh dunia,”
Jumlah warga Indonesia di luar negeri yang dinyatakan positif COVID-19 diketahui mencapai 394 orang, sebanyak 19 persen di antaranya berada di India.
Data terbaru Kemlu menyebutkan saat ini jumlah WNI peserta Jamaah Tabligh di India yang terverifikasi mencapai 717 orang. Ratusan orang tersebut terbagi dalam 62 kelompok dan tersebar di 12 negara bagian.
“Indonesia terus melakukan komunikasi dengan pemerintah India mengenai penanganan Jamaah Tabligh Indonesia di India,” kata Retno.
Retno mengaku pihaknya telah mengupayakan proses evakuasi terhadap warga Indonesia di India dilakukan secepat mungkin, namun, terhalang oleh kebijakan karantina yang belaku sejak 24 Maret.
Persoalan hukum yang menjerat 44 warga Indonesia di India karena menyalahgunakan visa saat mengikuti pertemuan massal Jamaah Tabligh pada 13 Maret lalu turut membuat rencana evakuasi menjadi terhambat.
“Situasi ini menjadi lebih kompleks karena adanya tuduhan pelanggaran hukum terkait dengan aturan visa, aturan yang menyangkut pandemi dan penanganan bencana,” kata Retno.
Sebanyak 34 diantaranya berada di New Delhi dan sisanya di Bombay.
“KBRI Delhi telah meminta pengacara dari KBRI untuk melakukan pendampingan hukum dan juga memberikan nasihat hukum,” kata Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kemlu, Judha Nugraha.
Selain 44 orang yang berperkara hukum, visa dari 379 WNI dimasukkan ke dalam daftar hitam oleh pihak imigrasi India. Dengan demikian, mereka tidak boleh lagi kembali ke India dalam jangka waktu tertentu.
Prosedur evakuasi orang asing
Pemerintah telah menyiapkan prosedur untuk mengevakuasi warga negara asing yang berada di Indonesia, kata Retno.
“Indonesia telah memiliki protokol untuk evakuasi medis yang sudah dipersiapkan oleh Kementerian Kesehatan bagi WNA di Indonesia. Protokol sudah selesai disiapkan,” kata dia.
Retno mengatakan, pihaknya telah melakukan beberapa kali video conference dengan para perwakilan diplomatik dan organisasi internasional, yang didalamnya banyak orang asing yang menanyakan kekhawatiran terhadap kondisi mereka selama di Indonesia.
“Kami akan terus berhubungan dengan korps diplomatik soal isu ini dan kami sadar ini tanggung jawab pemerintah,” kata dia.
Menurutnya, Indonesia sebagai tuan rumah, wajib menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan orang asing termasuk menyediakan rumah sakit rujukan yaitu RS Pusat Pertamina.
Ancam penghasilan
Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yang dirilis Jumat (17/4), menunjukkan sebanyak 77 persen responden merasa terancam penghasilannya karena wabah COVID-19.
Sebanyak 25 persen responden mengaku saat ini harus menggantungkan hidupnya melalui pinjaman dana untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.
Sementara, 15 persen responden lainnya menyatakan tabungan yang mereka miliki hanya cukup untuk beberapa minggu ke depan.
“Hasil ini konsisten dengan temuan bahwa sekitar 70 persen warga merasakan penurunan pendapatan dibanding sebelum wabah,” kata peneliti SMRC Sirajuddin Abbas dalam keterangan tertulis yang diterima BenarNews.
“Proporsinya naik hampir dua kali lipat dibanding temuan survei dua minggu sebelumnya,” sambungnya.
Abbas mengatakan, kalangan yang paling terdampak atas wabah ini adalah mereka yang bekerja di sektor informal seperti buruh dan kelompok yang mengandalkan pendapatan harian.
Survei SMRC dilakukan pada tanggal 9 -12 April terhadap 1.200 responden yang diwawancarai melalui telepon, dengan margin of error sebesar 2,9 persen.
Tia Asmara di Jakarta berkontribusi pada artikel ini.