Difteri Merebak, Pemerintah Gelar Imunisasi Massal

Meningkatnya kasus ditengarai karena banyaknya penolakan dari sebagian masyarakat terhadap vaksinasi yang mereka anggap haram.
Zahara Tiba
2017.12.08
Jakarta
171208_ID_Difteri_1000.jpg Pengunjung melewati banner tentang sosialisasi difteri yang terpasang di ruang tunggu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Jumat, 8 Desember 2017.
Zahara Tiba/ BeritaBenar

Reni Triwahyuni mengenang saat-saat dimana ia merasa semakin dekat dengan maut, ketika penyakit difteri menyerangnya saat dia masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar. Panas tinggi dan kerongkongan yang terasa sakit untuk menelan menyebabkan seluruh badannya, terutama daerah leher, terasa sakit dan nafsu makan berkurang.

Tak hanya itu, dirinya bahkan harus menjalani pemeriksaan kesehatan terhadap aktivitias elektrik jantung (EKG). “Karena kalau yang serius bisa menyerang jantung juga kabarnya. Saya sempat di-EKG untuk melihat kondisi jantung,” ujar warga Bogor, Jawa Barat, itu kepada BeritaBenar, Jumat, 7 Desember 2017.

Reni yang sekarang menginjak usia kepala empat pun cukup terkejut dengan merebaknya kembali penyakit yang dideritanya saat kecil. Untuk itu, dia menyarankan agar masyarakat lebih waspada dan menjaga kesehatan.

“Kalau ada gejala demam lebih dari tiga hari, langsung bawa ke dokter. Jaga pola makan yang sehat. Difteri adalah penyakit berbahaya yang berhubungan dengan telinga, hidung dan tenggorokan. Jadi mulailah hidup sehat. Cucilah tangan sebelum makan,” ujar Reni.

Ada satu hal lagi yang penting menurut Reni. “Semua anak harus diimunisasi lengkap, termasuk tiga anak saya,” tambahnya.

Difteri disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae dengan sejumlah gejala yang dirasakan oleh Reni; demam yang tidak begitu tinggi yakni 38C, munculnya pseudomembran atau selaput di tenggorokan, yang berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan, sakit waktu menelan, serta pembengakan jaringan lunak leher yang disebut bullneck.

32 orang meninggal

Hingga Rabu, 6 Desember 2017, Kementerian Kesehatan(Kemenkes) melaporkan total 591 kasus penderita difteri di 95 kabupaten/kota yang ada di 20 provinsi sejak Januari hingga November 2017. Sebanyak 32 di antaranya meninggal dunia.

Untuk merespons cepat perkembangan difteri di Indonesia, kementerian itu akan menggelar imunisasi massal (Outbreak Response Immunization) mulai 11 Desember 2017. Imunisasi akan digelar tiga putaran.

Gerakan ini akan difokuskan di tiga provinsi terlebih dahulu yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, mengingat potensi transmisi penyakit menular masih tinggi dengan tingginya jumlah penduduk dan mobilisasi di tiga provinsi ini.

Ketiga provinsi ini juga menunjukkan jumlah kasus terbanyak dengan 22 kasus dilaporkan ada di Jakarta, 123 kasus di Jawa Barat dengan 13 kematian, dan 63 kasus di Banten dengan sembilan kematian.

Tahun 2016, terdapat 14 kasus difteri pada anak usia 3-14 tahun di provinsi Jawa Barat hingga Februari, dengan kasus kematian dua orang. Hasil surveilans Kemenkes saat itu menunjukkan seluruh penderita tidak diimunisasi karena adanya penolakan dari orangtua.

Menolak vaksinasi

Meningkatnya kasus difteri ditengarai terjadi karena masih banyaknya penolakan dari sebagian masyarakat terhadap vaksinasi. Vaksin difteri yang dalam proses pembuatannya diisukan megandung lemak babi, mengundang penolakan dari masyarakat khususnya masyarakat Muslim di Indonesia.

Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes, Elizabeth Jane Soepardi, mengatakan 66 persen dari total penderita difteri kebanyakan tidak memiliki riwayat imunisasi difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) lengkap atau bahkan tidak pernah sama sekali diimunisasi.

“Boleh dibilang penyebabnya masih lebih ke arah status imunisasi yang kosong atau kurang. Memang bisa dilakukan imunisasi ulangan di kalangan dewasa, tapi untuk sekarang ini kita tutup lubang dulu yang pada usia sampai dengan 18 tahun,” kata Jane, kepada BeritaBenar.

Mengingat semakin tingginya angka kasus penyebaran difteri akhir-akhir ini, Kemenkes akan segera melakukan vaksinasi massal. Utamanya di sekolah-sekolah.

“Anak usia umur 9 bulan hingga dengan umur 15 tahun adalah kelompok yang belum bersekolah dan yang bersekolah. Yang belum sekolah, imunisasi dilaksanakan di fasilitas kesehatan seperti posyandu. Teman-teman puskesmas sudah hafal cara-caranya,” ujar Jane

Jane mengklaim, vaksin DPT sudah mendapat persetujuan Majelis Ulama Indonesia (MUI), sehingga tidak perlu dikhawatirkan adanya pertentangan di tengah masyarakat. “Kalau DPT MUI dukung. Berarti harusnya lebih mudah untuk sekarang. Jadi, mesti untuk vaksin DPT ini bukan isu lah,” katanya.

Namun, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Fatwa MUI, Sholahudin Al Ayub, mengaku pihak Kementerian Kesehatan belum berkoordinasi dengan MUI terkait rencana gerakan imunisasi massal tersebut.

“Secara umum MUI mendukung. Namun MUI mengharapkan agar vaksin yang digunakan adalah vaksin yang halal. Jadi, dukungan MUI itu adalah bersyarat,” kata Ayub kepada BeritaBenar.

Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf, meminta agar Kemenkes menelusuri penyebab outbreak difteri.

“Karena ada juga sebagian masyarakat yang kelihatannya tidak mau memvaksin anaknya, lalu kemudian akhirnya saling menularkan. Artinya ketika terjadi merebaknya difteri, pemerintah harus dengan segala daya upaya menyatakan bahwa daerah tersebut KLB (Kejadian Luar Biasa),” ujar Dede kepada BeritaBenar.

Pemerintah juga diminta menginformasikan masyarakat seluas-luasnya tentang vaksin difteri demi mencegah potensi pertentangan di masyarakat. “Masyarakat harus diberikan pemahaman, bahwa dengan tidak mendapat imunisasi maka mereka rentan terhadap penyakit,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.