Donasi Melalui Media Sosial, Tren Pendanaan Terorisme
2017.10.18
Jakarta

Penerimaan iuran anggota kelompok militan, pencarian donasi melalui media sosial dan pembiayaan sendiri, adalah tiga cara pengumpulan dana terorisme yang berisiko tinggi atau yang paling banyak digunakan belakangan ini, demikian disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Rabu, 18 Oktober 2017.
Dalam white paper berjudul Pemetaan Risiko Tindak Pidana Pendanaan Teroris Terkait Jaringan Teroris Domestik yang Terafiliasi dengan Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang dikeluarkan belum lama ini, hal ini teridentifikasi berdasarkan kasus tindak pidana pendanaan terorisme sejak 2014 sampai Agustus 2017.
Laporan pemerintah tersebut disiapkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama PPATK, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri.
Berdasarkan pemetaan tersebut terjadi perubahan kecenderungan pengumpulan dana yang awalnya banyak melalui organisasi kemasyarakatan atau organisasi nirlaba, kini tidak lagi banyak dilakukan.
“Hal ini disebabkan adanya perkembangan tren pengumpulan dana untuk kegiatan teroris dan organisasi teroris yang pada 2013-2015 melalui penyalahgunaan organisasi nirlaba, berubah menjadi (melalui) media sosial,” demikian ditulis dalam kertas putih yang sudah dipersingkat untuk dibagikan kepada wartawan, Rabu.
Deputi bidang kerjasama internasional BNPT, Brigjen. Pol. Hamidin, mengatakan seperti halnya radikalisasi, media sosial menjadi sarana yang sangat ampuh untuk menyebarkan ajakan berdonasi.
“Dalam hal ini media sosial digunakan sebagai cara komunikasi untuk seruan memberikan donasi,” ujar Hamidin saat dikonfirmasi BeritaBenar terkait ringkasan kertas putih pendanaan terorisme tersebut.
Cara-cara tersebut secara hukum adalah legal dan berasal dari aktivitas yang legal seperti hasil usaha, penjualan barang berharga dan lain-lain, sehingga kegiatan pengumpulan dana untuk kegiatan terorisme menjadi sulit dideteksi dan ditelusuri.
Sebab lain yang membuat hal ini susah dilacak adalah karena pemberian donasi dilakukan secara tunai dan baru terdeteksi setelah ada penyidikan atas suatu tindak pidana terorisme.
Tren pengumpulan dana melalui media sosial telah merubah kecenderungan sebelumnya yang menggunakan cara ilegal seperti melalui pencurian kendaraan bermotor yang pernah menjadi tren pada periode 2013 – 2014, namun kini hanya ada pada risiko sedang. Demikian juga melalui transaksi narkoba yang kini berisiko rendah atau termasuk jarang dilakukan.
Pedoman
Kepala BNPT, Komjen. Suhardi Alius, pada saat jumpa pers mengumumkan peluncuran laporan tersebut beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa dokumen itu juga berfungsi sebagai pedomam bagi berbagai kementerian atau lembaga yang diperlukan kerjasama dalam penanggulangan terorisme di Indonesia.
“Tujuannya adalah untuk melihat kembali pemetaan jaringan teroris dan pemetaan terhadap resiko,” ujar kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badarudin.
Dia menambahkan saat ini Indonesia sedang dilakukan penilaian terhadap kepatuhan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan cuci uang dan pembiayaan terorisme yang telah diatur secara global.
“Laporan ini akan sangat berguna bagi assesor untuk lihat tingkat kepatuhan kita,” ujar Kiagus.
Kertas putih ini juga memetakan pola pemindahan dana terorisme, yang berdasarkan penanganan kasus tindak pidana terorisme selama 2014 hingga Agustus 2017, yang mengidentifikasikan uang tunai, remitensi dan transaksi perbankan sebagai metode pemindahan dana yang berisiko tinggi.
“Perubahan tingkat risiko pada remitensi disebabkan oleh adanya peningkatan uang masuk dari luar negeri yang bertujuan untuk kegiatan terorisme,” demkian ditulis dalam laporan tersebut.
Malaysia, Australia, dan Hongkong disebut sebagai negara-negara asal uang remitensi, dimana uang tersebut disalurkan kembali ke luar negeri untuk membeli senjata yang berasal dari militan di Filipina.
PPATK juga mengindentifikasi bahwa dana yang terkumpul digunakan para militan untuk kegiatan operasional seperti pembelian senjata dan bahan peledak, pembiayaan militan yang akan keluar negeri, atau untuk kegiatan organisasi seperti membantu membiayai hidup keluarga mereka yang terlibat jaringan terorisme.