Kajian: Derita perempuan korban terorisme, dari fisik hingga psikis
2024.06.25
Jakarta

Dampak serangan teroris tidak hanya menyebabkan penderitaan secara fisik tapi juga mental, psikologis, ekonomi dan sosial kepada korban perempuan, baik langsung maupun tak langsung, demikian menurut laporan baru yang dirilis pada Selasa (25/6).
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengeluarkan kajian berdasarkan wawancara ekstensif dan kerja lapangan, yang menyoroti tantangan unik yang dihadapi perempuan setelah peristiwa serangan teroris, termasuk hilangnya mata pencaharian, trauma fisik dan psikologis, serta stigma sosial.
Laporan tersebut juga merinci pengalaman perempuan yang tidak terluka secara langsung dalam serangan tersebut, namun menderita akibat kehilangan orang yang dicintai atau menyaksikan kekerasan tersebut.
Laporan tersebut berfokus pada beberapa insiden besar, termasuk Bom Bali tahun 2002 dan 2005 serta serangan serentak terhadap gereja-gereja di Surabaya pada tahun 2018.
Seorang penyintas bom gereja di Surabaya, yang diidentifikasi sebagai Ibu E, menderita luka bakar di 85% tubuhnya dan menjalani lebih dari 30 kali operasi.
Dia menggambarkan rasa sakit fisik dan emosional yang dialaminya, serta diskriminasi yang dia hadapi akibat cedera.
Dirinya dijanjikan pejabat daerah untuk menerima fasilitas kesehatan gratis namun tak pernah diterimanya dan pihak rumah sakit memulangkannya karena luka bakar tak ditanggung BPJS (asuransi pemerintah).
“Dia menuturkan luka bakar di tangan membuat tangan tidak bisa bergerak. Akibatnya, dia berhenti melakukan aktivitas selama 5 tahun hanya untuk pemulihan. Sepanjang pemulihan dirinya sangat tergantung kepada orang lain,” kata laporan tersebut.
Selain itu, ibu E juga tidak berani bertemu dengan orang karena pada tahun keempat telinganya membesar karena keloid. Meskipun bisa berjalan, dirinya merasa menjadi cacat karena bekas luka dan jarinya yang terputus akibat ledakan bom.
Korban lainnya Ibu F mengalami gangguan pendengaran pada telinganya sebelah kanan sehingga sulit mendengar orang berbicara dan hanya mengandalkan gerak bibir orang, menurut laporan tersebut.
Kondisi sama dialami AI, ungkap laporan Komnas Perempuan. Saat kejadian, posisi Al hanya berjarak dua meter dari pusat ledakan sehingga membuat mata kirinya hancur dan mata kanannya cedera berat.
Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahei mengatakan dari sejumlah penyintas yang diwawancarai semua menyatakan trauma, bingung, sakit hati, marah, dan stres berkepanjangan menghadapi situasi yang terjadi.
Nahei menambahkan bahwa sebagian besar menyatakan mengalami trauma berkepanjangan, depresi serta rasa takut, cemas berlebihan.
“Ada yang takut bertemu orang bercadar, atau bahkan membenci terhadap simbol agama tertentu,” ujarnya.
Komnas Perempuan mencatat ada 57 peristiwa terorisme sepanjang dua dekade, dari tahun 2000 hingga 2022 yang tersebar di sejumlah 33 kota/ kabupaten di Indonesia, termasuk Jakarta, Bali dan Ambon.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), jumlah warga negara Indonesia yang terlibat aksi terorisme di luar negeri pada 2021 mencapai 1.500.
Sebanyak 800 di antaranya belum kembali, sekitar 100-an orang meninggal dunia, 550 orang dideportasi, dan 50 lainnya kembali dengan keinginan sendiri, kata BNPT.
Pada 2021, menurut BNPT, kasus-kasus terorisme dengan pelaku perempuan mulai menjadi tren baru. Salah satunya kasus suami-istri yang meledakkan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar Sulawesi Selatan akhir April 2021.
Setelah itu Densus 88 menangkap 52 orang, 7 di antaranya perempuan. Pada bulan yang sama, seorang wanita berinisial ZA masuk ke dalam Mabes Polri dan menembak ke arah polisi yang berjaga dan akhirnya ditembak mati, ungkap BNPT.
Pada 2022, seorang perempuan muda bercadar juga menerobos Istana Merdeka pada Oktober dan menodongkan senjata kepada petugas Paspampres yang berjaga, tambahnya.

Pola rekrutmen bawah tanah
Direktur Society against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Dete Aliah mengatakan selama ini korban perempuan tidak banyak diperhatikan dan didengarkan keluhannya.
“Pencegahan penting agar tidak lagi banyak korban karena dampaknya bagi korban perempuan luar biasa. Sampai hari ini mereka banyak bergantung pada obat-obatan atau menjadi cacat permanen,” kata dia.
Apalagi, kata Dete, banyak dari korban merupakan kepala keluarga atau memiliki anak yang terlahir sakit setelah dirinya menjadi korban.
Setidaknya, lanjut Dete, 563 orang meninggal dunia dan 1.051 orang terluka serta ratusan rumah, kendaraan dan bangunan yang rusak akibat aksi terorisme yang berlangsung selama dua dekade 2000-2022.
Berdasarkan data, kata Dete, sepanjang tahun 2023 tidak terjadi sama sekali tindak pidana terorisme. Sementara, 2022 hanya ada dua kasus, dan tahun ini ini belum terjadi tindak pidana terorisme.
Namun demikian, dia mencatat, penangkapan yang terjadi oleh aparat justru meningkat. Tahun lalu ada 142 penangkapan atau meningkat dari 2022 yang hanya 62 penangkapan.
“Artinya, ini membuktikan tren underground perekrutan itu naik. Mereka biasanya tinggal menunggu momen untuk melakukan aksinya misalnya menjelang akhir tahun saat natal dan tahun baru,” ujar dia.
Selain itu, kata dia, beberapa organisasi teroris sudah mengubah strategi mereka dengan menunggangi atau masuk ke dalam sistem demokrasi dengan menjadi pelaku di pemerintahan.
Strategi tersebut, menurut dia, dilakukan sebagai kendaraan untuk merebut dan mengganti ideologi bangsa.
“Tapi begitu pemimpinnya ditangkap maka mereka memutuskan kembali ke strategi lama di mana sistem underground militer mereka kembali dioperasikan,” ujar dia.
Debbie Affianty, Peneliti Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS) Universitas Muhammadiyah, mengatakan selama ini korban terorisme di luar wilayah Indonesia jarang disinggung.
Salah satu contohnya, WNI pro-ISIS yang akan dipulangkan ke Indonesia. Saat ini, kata dia, masih ada 600 warga Indonesia pendukung kelompok teror tersebut baik laki-laki, anak-anak dan perempuan yang masih berada di Suriah menunggu untuk dipulangkan.
“Peraturan hanya menyentuh korban langsung dan keluarga pelaku tindak pidana terorisme. Namun memulangkan pro-ISIS memang tidak mudah karena mekanisme agak sulit harus pakai biaya per kepala orang jika ingin mengeluarkan dari pusat detensi di sana,” kata dia.
Selain itu, ujar dia, masih banyak korban tersembunyi atau tidak berani muncul untuk melaporkan dan korban tak terlihat tersebut tidak terjamah haknya.
“Mereka ada yang usahanya hancur atau tempat kerjanya hancur sehingga tidak bisa bekerja lagi,” kata dia.
“Semua korban mengalami peristiwa sama tapi mengalami dampak berbeda-beda, kalau perempuan lebih ke kesehatan mental mereka. Ada korban yang dipaksa cerai karena tidak bisa menjalankan fungsi reproduksinya,” kata dia.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi Pemulihan Korban BNPT Nilam Ayuningtyas mengklaim pihaknya selalu mendorong rehabilitasi medis dan psikososial untuk korban perempuan dan anak.
“Kami mengunjungi mereka ke luar kota, istri-istri polisi yang menjadi korban juga psikologisnya dipantau. Kami memahami hakikat perempuan itu memiliki hati halus sehingga penyembuhan lama,” ujar dia.