Polda Metro Tetapkan 10 Tersangka Penyebar Hoaks Selama Wabah Corona
2020.05.04
Jakarta

Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya pada Senin (4/5), mengatakan 10 orang telah dijadikan tersangka dalam kasus terkait kabar bohong dan ujaran kebencian tentang wabah virus corona sejak bulan lalu.
Polisi sedang melakukan penyelidikan terhadap 443 laporan informasi terkait hoaks dan penghinaan pejabat, sebanyak 14 kasus di antaranya telah dilakukan penyidikan, kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus.
“Tiga orang ditetapkan tersangka kasus ujaran kebencian, sisanya (tujuh) penyebar kabar bohong atau hoaks,” kata Yusri kepada BenarNews.
“Semua mendekam di Rutan Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut,” tambahnya.
Yusri menjelaskan, tiga tersangka kasus ujaran kebencian terjerat karena melakukan “penghinaan” kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Ketiga tersangka diidentifikasi dengan inisial NA, YH, dan AFR (26). Ketiganya, secara terpisah, menyebarkan kalimat yang mempertanyakan kinerja presiden dan menteri kesehatan dalam penanganan penyebaran virus corona di Tanah Air.
Adapun kasus yang menjerat tujuh tersangka dikaitkan dengan dugaan penyebaran kabar bohong berita-berita terkait sebaran kasus positif COVID-19 serta penutupan jalan karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Penyebarannya di Facebook, Twitter, dan WhatsApp. Dilakukan secara berkelompok atau perorangan,” kata Yusri, seraya menambahkan 218 dari 443 akun penyebar informasi kabar bohong dan ujaran kebencian telah diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Para tersangka terancam kurungan 6 sampai 10 tahun penjara karena melanggar Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Juncto Pasal 45, lalu Pasal 207 dan 208 Ayat 1 KUHP tentang Penghinaan Terhadap Penguasa di Muka Umum.
Safenet: tak perlu terlalu jauh
Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet, meminta kepolisian untuk menggunakan porsi yang wajar ketika berhadapan dengan penyebaran informasi terkait virus corona yang bisa disangkakan melanggar hukum.
“Apa yang dianggap melanggar hukum juga harus jelas, apalagi langsung dikaitkan dengan UU ITE. Karena UU-nya sendiri penuh dengan pasal kontroversial,” kata Damar melalui sambungan telepon.
Damar beranggapan, kepolisian seharusnya tidak perlu menindak terlalu jauh terhadap beberapa isu miring seputar wabah virus corona yang sifatnya hanya berupa diskusi di media sosial.
“Misalnya yang terkait kabar kerusuhan atau panic buying. Jika itu hanya sebatas diskusi di media sosial, seharusnya itu bukan definisi gangguan publik menurut hukum,” tukasnya.
Laju kasus positif
Sementara itu, kasus positif COVID-19 pada Senin dilaporkan mencapai 11.587 orang, dengan pasien yang dinyatakan sembuh mencapai 1.954 dan 864 lainnya meninggal dunia.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, turut menyebutkan penambahan angka pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 585 orang, sehingga totalnya menjadi 23.130 dengan orang dalam pemantauan (ODP) berjumlah 236.369.
“Jumlah spesimen yang kita periksa sampai hari ini sebanyak 116.861, dengan kasus yang terkonfirmasi positifnya sebanyak 395 orang,” kata Yuri dalam telekonferensi harian di Gedung BNPB, Jakarta.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo, mengklaim laju penurunan kasus baru orang terinfeksi virus corona secara nasional mencapai 11 persen, dengan pemicu tertingginya berasal dari sejumlah klaster.
Dalam rapat terbatas Senin pagi, Presiden Jokowi turut meminta jajarannya untuk memperketat pengawasan dan penelusuran klaster potensi penyebaran virus corona.
"Kita harus melakukan monitor secara ketat potensi penyebaran di beberapa klaster. Ada klaster pekerja migran, klaster Jamaah Tabligh, klaster Gowa, ada klaster rembesan pemudik, klaster industri, ini perlu betul-betul dimonitor secara baik,” kata Jokowi.
Sejak 1 hingga 4 Mei, angka kasus positif baru yang dilaporkan belum sepenuhnya turun. Doni mengatakan pada 1 Mei dilaporkan 433 kasus baru, disusul 292 kasus pada 2 Mei, 349 kasus pada 3 Mei dan 295 kasus pada 4 Mei. Namun, kasus tersebut kembali melonjak pada Senin ini.
Doni menambahkan, bahwa saat ini pemerintah terus memastikan cakupan kemampuan tes deteksi COVID-19 sebanyak 6 sampai 7 ribu tes per hari dari target 10 ribu per hari yang diberikan Presiden Jokowi. Namun, upaya itu masih sulit diterapkan di lapangan akibat kekurangan tenaga laboratorium.
“Bahwa faktornya bukan karena reagentnya, reagentnya sudah terdistribusi dengan jumlah yang sangat banyak. Tetapi petugas laboratorium kita jumlahnya terbatas,” kata Doni.
Ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI), Pandu Riono, sebelumnya menyatakan data kasus positif harian yang dilaporkan pemerintah belum mencerminkan jumlah yang sesungguhnya.
Pasalnya pemerintah perlu meningkatkan kemampuan tes untuk memperjelas status infeksi ODP dan PDP terlebih dahulu. Kemampuan tes harian itu juga yang harus dibuka ke publik.
“Artinya, bisa jadi jumlah orang yang dites per hari itu berbeda-beda. Hari ini bisa 500 orang dites, besok cuma 300 orang. Jadi kalau hanya melihat angka-angka mutlak ini kita bingung, ini nilai dari berapa banyak dari yang sudah dites?” katanya.