Hampir Enam Bulan, Doa Putri Tawanan Abu Sayyaf Terjawab
2016.12.13
Balikpapan & Jakarta

Agcrista Permata Kusuma (23) langsung sujud syukur begitu menerima kabar penting dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Doanya selama hampir enam bulan terjawab – ayahnya, Muhammad Nasir, dan rekannya Robin Piter telah dibebaskan Abu Sayyaf Group (ASG) di Filipina Selatan.
“Akhirnya penantian lima bulan lebih terjawab sudah. Sujud syukur demi keselamatan ayah,” tutur Crista saat dihubungi Berita Benar, Selasa, 13 Desember 2016.
Nasir dan Robin adalah anak buah kapal (ABK) tugboat Charles 001 yang terakhir dilepas ASG. Sebelumnya secara bergelombang, kelompok bersenjata itu membebaskan Ismail, Muh Sofyan, Ferry Arifin, Muh Mahbrur Dahri, dan Edi Suryono.
Mereka bertujuh disergap usai mengantar batu bara ke Cagayan de Oro, Filipina, 20 Juni silam. Dua kali gerombolan perompak bersenjata menurunkan tujuh ABK Charles di Jolo, Filipina Selatan.
Crista mengatakan keluarganya tidak pernah berhenti mendoakan keselamatan ayahnya yang bekerja sebagai pelaut di Samarinda.
Mereka tetap optimis, meski lima ABK secara beruntun dibebaskan perompak, Agustus dan September lalu, sementara ayahnya tetap ditawan.
“Hanya pada bulan pertama, saya sempat khawatir sehingga pergi ke Samarinda untuk mempertanyakan nasib Ayah. Pihak perusahaan berkomitmen memulangkan seluruh ABK dengan selamat,” kata putri tunggal pasangan Nasir dan Djumainah.
Crista yakin Tuhan melindungi ayahnya yang taat beribadah dan gemar bersedekah. Meskipun hanya anak tunggal, dia menyebutkan ayahnya memelihara sejumlah anak angkat di rumah mereka di Malang, Jawa Timur.
Perasaan suka cita turut dialami Elona Ramadani (33), istri Robin yang berdomisili di Samarinda, Kalimantan Timur. Berita gembira suaminya telah bebas diterima dari perwakilan Kemlu.
“Kemarin siang (Senin) ada telpon pemberitahuan soal suami saya. Kaget bercampur gembira,” ujarnya.
Penantiannya terbayar saat mendengar kabar pembebasan Robin. Sebelumnya, Elona sempat was-was karena perompak hanya membebaskan lima sandera.
“Sekarang kami tunggu kedatangan suami di Samarinda. Anak-anak juga merindukan ayah mereka,” ungkapnya.
Istri Ismail, Dian Megawati, menyatakan lima ABK yang sempat disandera sudah melaut lagi seperti biasa.
“Mereka sudah kembali mengirim batu bara ke lokasi dalam negeri. Sementara ini tidak ada pengiriman ke Filipina,” ujarnya.
Tebusan
Ketua Persatuan Pelaut Indonesia Cabang Balikpapan, Kapten Amrullah, memberikan apresiasi pada Pemerintah Indonesia dan PT Rusianto Bersaudara – tempat para ABK bekerja – karena semuanya sudah bebas.
Menurutnya, bukan perkara mudah bernegosiasi dengan ASG yang tidak jelas struktur komandonya.
PT Rusianto Bersaudara, katanya, juga berkomitmen menjamin tebusan seperti yang diinginkan penyandera.
“Akhirnya tetap saja, tidak ada makan siang gratis,” ujar Amrullah yang juga menjadi penghubung antara keluarga sandera dengan pihak perusahaan.
“Kita tidak pernah menyebutkan itu tebusan namun kalau ‘uang terima kasih’ atau ‘uang sedekah’ untuk mereka, saya rasa semua seperti itu.”
Meski tidak menyebutkan jumlah tebusan, namun ia memastikan sejumlah uang yang dibayarkan perusahaan.
“Perusahaan yang mengganti uang makan mereka di sana. Jumlahnya tak sebesar yang sebelumnya diminta sebesar 10 juta peso (Rp30 miliar), darimana kalau duit segitu?” tambahnya.
Pemerintah Indonesia berulang kali membantah ada uang tebusan dibayar ke penculik. Tapi laporan keamanan Filipina menyebutkan dalam semester pertama tahun 2016, ASG memperoleh Rp95 miliar dari penyanderaan yang mereka lakukan.
‘Jadi bisnis’
Pakar terorisme sekaligus Direktur Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie, meminta kepada perusahaan kapal untuk tidak lagi memberikan uang tebusan.
“Sejak dulu tren pemberian uang tebusan sudah lazim terjadi. Saya curiga ASG mengira kalau menculik orang Indonesia, mudah mendapat tebusan. Ini yang harus dihindari,” katanya kepada BeritaBenar.
Menurutnya, perompakan dan penculikan telah menjadi bisnis utama ASG. Beberapa kali penculikan ABK terjadi sejak awal 2016. Saat ini, masih ada empat pelaut Indonesia di tangan ASG yang mereka culik pada 19 dan 5 November lalu.
“Memang ada faksi-faksi yang menjadikan ini sebagai bisnis tetap, pusat entrepreneur of violence dengan menggunakan keahlian mereka di perairan Tawi-Tawi untuk mencari uang lewat tebusan,” katanya.
Pakar terorisme, Nasir Abbas, juga mengiyakan dengan mengatakan motif paling umum penculikan oleh ASG adalah mengharapkan tebusan.
“Meski tidak melulu terkoneksi ASG langsung, namun faksi-faksi ini bisa berubah haluan karena mendengar iming-iming tebusan besar sehingga orang awam tergiur melakukan penculikan,” katanya.
“Ini tren yang menular di sana, menjadi kebiasaan,” ujar Nasir yang merupakan mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) Asia Tenggara.
Abbas menyerukan pemerintah mendesak Filipina memberikan keamanan berlayar di perairan laut selatan negara itu.
“Filipina tidak tegas juga menindak para pelaku penculikan. Seharusnya negara itu lebih aktif menangkap para pelaku, karena ASG berada di wilayah Filipina,” katanya.
Andrie juga menilai pengamanan kapal-kapal Indonesia sangat kurang sehingga menjadi sasaran empuk para perompak. Ditambah lagi belum berjalannya patroli bersama ketiga negara – Malaysia, Filipina dan Indonesia.
“Kalau protap keamanan kapal Indonesia lebih baik, maka akan membuat ASG berpikir kembali untuk merompak,” katanya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pernyataan tertulis menyebutkan kedua eks-sandera itu diserahkan pihak militer Filipina kepada Duta Besar RI Manila, 13 Desember 2016 di Kota Zamboanga.