Program Deradikalisasi Indonesia Lemah Atasi Terorisme: Pakar

Oleh Yenny Herawati
2015.05.12
150512_ID_YENNY_ID_DERADIKALISASI_700.jpg Seorang perempuan berjalan ketika Densus 88 sedang melakukan operasi di sebuah rumah di Kota Malang, Jawa Timur tanggal 26 Maret 2015.
AFP

Program deradikalisasi yang mengandalkan pada perubahan ideologi tidak lagi dianggap efektif mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme. Pakar mengatakan jejaring sosial terbukti memberikan pengaruh lebih efektif.

“Caranya melawan kicauan di Twitter yang pro ISIS lebih efektif. Bahkan bisa menangkal strategi media berbau radikal," kata Sidney Jones kepada BeritaBenar tangal 6 Mei.

Pemerintah Indonesia melakukan deradikalisasi sebagai salah satu cara lunak mengatasi terorisme di Indonesia paska bomb Bali 2002, tapi ia mengatakan program ini tidak berjalan dengan baik.

“Deradikalisasi untuk merubah atau menghilangkan ideologi radikal termasuk di Indonesia terbukti tidak efektif,” katanya lanjut.

“Metode ini juga tak berhasil diterapkan kepada orang-orang yang sudah terpengaruh paham radikal."

Sidney, direktur Instutite for Policy Analysis of Conflict (IPAC), memberikan contoh proses deradikalisasi yang diberikan kepada Santoso, gembong teroris pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

"Dia pernah diberi jabatan dan modal berupa uang dari Pemerintah Kabupaten Poso. Tetapi kemudian, modal itu digunakan untuk menggaji anak buah dalam kelompoknya dan mendanai kegiatan-kegiatan bernuansa radikalisme," kata Sidney.

Polisi mengklaim Santoso telah memimpin penyerbuan dan pembunuhan terhadap tiga polisi di Palu pada 2011. Kelompok ini juga menyerang kantor polisi di Poso tahun 2012. Santoso juga diduga sebagai dalang aksi bom bunuh diri di Polres Poso pada 2013.

Mengapa deradikalisasi lemah?

Sidney mengatakan beberapa alasan lemahnya program deradikalisasi di Indonesia.

Pertama, meskipun gagasan bahwa mantan radikal memiliki kredibilitas untuk mempengaruhi radikal lainnya masuk akal, upaya ini sangat terbatas keberhasilannya. Radikal yang dikenal telah bekerja sama dengan polisi akhirnya dideskreditkan oleh kelompoknya.

Ia mencontohkan kasus Nasir Abas dan beberapa radikal lainnya. Meskipun mereka memilih keluar dari Jemaah Islamiyah (JI) dan memutuskan bekerjasama dengan apparat, termasuk dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tetapi kelompok JI tetap beraksi, terang Sidney.

Tetapi Abas memberikan kontribusi besar bagi apparat untuk memetakan gerak JI, katanya lanjut.

Kedua, program rehabilitasi yang didanai pemerintah untuk menangani para jihadis yang dibebaskan dari penjara terbukti lemah.

Mereka [radikal] tidak memiliki keterampilan, tidak ada pekerjaan, dan akhirnya kembali ke lingkaran militan yang mereka kenal,” katanya.

Ketiga, kurangnya anggaran resmi untuk program deradikalisasi.

“Karena kesulitan keuangan, polisi gagal untuk memenuhi janji-janji untuk bantuan yang telah mereka janjikan kepada kelompok radikal. Akibatnya, mereka [radikal] kecewa dan tidak lagi tertarik memberikan informasi,” lanjut Sidney.

Sidney juga mengkritisi sistem penjara Indonesia yang korup telah terbukti merusak program deradikalisasi.

“Mereka justru menjadikan penjara sebagai tempat perekrutan dan kembali terhubung dengan radikal lainnya,” katanya.

Peran Pendidikan

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta, Bachtiar Effendy, menambahkan, bahwa lemahnya pengetahuan terkait terorisme dan radikalisme dikalangan pendidik juga menjadi alasan gagalnya deradikalisasi.

Menurut Bachtiar pengetahuan tentang radikalisme diperlukan bagi pendidik untuk mematahkan paham-paham radikal yang salah.

“Organisasi Islam bisa meningkatkan perannya. Mereka harus ikut mengembangkan pandangan yang tidak konvensional tentang radikalisme,” katanya kepada BeritaBenar.

Bachtiar menambahkan pemikiran orang moderat masih ditentang dikalangan radikal karena jumlah mereka masih tergolong sangat kecil.

“Jumlah mereka tidak cukup banyak untuk memberikan pengaruh kepada radikal,” katanya lanjut.

Sidney menambahkan bahwa deradikalisasi harus di mulai dari lembaga pendidikan usia dini.

"Harus diperhatikan, umumnya murid yang lebih tertarik dengan hal seperti [radikalisme] bukan yang dari pesantren, tapi justru dari sekolah umum," katanya.

Menggerakkan masyarakat

Sidney mengusulkan langkah untuk mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme langsung dari masyarakat.

"Masyarakat yang turun langsung melalui sarana media. Contohnya, bisa melalui seseorang yang mempunyai banyak pengikut,” katanya lanjut.

“Indonesia mempunyai jumlah pemakai jejaring sosial yang besar.”

Menentang radikalisasi dengan menggerakkan masyarakat lebih berdampak daripada memblokir situs berbau radikal, katanya.

Sidney juga mengatakan kontrol pemerintah terhadap lembaga-lembaga Islam ataupun masjid yang digunakan untuk menyebarkan ajaran esktrimisme atau perekrutan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) belum terpola.

Pemerintah juga masih belum tegas memantau kelompok-kelompok yang menyebarkan hasutan dan menebar kebencian.

“Peredaran poster-poster yang menebar kebencian terhadap kelompok minoritas, seperti syiah dan lainnya, yang diunggah di media online. Termasuk, poster yang menyebarkan ajakan jihad dengan kekerasan,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.