Polisi: 2 Tewas dalam Demo Penolakan UU KPK dan RKUHP
2019.09.26
Jakarta

Diperbarui pada Jumat, 27 September 2019, 03:00 WIB
Setidaknya dua orang tewas dalam demonstrasi mahasiswa menolak Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah berlangsung sejak awal minggu ini di sejumlah kota di Indonesia, kata polisi.
Seorang mahasiswa Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo bernama Immawan Randi (21) tewas dengan luka di dada ketika polisi menembakkan gas air mata dan menyemprotkan meriam air dalam bentrokan antara mahasiswa dan polisi saat demonstrasi di halaman Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tenggara di Kendari, Kamis, 26 September 2019.
"Satu mahasiswa meninggal dunia dan sekarang saya sedang bantu urus jenazahnya,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia di Sulawesi Tenggara, Mastri Susilo, saat dihubungi BeritaBenar.
Menurutnya, Randi yang dalam keadaan hidup ketika dilarikan ke Rumah Sakit Ismoyo Kendari, sekitar pukul 15:30 waktu setempat.
“15 menit setelah dirawat, korban dinyatakan meninggal dunia,” katanya.
Kabid Humas Polda Sulawesi Tenggara AKBP Harry Golden Hart mengatakan dokter sedang memeriksa penyebab kematiannya, seperti dikutip di AP. Polisi menekankan bahwa mereka hanya menggunakan gas air mata, meriam, air dan pentungan dalam mengendalikan pengunjuk rasa.
Dalam insiden itu, seorang mahasiswa lain Yusuf Kardawi (19) menderita kondisi kritis dan masih dirawat di Rumah Sakit Bahteramas Kendari, karena diduga dipukuli polisi.
Sementara itu di tempat terpisah, Kapolri Tito Karnavian mengatakan seorang pria pingsan dan kemudian meninggal di Jakarta ketika polisi anti huru hara menembakkan gas air mata ke sekumpulan massa yang berusaha membakar sebuah pos polisi dan beberapa kendaraan pada hari Rabu, seperti diberitakan AP.
Tito mengatakan bahwa lelaki itu bukan mahasiswa, melainkan perusuh.
Perppu KPK
Menanggapi gencarnya demo yang berlangsung di sejumlah daerah, Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Kamis malam, mengatakan mempertimbangkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK yang disahkan DPR, beberapa hari lalu.
Jokowi sebelumnya sempat menolak rencana penerbitan Perppu meski didesak berbagai kalangan.
"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan DPR, banyak masukan yang diberikan kepada kami, utamanya terkait Perppu. Tentu saja kami hitung, kalkulasi," katanya.
Jokowi sempat bertemu sejumlah tokoh nasional, sebelum akhirnya mempertimbangkan penerbitan Perppu KPK.
Beberapa yang hadir saat pertemuan itu antara lain tokoh Katolik Franz Magnis Suseno, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Mustofa Bisri, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Ratusan luka-luka
Sejak tiga hari lalu, menurut data Koalisi Masyakarat Sipil, setidaknya 232 orang terluka dalam unjuk rasa di Jakarta, Bandung, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mendesak Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengusut penyebab tewasnya Randi saat demonstrasi di Kendari.
"Kapolri harus memerintahkan Kapolda Sulawesi Tenggara mengusut hingga tuntas. Itu penting mengingat situasi saat ini sudah memanas," katanya, kepada BeritaBenar.
Nasir mengkhawatirkan, amarah massa bakal terakumulasi dan memancing respons lebih besar jika kepolisian tidak transparan dan serius mengusut kematian Randi.
"Makanya, kepolisian seharusnya bertindak sesuai SOP (standar operasional prosedur) dan tidak brutal," teganya.
Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Najih Prasetyo, mengatakan kematian Randi menunjukkan sikap represif kepolisian dalam menangani massa yang berunjuk rasa dalam beberapa waktu terakhir.
"Secara pribadi saya mengecam atas terjadinya peristiwa ini. Bagaimana bisa dibenarkan prosedur pengamanan unjuk rasa dengan memakai senjata lengkap dengan peluru tajam," kata Najih dalam keterangan tertulis.
"Ini mau mengamankan aksi, atau mau perang kepada mahasiswa? Pihak kepolisian harus bertanggung jawab mengusut kasus ini sampai tuntas."
Sanksi untuk rektor
Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada para rektor dan dosen jika kedapatan menggerakkan mahasiswa untuk berdemonstrasi menolak pengesahan revisi KUHP dan aturan lain.
"Kalau dia mengerahkan, sanksinya keras. Bisa surat peringatan, atau kalau sampai menyebabkan kerugian negara dan sebagainya, bisa tindakan hukum," ujar Nasir kepada wartawan di Istana Negara, Kamis siang.
Menanggapi pernyataan Menteri Nasir tersebut, Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar menilainya sebagai bentuk sikap represif pemerintah terhadap rakyat.
"Menurut saya, makin otoriter saja pemerintah kita saat ini. Dengan menggunakan segala cara untuk menghalau, menekan, dan melawan suara publik," katanya saat dihubungi.
Ahmad Syamsudin di Jakarta turut berkontribusi dalam laporan ini.
Dalam versi yang diperbarui ini, jumlah korban yang tewas mengikuti perkembangan terkini berdasarkan informasi kepolisian yang mengatakan dua orang tewas.