Balun, ‘Desa Pancasila’ Ajarkan Toleransi
2016.12.01
Lamongan

Suasana Desa Balun di Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, terlihat lengang saat BeritaBenar bertandang, Selasa, 29 November 2016.
Sebagian warga sedang bergotong royong, membantu pembangunan menara Masjid Miftahul Huda dan renovasi bangunan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW).
Bagi warga setempat, keberadaan masjid dan gereja berdampingan tak menimbulkan masalah antarumat beragama. Di desa berpenduduk 4.150 jiwa juga terdapat pura atau tempat ibadah umat Hindu.
Keberadaan tiga tempat ibadah di Balun, menunjukkan bahwa warga desa bukan pemeluk satu agama. Mereka juga menikahi pasangan berbeda agama. Tak sedikit dalam satu keluarga ada yang berbeda agama.
Salah satunya adalah Dwi Eva, yang beragama Kristen. Sejak kecil Eva beragama Hindu. Ia baru memeluk Kristen setelah menikah.
Menurutnya, meski berbeda agama, seluruh anggota keluarga bisa rukun dan saling mengerti.
“Kami saling mengingatkan, kakak pertama saya beragama Islam. Bila tiba waktunya shalat, ya diingatkan. Kalau ibu mau ke Pura, juga dingatkan,” tutur Eva.
“Meski beda agama, kita rukun dan saling mengingatkan satu sama lain dalam keluarga. Begitu juga keluarga lain yang berbeda agama, mereka tidak ada persoalan.”
Eva menambahkan, kebersamaan antar-warga lebih terasa pada hari-hari besar agama seperti Hari Nyepi, Idul Fitri dan Natal.
Misalnya saat Nyepi, Indah Puspasari – anak pertama dalam keluarganya yang memeluk Islam — “ngungsi” ke rumah Eva untuk memberi kesempatan pada Karmani, sang ibu, memperingati Nyepi.
“Saat ibu merayakan Nyepi kami menghormati. Saat Nyepi, lampu ngak boleh nyala dan ngak boleh masak. Karena ibu tinggal sama kakak, saat Nyepi, ia pindah sementara ke rumah saya,” cetus Eva.
Ketika Natal dan Idul Fitri, seluruh anggota keluarga masak dan bancaan (syukuran) bersama, meski mereka berbeda agama.
Karmani tidak mempermasalahkan pilihan kedua anaknya yang memeluk Kristen dan Islam.
Baginya, agama adalah hak dan keyakinan masing-masing pribadi. Saat kedua putrinya memilih pindah agama setelah menikah, dia tidak melarangnya.
Bagi Karmani, meski anaknya berpindah agama, tidak ada yang berubah dalam kehidupannya.
“Biasa saja, kita ngak usah aneh-aneh. yang penting tetap rukun. Agama kan keyakinan masing-masing,” terangnya.
Suwondo dan istrinya Aropah di Desa Balun, Lamongan, Jawa Timur, 29 November 2016. (Yovinus Guntur/BeritaBenar)
Warga lain yang hidup dengan agama berbeda adalah Darmani. Ia beragama Hindu, sedangkan putrinya Aropah memilih memeluk Islam setelah menikah dengan Suwondo.
Senada dengan Karmani, resep yang dipakai Darmani adalah saling menghargai. Mereka tetap akur meski berbeda keyakinan.
Aropah mengatakan, warga Balun sudah saling mengerti, dimana toleransi dimulai dari hal-hal terkecil seperti ketika puasa Ramadhan – dimana warung buka siang hari tapi diberi tirai.
Ketika Idul Fitri, remaja Kristen dan Hindu ikut membantu berjaga di setiap sudut desa. Begitu juga dengan remaja beragama Islam yang ikut berjaga saat Natal dan Nyepi.
Suwondo, menambahkan, kalau ada orang meninggal dunia, apapun latar belakang agamanya selalu diantarkan warga sekampung ke tempat peristirahatan terakhir. Jika ada warga yang tak datang, akan didenda Rp20.000.
Tak itu saja, gotong royong di Balun masih dilestarikan hingga kini, seperti terlihat saat mereka membangun menara masjid dan renovasi gereja yang dikerjakan bersama.
Desa Pancasila
Saling menghargai yang tinggi ditunjukkan warga, membuat desa ini dijuluki "Desa Pancasila". Julukan itu disematkan mahasiswa yang membuat skripsi tentang toleransi di Balun.
Sebutan itu bukannya tanpa alasan. Suwito, seorang tokoh agama Islam setempat, menyebutkan salah satu penyebab yang membuat toleransi di Balun sangat baik adalah kultur.
“Masyarakat Balun mulai nenek-kakek saya, diajarkan pentingnya untuk toleransi dan saling menghormati satu sama lain,” katanya.
Peranan tokoh agama dalam memberi pemahaman kepada umat ikut mendukung kerukunan di Balun.
“Dalam setiap khutbah dan pengajian selalu memberikan pemahaman bahwa toleransi sangat penting,” katanya.
“Keragaman adalah keindahan, perbedaan adalah ladang dakwah bagi para tokoh agama.”
Tokoh agama lain, jelasnya, juga memberikan seruan dan pemahaman pada pemeluknya terkait toleransi untuk saling menghargai.
“Waktu kebaktian ada seruan itu. Hindu juga isi ceramah yang saya dengar imbauan semacam itu. Jadi saling mengingatkan,” jelas Suwito.
Kepala desa dan aparaturnya juga menekankan saling menghargai di setiap pertemuan. Jadi tak mengherankan kalau isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang ramai di luar, tak mempan di Balun.
Sekretaris Desa Balun, Rokhim, mengatakan tak pernah ada program khusus untuk kerukunan antar-umat beragama karena sudah berjalan alami dari dulu.
Menurutmya, warga tahu betul tentang toleransi dan melihat perbedaan sebagai hal yang indah sehingga tak perlu diperdebatkan.
“Saya harap kerukunan masyarakat Balun menjadi contoh untuk warga lain tentang bagaimana kami merawat toleransi dan hidup berdampingan meski berbeda agama,” tuturnya.