Pemecatan Dosen Bercadar di IAIN Bukittinggi Dinilai Bentuk Diskriminasi

Pihak kampus mengklaim pemberhentian Hayati Syafri bukan karena cadar, tetapi karena melanggar aturan disiplin.
M. Sulthan Azzam
2019.02.26
Bukittinggi
190226_ID_Niqab_1000.jpg Hayati Syafri memperlihatkan Surat Keputusan Menteri Agama yang memberhentikannya dari Pegawai Negeri Sipil saat ditemui di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Februari 2019.
M. Sulthan Azzam/BeritaBenar

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat dan Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia Cabang Sumatra Barat, menilai bahwa pemecatan Hayati Syafri – dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang memakai cadar – adalah bentuk diskriminasi.

“IAIN Bukittinggi telah berbuat zalim. Pemecatan itu tidak berdasar sama sekali. Masyarakat mungkin bisa disuguhkan data Hayati bersalah sehingga lupa penyebab masalah,” kata Buya Gusrizal Gazahar, Ketua MUI Sumatra Barat, kepada BeritaBenar di Padang, Selasa, 26 Februari 2019.

“Mereka hanya ingat sekian kali wanita itu tak memberi kuliah. Tapi saya tahu betul bahwa masalah ini tidak muncul melainkan karena dosen itu memakai cadar.”

Pemecatan Hayati dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) diputuskan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, tertanggal 18 Februari 2019, karena dianggap melalaikan tugasnya.

“Dia sudah diaudit oleh Itjen Kemenag (Inspektur Jenderal Kementerian Agama). Ini murni karena melanggar aturan disiplin. Tercatat Hayati sudah 67 hari tidak masuk kerja secara kumulatif tahun 2017,” jelas Syahrul Wirda, Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi saat dikonfirmasi.

Klaim pihak kampus dibantah Hayati. Dosen Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan sejak 2007 itu meyakini pemecatannya terkait dengan cadar yang digunakannya sejak September 2017.

“Saya menolak keras saat kampus melarang menggunakan cadar dalam areal kampus. Saya mendapat sanksi dan dinonaktifkan karena penolakan tersebut,” katanya.

Hayati bercerita bahwa beberapa bulan terakhir ia tidak mendapat akses usai dinonaktifkan dari pengajar karena dianggap melanggar aturan cara berpakaian.

Pada 20 Februari 2019 ia datang ke kampus dan disodori kertas berisi SK pemecatan sebagai PNS.

“Saya sama sekali tidak menyangka akan dipecat karena mempertahankan cadar,” katanya.

Tapi, Syahrul menyebutkan Hayati diberhentikan murni karena melanggar disiplin pegawai.

“Oh, tidak ada. Tidak sama sekali,” tutur Syahrul saat ditanyakan apakah pemecatan Hayati karena dosen itu memakai cadar.

Langgar hak asasi

Fitriyeni, Direktur PAHAM Indonesia Sumatra Barat, menyebutkan kasus yang menimpa Hayati merupakan bentuk diskriminasi dan Menteri Agama telah melanggar hak asasi Hayati.

“Dalam demokrasi seperti sekarang, tidak boleh ada hal-hal seperti ini. Ini pelanggaran dan diskriminasi, karena siapapun berhak berpakaian sesuai yang diyakininya,” katanya kepada BeritaBenar.

Tetapi penilaian itu dibantah pihak kampus dengan menyatakan baik dosen atau mahasiswa punya kode etik dalam berpakaian.

“Seorang tenaga pendidik harus berpakaian formal. Cadar mungkin syariat Islam, tapi tidak formal. Cadar hak asasi, tapi kampus juga punya hak asasi,” ujar Syahrul.

“Kami tak melarang pakai cadar, tapi jangan di dalam kampus. Silakan pakai di luar.”

Ia menggarisbawahi bahwa Hayati masih bisa mengajukan keberatan sebagai upaya banding administrasi ke Badan Pertimbangan Kepegawaian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

“Silakan, masih bisa banding administrasi kok,” ucap Syahrul.

Saat ditemui di Bukittinggi, Hayati mengaku akan berkonsultasi dulu dengan berbagai pihak sebelum mengajukan banding.

Beberapa mahasiswa yang ditemui BeritaBenar menyayangkan pemberhentian Hayati sebab mereka tidak merasa terganggu saat dia mengajar.

“Beliau dosen baik. Kalau mengajar kami cukup mudah memahami pelajaran,” kata seorang mahasiswa yang menolak disebutkan namanya.

Menyusul kasus yang menimpa Hayati, sejumlah mahasiswa yang selama ini memakai cadar terpaksa harus melepaskan cadarnya saat berada di kampus.

“Saya biasa pakai cadar. Tapi sejak ada peraturan tak boleh memakai cadar di kampus, saya ganti dengan masker. Jika abang lihat mahasiswi yang memakai masker-masker itu, mereka biasanya pakai cadar,” kata seorang mahasiswi.

Suasana kampus Institut Agama Islam Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Februari 2019. (M. Sulthan Azzam/BeritaBenar)
Suasana kampus Institut Agama Islam Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Februari 2019. (M. Sulthan Azzam/BeritaBenar)

Langgar kode etik berbusana

Hayati mengatakan setelah sekitar tiga bulan mengenakan cadar, pada bulan Desember 2017 ia mendapat surat teguran tertulis karena bercadar.

Dia dianggap melanggar kode etik dosen dalam berbusana di kampus.

Karena tetap mempertahankan cadar, ia mengatakan dirinya dinonaktifkan dari kegiatan mengajar.

Hayati menyanggah tuduhan meninggalkan tugas sebagai dosen. Ia mengatakan sejak 2014 hingga 2018, ia memperoleh izin untuk kuliah S3 di Universitas Negeri Padang.

“Saya mengantongi izin kuliah dan tetap melaksanakan tugas-tugas seperti dosen lain. Saya memang tak tugas belajar, tapi izin. Kenapa? Karena masih memikirkan membantu kampus. Saya tetap mengajar atau membimbing skripsi mahasiswa,” katanya.

Hayati mengaku heran mengapa hanya dia saja yang dipecat, karena beberapa dosen lain yang sama-sama juga kuliah S3 tidak mendapat sanksi.

“Ada beberapa kawan saya juga kuliah. Di sini, tampak jelas faktor cadar yang saya pakai. Saya menolak disuruh buka, karena bagi saya ini sesuai Syariat Islam,” tuturnya.

“Jangan langsung dicap sebagai keras, teroris dan radikal. Harusnya sebagai kampus Islam, IAIN bisa mengubah pandangan itu, bahwa cadar tidak identik dengan radikalisme.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.