DPR sahkan revisi Undang-Undang TNI di tengah kritik tajam

Aktivis demokrasi menilai DPR terkesan basa-basi melibatkan masyarakat sipil dalam pembahasan revisi UU TNI.
Arie Firdaus
2025.03.20
Jakarta
DPR sahkan revisi Undang-Undang TNI di tengah kritik tajam Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (kiri) menyerahkan laporan pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) disaksikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (kanan), Adies Kadir (ketiga kanan) dan Saan Mustopa (kedua kiri) pada Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025.
Eko Siswono Toyudho/BenarNews

Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis (20/3) mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia yang bakal memperluas peran militer di ranah sipil, di tengah kecaman sejumlah pegiat hak asasi manusia, dosen, dan mahasiswa.

Beleid tersebut disahkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani pada rapat paripurna yang dijaga ketat tentara dan polisi, sekitar pukul 10.40 WIB.

Dalam pernyataan jelang pengesahan, Puan mengeklaim revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak melanggar ketentuan yang ada di Indonesia dan internasional.

"Kami (DPR) bersama pemerintah menegaskan, perubahan UU TNI tetap berlandaskan pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut.

Tidak ada penolakan dari seluruh fraksi DPR yang ikut dalam rapat paripurna tersebut. Mereka hanya membalas dengan kor "setuju" saat Puan tiga kali menanyakan kepada anggota parlemen yang hadir, apakah rancangan beleid tersebut dapat disahkan menjadi undang-undang.

Klaim tidak melanggar ketentuan hukum tersebut disampaikan Puan lantaran revisi UU TNI hanya berfokus pada tiga substansi utama yakni penambahan tugas TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), perluasan jabatan sipil yang dapat diisi militer aktif, dan penambahan usia pensiun.

Dalam draf yang diterima BenarNews, penambahan tugas militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) diatur dalam Pasal 7. Dari semula 14 OMSP, tentara kini bisa terlibat dalam 16 tugas, dengan tugas tambahan baru terkait pertahanan siber dan perbantuan perlindungan serta penyelamatan warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri.

Perluasan jabatan sipil yang dapat diisi tentara aktif diatur dalam Pasal 47, di mana tentara aktif kini dapat mengisi 14 jabatan sipil, dari semula 10 posisi.

Adapun penambahan usia pensiun diatur dalam Pasal 53, di mana perwira tinggi kini dapat berdinas hingga usia lebih dari 60 tahun, tergantung pangkat dan jabatan. Dalam aturan sebelumnya, perwira TNI pensiun pada usia 58 tahun sementara bintara dan tamtama 53 tahun.

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengapresiasi DPR atas pengesahan revisi UU TNI.

"Atas nama pemerintah, kami mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan seluruh anggota Komisi 1 DPR atas dukungan dan partisipasi dalam menyelesaikan pembahasan RUU TNI," ujar Sjafrie dalam keterangan usai pengesahan undang-undang di gedung DPR.

Sjafrie mengeklaim perubahan UU TNI ini dapat membuat TNI menjadi lebih baik dan adaptif menghadapi ancaman global yang terus berkembang.

"Seiring perkembangan dinamika lingkungan strategis seperti perubahan geopolitik dan teknologi global, TNI harus bertransformasi untuk mendukung geostrategis negara guna menghadapi ancaman konvensional maupun nonkonvensional," lanjut Sjafrie, seraya menambahkan bahwa aturan ini juga akan memperjelas batasan dan mekanisme yang perlu ditempuh prajurit untuk melakoni tugas nonmiliter.

"Dengan terlebih dahulu meninggalkan tugas dinas aktif atau pensiun."

Sesuai regulasi, revisi UU TNI akan berlaku setelah presiden menandatanganinya atau maksimal 30 hari setelah pengesahan DPR.

2025-03-20T061303Z_343445766_RC2UGDA9C5WJ_RTRMADP_3_INDONESIA-POLITICS-MILITARY (1).JPG
Warga ikut serta dalam demonstrasi menentang revisi UU TNI di luar gedung DPR, Jakarta, 20 Maret 2025. [Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters]

Pembahasan revisi UU TNI ini mematik kritik kelompok masyarakat sipil, dosen, dan mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir.

Mereka menuding perubahan aturan ini bakal mengembalikan dwifungsi militer, sebuah terminologi yang digunakan pada era pemerintahan otoriter Suharto, di mana tentara tak sekadar memiliki fungsi pertahanan dan keamanan, tapi juga sebagai kekuatan sosial politik.

Kala itu, jabatan publik diisi banyak tentara aktif, bahkan sampai kepala daerah level kabupaten dan kotamadya.

Ragam peran itu kemudian dihapuskan seiring jatuhnya Suharto pada 1998 dan militer "dipulangkan" ke barak untuk kemudian hanya menjalani fungsi pertahanan dan keamanan.

Selain melihat potensi kembalinya dwifungsi militer, kelompok masyarakat sipil, dosen, dan mahasiswa juga mengkritik proses pembahasan undang-undang yang dinilai instan dan minim pelibatan partisipasi publik.

Revisi UU tersebut memang baru mulai dibahas sekitar sebulan terakhir, terhitung sejak Presiden Prabowo Subianto mengirimkan surat penunjukan perwakilan pemerintah dalam pembahasan revisi pada 13 Februari 2025 ke DPR.

Revisi UU TNI kemudian disahkan DPR ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 pada 18 Februari, disusul pembahasan bersama pemerintah dan DPR pada 11 Maret 2025.

Akibat rangkaian pembahasan yang dianggap instan tersebut, beberapa pegiat demokrasi dan hak asasi manusia sempat menggeruduk rapat tertutup pembahasan revisi UU TNI oleh DPR pada akhir pekan lalu di sebuah hotel mewah di Jakarta.

Berbarengan dengan rapat paripurna pengesahan UU TNI, mahasiswa dan masyarakat sipil menggelar unjuk rasa di seputaran kompleks parlemen. Beberapa dari mereka bahkan telah dapat sejak Kamis dini hari dan menggelar tenda di salah satu gerbang.

Dalam orasinya, pengunjuk rasa mengecam DPR yang tetap mengesahkan revisi UU TNI pada rapat paripurna hari ini, kendati telah beroleh kecaman banyak pihak.

"(Gedung) Ini ditempati orang-orang yang katanya mewakili rakyat, tapi mengesahkan RUU yang tidak sesuai hati nurani rakyat," ujar salah seorang pendemo.

2025-03-20T062015Z_1770775154_RC2UGDAB2Z81_RTRMADP_3_INDONESIA-POLITICS-MILITARY.JPG
Seorang perempuan memegang poster saat berdemonstrasi menentang revisi UU TNI di Jakarta, 20 Maret 2025. [Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters]

Sementara koalisi pegiat demokrasi dan hak asasi manusia menyatakan akan melaporkan panitia kerja revisi UU TNI ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena diduga telah melanggar kode etik dan tata tertib pembahasan undang-undang.

Salah seorang pegiat yang tergabung dalam aliansi, Gurnadi Ridwan, mengatakan, revisi UU TNI dilakukan DPR secara tidak transparan dan tidak berkonsultasi secara memadai dengan publik, sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib serta Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Tahun 2022.

"Draf revisi UU TNI tidak terbuka kepada publik. Padahal seharusnya dapat diakses oleh masyarakat," ujar Gurnadi yang merupakan peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), sembari menambahkan bahwa bukan kali ini saja DPR berlaku seperti itu dalam mengesahkan undang-undang.

"Seolah ada target yang dipaksakan. Tidak hanya soal revisi UU TNI. (pengesahan revisi UU TNI) ini hanya rangkaian pelanggaran DPR."

Selain akan melaporkan anggota panitia kerja pembahasan revisi UU TNI ke MKD, pegiat demokrasi dan hak asasi mengatakan juga akan menggugat undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi sesaat setelah pengesahan oleh presiden.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, pada 17 Maret mengatakan, DPR memang terkesan sekadar basa-basi melibatkan masyarakat sipil dalam pembahasan revisi UU TNI.

Dia merujuk undangan diskusi yang dikirim dua hari sebelum rapat, sehingga membuat diskusi kemudian tidak berjalan maksimal.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyebut pengesahan UU TNI akan membuat Indonesia terperosok pada penundukan sipil oleh militer.

"Wajah Indonesia semakin gelap dan masuk dalam cenkeraman otoritarian. Kembali terperosok dalam militerisme dan penundukan sipil," ujar Insur dalam keterangan tertulis, sembari menambahkan bahwa beleid ini juga akan mengancam kebebasan sipil dan penghormatan hak asasi manusia.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta Benediktus Hestu Cipto Handoyo menilai pengesahan UU TNI sebagai "kemunduran demokrasi yang brutal".

"Kita kembali ke bayang-bayang otoritarianisme ala Orde Baru, di mana militer bukan hanya memiliki senjata, tapi juga kendali politik," ujar Benediktus dalam keterangan tertulis, seraya menyebut pengesahan itu sebagai kudeta konstitusional.

"Jika prajurit dibiarkan mengisi jabatan strategis di ranah sipil, maka reformasi TNI menjadi omong kosong belaka."

Amensty International Indonesia berpendapat pemerintah dan DPR tidak memiliki prirotitas dalam mereformasi militer. Menurut Amnesty, yang dibutuhkan saat ini adalah reformasi sistem peradilan militer, sehingga tentara yang melakukan tindak pidana umum dapat disidangkan di peradilan umum.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, tentara hanya dapat disidangkan di peradilan militer meski melakukan pidana umum.

"itu lebih penting ketimbang merevisi UU TNI yang akan mengembalikan dwifungsi TNI dan memperparah militerisasi ruang-ruang sipil maupun jabatan sipil di Indonesia," kata Direktur Eksekutif Amensty International Indonesia, Usman Hamid, seraya menyebut bahwa keberadaan UU Peradilan Militer itu hanya melanggengkan impunitas di tubuh TNI.

Sepanjang 2024, Amnesty mencatat 55 kasus pembunuhan di luar hukum oleh TNI dan polisi. Sebanyak 10 pelaku adalah anggota TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 dari pasukan gabungan TNI-Polisi.

Pengamat militer Universitas Nasional Selamat Ginting menepis kekhawatiran kembalinya dwifungsi TNI seiring pengesahan undang-undang. Menurut dia, UU TNI memang membutuhkan perubahan lantaran perkembangan teknologi dan ancaman dunia telah berubah.

Dia mencontohkan terminologi ancaman siber yang belum ada pada 2004, saat UU TNI pertama kali disahkan.

"Perkembangan dunia harus direspons cepat. Itu harus diakomodasi sehingga perlu cantolan (UU TNI) baru," kata Selamat kepada BenarNews, seraya menyebut bahwa penambahan jabatan sipil untuk tentara aktif sejatinya sejalan dengan kompetensi dan kemampuan militer.

"Bagi saya tidak ada yang ganjil. Seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana, kan di militer ada satuan tugas bencana alam. Maka masuk akal masuk (militer) masuk ke sana."

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.