Dewan Kerukunan Nasional Dinilai Bakal Mubazir

Komisioner Komnas HAM mengatakan DKN belum dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik di tengah masyarakat karena beragam instrumen hukum bisa digunakan.
Arie Firdaus
2017.01.11
Jakarta
170111_ID_DKN_620.jpg Pengunjuk rasa yang sebagian besar mahasiswa Papua meneriakkan slogan saat menggelar demonstrasi di Jakarta, 1 Desember 2016.
AFP

Rencana pemerintah membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) untuk menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu menuai kecaman dari beragam pihak karena dianggap bakal mubazir.

"Kan, sudah ada aturan soal penyelesaian masalah HAM," kata Sumarsih, orang tua korban tragedi Semanggi I, Bernardus Realino Norma Irmawan, kepada BeritaBenar, Rabu, 11 Januari 2017.

Sumarsih merujuk Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Beleid itu menyatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dilakukan di peradilan umum.

"Kita, kan, negara hukum. Kalau DKN untuk pelanggaran HAM, berarti itu melanggar konstutusi sendiri," kata Sumarsih yang kini aktif dalam Aksi Kamisan, kegiatan setiap hari Kamis untuk memperjuangkan penyelesaian masalah HAM lewat jalur hukum.

"Ini juga menunjukkan bahwa hukum Indonesia itu tumpul ke atas," tambahnya.

Tak berbeda pernyataan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, yang menyebutkan pemerintah telah punya banyak aturan untuk penuntasan masalah HAM.

Selain UU Pengadilan HAM, ada UU HAM Nomor 39 Tahun 1999. Tak mengherankan, Haris menilai pembentukan DKN tak lebih seperti kegiatan "cuci tangan" pemerintah, khususnya Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto.

"Jadi, tak bisa diterima pernyataan Wiranto tersebut," kata Haris.

Wiranto memang dituding bertanggung jawab dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu, antara lain Tragedi Trisakti, atau Tragedi Semanggi I dan II karena saat itu dia menjabat Panglima ABRI.

"Presiden harus menunjukkan niat baik dengan taat prosedur hukum dalam penyelesaian pelanggaran HAM," kata Haris.

"Ini momentum menguji keberanian Presiden Joko Widodo juga. Apakah dia berani mencopot Wiranto dari Menkopolhukam atau berkontribusi melanggengkan impunitas."

Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Muhammad Hafiz, juga menyatakan aturan telah jelas menyebutkan bahwa penuntasan kasus HAM harus melalui pengadilan umum.

"Maka, sama saja membelakangi aturan yang ada selama ini (jika bentuk DKN)," katanya saat dihubungi.

‘Musyawarah’

Dalam pernyataannya di Istana Bogor pada pekan lalu, Wiranto mengatakan pembentukan DKN bertujuan untuk menengahi berbagai kasus di tengah masyarakat, salah satunya pelanggaran HAM masa silam.

Menurutnya, penyelesaian masalah di tengah masyarakat selama ini kerap melalui peradilan umum, cara yang digambarkan Wiranto agak berbau Eropa.

"Karena Indonesia mengadopsi undang-undang dari Eropa, maka berbagai kasus selalu dilarikan ke proses peradilan," kata Wiranto, dikutip dari laman Kompas.com.

“Bangsa Indonesia seharusnya selalu mengedepankan musyawarah setiap ada masalah. Itu yang kami inginkan, begitu ada kasus diselesaikan dulu dengan cara non-yudisial, bukan konflik di pengadilan."

Hanya saja, Wiranto belum memerinci struktur atau peran lebih lanjut DKN, kecuali turut terlibat dalam penyelesaian masalah HAM masa lalu.

Sekretaris Kabinet, Pramono Anung menyatakan pemerintah bakal memilih orang-orang dengan rekam jejak baik untuk mengisi posisi di DKN.

"Yang tak berkeinginan merusak multikultur dan multietnik," katanya di laman CNN Indonesia.

Belum dibutuhkan

Dihubungi terpisah, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Roichatul Aswidah mengatakan DKN belum dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik di tengah masyarakat.

Pasalnya, menurut dia, pemerintah sebenarnya telah memiliki beragam instrumen hukum yang bisa digunakan dalam penyelesaian konflik horizontal.

"Tinggal dimaksimalkan," ujarnya.

Ia mencontohkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang bisa digunakan sebagai dasar penyelesaian konflik lewat mekanisme non-yudisial.

Dalam aturan itu, salah satu penyelesaian adalah melalui perundingan secara damai, pemberian restitusi, dan pemaafan.

"Adapun konflik yang melibatkan kekerasan lewat mekanisme hukum pidana," katanya. "Semua mekanismenya sebenarnya sudah ada."

Pendapat senada dikatakan politikus Partai Golkar, Dave Fikarno Laksono, yang menyebut negara telah memiliki beberapa lembaga yang bertugas menjaga kerukunan.

"Lembaga Ketahanan Nasional atau Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peran mereka bisa dimaksimalkan,” ujar Dave kepada BeritaBenar.

"Daripada membentuk lembaga baru, sebaiknya maksimalkan apa yang ada.”

Namun jika pemerintah bersikeras membentuk DKN, baik Roichatul dan Dave berharap dewan itu memiliki dasar dan tujuan yang jelas agar keberadaan dewan bermanfaat dan menjadi solusi penyelesaian masalah.

"Harus mandat yang cukup besar. Mengungkap kebenaran dan bisa memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM, misalnya," tambah Roichatul.

Sedangkan, Dave berharap agar DKN nantinya tidak tumpang-tindih dengan lembaga lain.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.