Mahfud MD Klaim Program Deradikalisasi Berhasil
2020.03.06
Jakarta
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan program deradikalisasi pemerintah untuk menyadarkan narapidana terorisme telah berhasil, walau sebagian pengamat mempertanyakan efektivitas usaha itu.
"Tahun 2020 sudah ada lebih dari 117 orang, itu yang ada di seluruh Indonesia. Kita kan punya program deradikalisasi, jadi yang pernah terpapar atau terlibat terorisme disadarkan kembali," kata Mahfud kepada wartawan, saat bertandang ke kantor Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) di Jakarta, Jumat (6/3/2020).
Mahfud mengatakan puluhan narapidana yang mendekam di penjara dengan pengawasan ketat untuk narapidana yang berisiko tinggi di Pulau Nusakambangan, Cilacap, telah berikrar setia kepada negara.
“Di Nusakambangan sudah ada 48 mantan napi teroris yang sekarang sudah kembali ke NKRI, menyatakan kesetiaan dan menunjukan perilaku NKRI,” ujarnya.
Meski demikian Mahfud tidak merinci sejak kapan 117 napi tersebut menjalani program itu Ia mengaku telah meminta Kementerian Hukum dan Ham untuk mendata kembali narapidana dan mantan narapidana terorisme yang telah menjalani program deradikalisasi.
Berdasarkan data Kemenkumham, terdapat hampir 200 orang terpidana terorisme yang mendekam di sejumlah lapas di Pulau Nusakambangan. Mereka tersebar di sejumlah bangsal yang dijaga dengan tingkat pengamanan menengah hingga sangat maksimal. Terpidana yang dinilai dapat mempengaruhi orang lain, ditempatkan di penjara dengan tingkat pengamanan super ketat.
Bulan November lalu, Mahfud mengatakan program deradikalisasi tidak perlu ditinjau ulang setelah Ketua DPR Puan Maharani mengusulkan evaluasi.
"Enggak (perlu dievaluasi). Program deradikalisasi diperkuat saja,” katanya waktu itu.
Pencabutan paspor
Saat mengunjungi Kemenkumham, Mahfud bersama para pejabat kementerian tersebut juga membahas soal pencabutan paspor Warga negara Indonesia yang terlibat terorisme di Suriah. Menurut Mahfud pencabutan paspor WNI yang menjadi pejuang ISIS itu sesuai dengan hasil rapat kabinet yang digelar pemerintah beberapa waktu lalu.
"Kita pastikan bahwa itu adalah keputusan sidang kabinet, bahwa yang FTF (Foreign Terrorist Fighters) yang sudah terindentifikasi paspornya ditutup dulu, diblok dulu. Karena dia dalam proses tidak boleh pulang," katanya.
Awal Februari 2020, pemerintah memutuskan untuk tidak akan memulangkan ratusan warga Indonesia yang bergabung dengan ISIS di berbagai negara. Mahfud menyebut keputusan itu dilakukan untuk melindungi warga negara dari ancaman “virus-virus baru teroris” di Indonesia.
Tidak maksimal
Para peneliti terorisme menilai program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah tak sepenuhnya berhasil mengembalikan ideologi dan paham radikal yang telah tertanam dalam jiwa para terpidana terorisme.
Peneliti terorisme Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarak menyebut hanya 30 persen saja terpidana terorisme yang telah mengikuti program deradikalisasi, benar-benar taubat dan tidak ingin kembali ke masa lalunya. Mereka juga mudah kembali karena didekati oleh rekan lamanya.
“Tidak mungkin orang yang sudah bertahun-tahun dicuci otaknya dengan pemahaman radikal, bisa berubah setelah mengikuti program deradikalisasi yang jangka waktunya sebulan atau tiga bulan,” ujarnya saat dihubungi BenarNews.
Menurutnya program deradikalisasi terhadap para napi dan mantan napi teroris yang dilakukan selama ini harus dievaluasi dan dilakukan secara berkelanjutan. Mereka juga perlu mendapatkan pembinaan untuk menata hidup lebih baik setelah menjalani hukuman.
“Mendukung mereka lewat program pelatihan kerja dan pemberian modal kerja juga sangat diperlukan, agar mereka itu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Sekaligus mereka juga dapat diawasi dan juga bekerjasama untuk mengkampanyekan anti radikalisme,” katanya.
Penasihat Hukum Residen Departemen Kehakiman AS, Bruce Miyake, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu. mengatakan pemerintah juga perlu terbuka atas efektivitas program pencegahan maupun deradikalisasi tindak terorisme, mengingat banyaknya mantan napi terorisme yang kembali melakukan aksi yang sama.
“Penegakan hukum harus diterapkan dengan tepat. Pemerintah Indonesia perlu transparan terkait sistem-sistem pencegahan maupun deradikalisasi apa yang sudah jalan atau belum demi menciptakan kepercayaan di masyarakat,” kata Miyake.
“Mereka seperti dibiarkan begitu saja, tidak ada pengawasan. Pemerintah perlu melakukan sesuatu agar mereka tidak menemukan kembali ideologi radikal itu,” katanya.
Sementara peneliti terorisme dari Universitas Malikul Saleh Lhokseumawe, Al Chaidar, mengatakan beberapa kasus serangan teror yang terjadi juga melibatkan para mantan napi terorisme. Karena itu menurutnya pengawasan dan pembinaan yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus dilakukan simultan.
“Kasus di Medan dan Palembang yang terjadi pada tahun 2019 lalu itu juga melibatkan mantan napi teroris, jadi saya kira tidak semua mantan napi teroris benar-benar telah dideradikalisasi, dan memang harus dilakukan simultan dan berkelanjutan,” ujarnya saat dihubungi.
Dalam sebuah kesempatan di Gedung Kementerian BUMN, pada 7 Febuari 2020 lalu, Kepala BNPT Suhardi Alius mengatakan, setiap napi terorisme menjalani program deradikalisasi secara sukarela. Para napi juga dibagi dalam kluster tertentu.
“Kita klasterkan apakah dia masuk hardcore, apakah masuk militan, apakah dia masuk suporter, atau simpatisasi. Treatment-nya beda-beda, ulamanya pun beda-beda yang kita kirim," katanya sebagaimana dilansir Detik.com.
Menurut Suhardi, BNPT tidak bisa bekerja sendiri untuk melakukan pengikisan paham radikal terpidana maupun mantan narapidana terorisme. Ia berharap organisasi masyarakat dapat berperan membantu proses deradikalisasi.
"Kami juga bergangtung sama yang lain. Kami bergantung sama Muhammadiyah, sama NU, sama ormas-ormas, termasuk psikolog. Nggak bisa kami tanpa bantuan masyarakat pada umumnya. Termasuk mereka yang akan kami deradikalisasi," ujarnya.