Indonesia Perkuat Densus 88 Untuk Hadapi Ancaman Teror

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.12.29
Jakarta
171229_DENSUS88_620.jpg Sejumlah personel Densus 88 Antiteror menggeledah rumah terduga teroris di Malang, Jawa Timur, 9 Desember 2017.
Eko Widianto/BeritaBenar

Kepolisian Republik Indonesia terus memperkuat kapasitas pasukan antiteror Detasemen Khusus (Densus) 88 dalam menghadapi ancaman terorisme yang meningkat dengan menaikkan pangkat perwira polisi pemimpin pasukan dan menambah jumlah personil menjadi dua kali lipat.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan dalam jumpa pers akhir tahun di Mabes Polri, Jakarta, Jumat, 29 Desember 2017 bahwa Densus 88 akan dipimpin jenderal bintang dua, Inspektur Jenderal (Irjen), dari selama ini dipimpin oleh jenderal bintang satu – Brigadir Jenderal (Brigjen).

“Saya juga sudah minta jumlah pasukan dinaikkan dua kali lipat. Kita tambah sekitar 600 personil sehingga nantinya akan menjadi 1.300 personil,” ujar Tito.

Mantan komandan Densus 88 tersebut mengatakan hal ini juga dilakukan karena prediksi ancaman tahun depan ketika Indonesia akan menjadi tuan rumah untuk dua acara berskala internasional.

Kedua event itu ialah Asian Games di Jakarta, Palembang dan beberapa wilayah Jawa Barat dengan 45 negara peserta yang melibatkan 1.500 anggota kontingen dan Pertemuan Tahunan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) di Bali dimana 189 negara akan ikut serta.

Menurutnya, keikutsertaan Korea Utara dan Myanmar di Asian Games pada Agustus-September 2018, serta Amerika Serikat dan Israel pada Pertemuan Tahunan IMF dan WB awal Oktober 2108 dapat menjadi potensi sasaran dan ancaman dari kelompok radikal dan teroris.

Meningkat

Polri mencatat sebanyak 172 terduga teroris ditangkap selama tahun 2017,  termasuk 16 orang yang ditembak mati dalam proses penegakan hukum.

Dari jumlah itu, 76 orang sedang menjalani persidangan dan 10 orang sudah divonis. Sedangkan sisanya masih dalam proses penyidikan.

Dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, jumlah yang ditangkap meningkat. Pada 2016, polisi menangkap 163 terduga teroris dan 73 orang diciduk tahun 2015.

“Banyaknya penangkapan ini lebih karena langkah-langkah proaktif yang dikerjakan oleh jajaran kepolisian, lebih khususnya Densus 88, yang bekerja lebih giat dalam rangka mendeteksi, memonitor dan melakukan penindakan kepada jaringan terorisme,” ujar Tito.

Di sisi lain, jumlah personel Polri yang menjadi korban aksi teror juga meningkat selama tiga tahun terakhir dengan 14 polisi terluka dan empat tewas dalam tugas dibanding 11 terluka dan satu gugur pada 2016 dan dua terluka dan satu gugur tahun 2015.

“Saya instruksikan untuk lebih banyak melakukan gerakan senyap, pencegahan awal dan melakukan tindakan sebelum ada peristiwa. Untuk ini perlu kemampuan deteksi yang lebih kuat,” tambahnya.

Sudah tepat

Pengamat terorisme Rakyan Adibrata mengatakan bahwa peningkatan eselon komandan Densus 88 berdampak pada tugas dan fungsi yang lebih luas serta anggaran lebih besar untuk pasukan.

“Namun perlu diingat, untuk menyiapkan seorang petugas anti-terorisme yang 100 persen profesional dan siap sangat memakan waktu, sementara menyiapkan seorang pelaku teror jauh lebih cepat dari kecepatan Densus dalam menyiapkan operator anti-terorisme. Densus akan berkejaran dengan waktu,” ujar Rakyan kepada BeritaBenar.

“Bila melihat dari sumber dayanya, ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) tidak seperti Jamaah Islamiyah yang membutuhkan korban banyak, mereka (ISIS) cukup (menyerang) dengan menggunakan pisau dapur yang sederhana.”

Rakyan menambahkan analisa Tito akan kemungkinan ancaman kepada negara-negara tertentu pada dua peristiwa internasional tahun depan sudah tepat.

“Ada ekspektasi tinggi dari pelaku yang ingin menggunakan terorisme sebagai alat untuk menyampaikan pesan politiknya,” ujar Rakyan.

Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatat selama 2017 terdapat 227 warga negara Indonesia (WNI) ditahan di Turki, Malaysia, Suriah, dan Korea Selatan.

Jumlah terbanyak berada di Turki, yaitu 195 orang, disusul di Suriah sebanyak 28 orang, yang diduga terlibat dalam kelompok radikal.

Kemenlu juga mencatat ada 213 WNI, termasuk 79 wanita dan 78 anak-anak dideportasi dari Turki dalam periode 1 Januari sampai 20 Oktober 2017. Angka tersebut meningkat tiga kali lipat dari 60 orang tahun 2016.

Lalu Muhammad Iqbal, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia di Kemenlu mengatakan, sebagian besar warga negara Indonesia itu dideportasi karena pelanggaran keimigrasian seperti penyalahgunaan visa, tinggal melebihi masa kunjungan, atau tidak dapat menunjukkan paspor.

“Namun demikian, otoritas Turki juga mengindikasikan dugaan bahwa mereka tinggal di Turki untuk dapat menyeberang ke Suriah dan bergabung dengan ISIS, atau kelompok sejenis lainnya, seperti Jabhat An-Nusra, di Suriah,” ujar Iqbal.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.