Ratusan Siswa Lintas Agama Gelar Doa Bersama di Klaten
2016.11.15
Klaten

Ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) memenuhi aula lantai dua Pondok Pesantren Mambaul Hisan di Klaten, Jawa Tengah, Senin, 14 November 2016.
Para siswa dari 125 sekolah di wilayah Solo Raya, Magelang dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu berkumpul di sana untuk berdoa bersama.
“Kami di sini untuk mendoakan korban bom di Samarinda,” tutur Evita yang beragama Kristen.
Sehari sebelumnya seorang residivis kasus terorisme melempar bom molotov ke halaman Geraja Oikumene di Samarinda, Kalimantan Timur, yang mengakibatkan seorang anak berusia 2,5 tahun meninggal dunia dan tiga lainnya menderita luka bakar.
Evita duduk berdampingan, membentuk deret melingkar bersama para siswa lain yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Mereka duduk tanpa jarak meski berbeda agama dan keyakinan. Kadang, mereka saling melempar senyum sambil menunggu dimulai doa.
Lilin dibagikan, para siswa saling membantu menyalakan lilin.
Mereka berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang disusul dengan lantunan doa dipimpin pemuka agama Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu secara bergantian.
Mereka juga mendoakan keselamatan, perlindungan bagi bangsa Indonesia dan harapan supaya persatuan serta kerukunan umat beragama di Indonesia senantiasa terjaga.
Para siswa berdoa dengan khidmat meski sebagian mereka terpaksa berdiri di tangga karena ruangan aula tidak bisa menampung semua.
Reza, siswa yang terpaksa berdiri di tangga mengaku tak keberatan meski harus berdiri di situ dan tak kebagian lilin.
Menurutnya, yang penting adalah niatnya untuk bersama-sama mendoakan korban bom Samarinda dan Indonesia tetap aman dan damai.
“Harapannya, doa kami dikabulkan Allah,” ujar Reza, siswa beragama Islam.
Ajarkan toleransi
Para siswa dari lintas agama itu berkumpul di Klaten bukan tanpa alasan. Mereka adalah peserta Temu Nasional Lintas Iman dan Budaya yang berlangsung pada 12 - 16 November dalam rangka Peringatan Hari Toleransi.
“Kita memang tidak ada di sana (Samarinda) secara fisik, tapi kita memberi dukungan dari sini dalam bentuk doa untuk mereka,” ujar Pendeta Pelangi, Kurniaputri.
Pendeta Gereja Kristen Indonesia itu melihat penting untuk memanfaatkan momentum doa bersama sebagai sarana mengajarkan toleransi.
“Perbedaan yang ada untuk melengkapi bukan memunculkan perpecahan,” tuturnya.
Dia juga mengajak para remaja untuk belajar menahan diri, tak mudah terprovokasi dan tidak terpancing dengan isu-isu yang belum tentu kebenarannya.
“Kita mengajak teman-teman muda untuk mengenal kehidupan beragama agar mereka tidak phobia dengan keberagaman,” tambahnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Hisan, Kholilul Rohman, menyatakan dia tak ingin pemuda Indonesia menjadi generasi yang mudah terpecah belah oleh isu-isu SARA yang banyak bermunculan dan mudah diakses melalui media sosial.
Dia berharap elemen-elemen di masyarakat ikut meredam setiap kali muncul provokasi dan bukan malah memanas-manasi. Untuk itu, ia dan semua pemuka agama menggelar doa bersama sebagai perekat anak bangsa.
“Semoga kegiatan ini bisa meredam berbagai isu yang mengarahkan pada perpecahan bangsa, tidak hanya antar-umat beragama, tetapi juga antar-umat seagama,” katanya.
“Kita ingin merekatkan anak bangsa, apa yang terjadi akhir-akhir ini bisa jadi pelajaran bagi kita semua. Jangan sampai kelompok mayoritas bertindak semena-mena terhadap minoritas.”
Generasi peduli
Para siswa lintas agama juga diajak saling bekerjasama. Mereka diajak berpartisipasi dan melakukan pentas seni bersama dalam rangkaian Temu Nasional Lintas Iman dan Budaya.
“Kita ajak mereka untuk peduli, kita libatkan mereka supaya mereka memiliki wawasan yang terbuka untuk menerima perbedaan sebagai kekayaan bangsa Indonesia,” terang Marzuki, salah satu panitia.
Para peserta juga dipertemukan dan mendengarkan paparan tokoh nasional seperti rohaniawan, aktivis kebhinekaan, dan intelektual muda.
“Kurangnya wawasan bisa membuat remaja terperosok dalam pergaulan yang salah,” ujar Marzuki.
Sebagai contoh pada akhir 2010, tujuh remaja belasan tahun, termasuk satu yang masih bersekolah ditangkap Dentasemen Khusus Antiteror 88 di Klaten dan Sukoharjo karena diduga terlibat jaringan teror.
Terakhir adalah perusakan patung Maria dan Yesus di Gereja Santo Yusuf Pekerja, Klaten September lalu, yang dilakukan oleh putra salah satunya pengurus gereja tersebut.
Hal-hal seperti itu sangat disayangkan para pemuka agama di Klaten di antaranya Jazuli Kasmani dari Forum Kerukunan Umat Beriman (FKUB) Kebersamaan Klaten.
Menurutnya, umat beragama Indonesia selama ini hidup rukun. Tetapi belakangan ada pihak yang ingin merusaknya dengan melakukan tindakan provokatif.
“Ketika ada kejadian seperti itu, oknum yang melakukannya tidak mewakili umat agama apapun karena tidak ada agama mengajarkan kekerasan,” ujarnya.