DPR Sahkan Revisi UU Antiterorisme
2018.05.25
Jakarta

Setelah melewati perdebatan selama sekitar dua tahun, semua fraksi di DPR menyetujui Revisi Undang-Undang (RUU) No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU), yang memberi wewenang besar kepada aparat penegak hukum dan pelibatan militer dalam memberantas kelompok teroris.
Pengesahan UU Antiterorisme itu diputuskan lewat sidang paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Agus Hermanto di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 25 Mei 2018.
Pembahasan makin dipacu hingga disahkan UU itu menyusul serangkaian serangan teror di sejumlah daerah di Indonesia yang menewaskan sedikitnya 51 orang – terdiri dari 31 terduga teroris, tujuh polisi dan 13 warga sipil.
Pengesahan dilakukan setelah 10 fraksi dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) yang digelar sehari sebelumnya menyepakati definisi terorisme yaitu, rumusan alternatif kedua yang menyertakan motif ideologi, politik dan gangguan keamanan.
Sehingga definisi terorisme adalah “perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan."
Hal baru dalam UU itu antara lain penyidik kepolisian dapat menyadap terduga teroris tanpa harus ada izin dari ketua pengadilan negeri.
Selain itu, seorang yang pernah terafiliasi dan mengikuti pelatihan militer baik di dalam maupun luar negeri, dengan maksud ingin melakukan aksi teror bisa dipidana.
Ketua Pansus RUU Antiterorisme, Muhammad Syafi'i, menyatakan warga Indonesia yang pernah pergi ke negara konflik seperti Suriah akan diasesmen.
"Yang melakukan asesmen adalah BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Kalau dia memang belum terpapar, mungkin bisa diikutsertakan dalam program kontra radikalisasi. Tapi kalau dia terpapar, bisa diikutkan program deradikalisasi,” katanya.
“Tapi kalau memang dia terbukti telah melakukan kejahatan dan akan melakukan kejahatan, ini baru dikenakan hukuman."
Menjunjung HAM
Syafi’i menambahkan UU yang telah direvisi ini memiliki banyak substansi tidak hanya pada pemberantasan terorisme.
“Ada perubahan signifikan terhadap UU No.15/2003, menambah bab pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan, dan kemudian soal peran TNI yang itu semua baru dari undang-undang sebelumnya,” jelasnya.
Ia juga menjamin hak asasi manusia (HAM) tetap dijunjung tinggi, dimana terpidana terorisme tidak disiksa, dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia.
“Prinsip ini penting dikemukakan agar penegakan HAM sesuai prinsip universal yang selama ini berlaku,” tegasnya.
Selain itu perlindungan korban dari semula dalam UU lama hanya memuat kompensasi dan restitusi.
“Kini UU telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi, dan pemberian kompensasi,” papar Syafii.
Catatan Komnas HAM
Komisi Nasional (Komnas) HAM memberikan beberapa catatan terkait UU itu. Catatan itu adalah rangkaian tak terpisahkan dari sikap dan pandangan Komnas HAM yang berharap sudah tertuang dalam UU tersebut.
Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menjelaskan, catatannya bisa jadi final proses jika melihat dinamika percepatan pembahasan. Tapi dia berharap tetap ada perbaikan pada pasal-pasal pokok yang berhubungan erat dengan HAM.
Pertama, hak korban telah diatur cukup baik, bahkan berlaku surut. Namun, masih ada catatan terkait ketidak konsistennya ‘kemudahan akses dan prosedur’ yang diberikan.
“Nah, itu terkait kompensasi,” ujar Choirul kepada BeritaBenar.
Menurutnya, kompensasi cukup dengan penetapan pengadilan, bukan lewat keputusan pengadilan karena sifat dan karakter dari pidana terorisme, yang memungkinkan pelaku bebas atau meninggal dunia.
Pelibatan TNI
Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly menyebutkan bahwa teknis pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme sepenuhnya akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).
Menurutnya, TNI sejatinya bisa terlibat dalam penindakan terorisme, terlebih hal tersebut jelas tertuang dalam UU TNI selain dari operasi militer dan perang.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengapresiasi DPR yang telah mengesahkan UU Antiterorisme sehingga TNI dapat terlibat langsung jika terjadi aksi terorisme yang sudah mengancam keamanan nasional negara.
“Sekarang sudah, TNI tentunya akan segera bergerak, memang masih menunggu penguatan dari Perpres, tapi paling tidak jalannya sudah ada,” tegasnya.
Hadi menyebutkan, TNI akan memulai dengan tiga tugas yaitu pencegahan, penindakan, dan pemulihan.
“Pastinya kami akan melihat kalau ada tanda-tanda mengarah pada serangan, itu kita sudah mulai bertindak,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan, setelah UU itu disahkan, pelaksanaannya di lapangan bisa dilakukan sesuai harapan.
Terkait pelibatan TNI, Jokowi menyatakan hal itu tak perlu dipersoalkan karena sejak dulu TNI sudah terlibat.
“Soal Perpres hanya teknis, tinggal diatur saja,” tegasnya yang berharap pemberantasan terorisme harus tepat dan berjalan dengan baik.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah untuk melaksanakan amanat UU itu, seperti Perpres agar segera ditetapkan.
Dia juga meminta seluruh masyarakat Indonesia untuk mendukung pelaksanaan UU tersebut.