Walau ditolak warga, DPR sahkan RUU pembentukan 3 provinsi baru di Papua

Aktivis hak asasi mengkhawatirkan provinsi baru akan memperburuk konflik dengan hadirnya lebih banyak pasukan keamanan dari luar Papua.
Victor Mambor dan Dandy Koswaraputra
2022.06.30
Jayapura dan Jakarta
Walau ditolak warga, DPR sahkan RUU pembentukan 3 provinsi baru di Papua Seorang pengunjuk rasa membawa poster di luar gedung DPR di Jakarta setelah para anggota dewan mengesahkan undang-undang untuk membentuk tiga provinsi baru di Papua, 30 Juni 2022.
[Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters]

Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis (30/6) mengesahkan tiga rancangan undang-undang tentang pembentukan tiga provinsi baru di Papua yang banyak ditentang warga asli dan dikritik oleh kelompok hak asasi manusia sebagai taktik pecah belah.

RUU Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua mengatur tentang pembentukan Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan, selain provinsi yang ada saat ini yaitu Papua dan Papua Barat.

"Pemekaran ditujukan untuk mempercepat pemerataan pembangunan, mempercepat peningkatan pelayanan publik. Mempercepat kesejahteraan dan mengangkat harkat martabat masyarakat," kata anggota DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung.

Aktivis dan warga Papua menilai pengesahan RUU daerah otonomi baru dilakukan tanpa konsultasi dengan masyarakat asli melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRD).

MRP adalah lembaga pemerintahan daerah otonomi khusus di provinsi Papua yang dibentuk berdasarkan undang-undang tahun 2001 tentang otonomi Papua. Sementara, DPRP merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah di provinsi Papua.

“Pemerintah benar-benar ahli dalam menemukan solusi untuk masalah Papua tanpa mendengarkan orang Papua,” Ligia Giay, warga Papua yang sekolah di Australia, kepada BenarNews.

Undang-undang otonomi khusus untuk Papua yang disahkan tahun lalu memungkinkan pemerintah pusat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota di Papua tanpa persetujuan pemerintah provinsi dan MRP.

Veronica Koman, aktivis dari Amnesty International Australia, mengatakan pembentukan provinsi baru merupakan taktik “divide et impera” (pecah belah dan jajah).

“Markas dan pos keamanan baru akan dibangun di setiap wilayah baru, memperburuk konflik dan pelanggaran hak asasi manusia melalui peningkatan militerisasi,” ujarnya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Edho Gobay menduga pengesahan UU DOB ini berkaitan dengan upaya penguasaan tanah adat yang memiliki sumber daya besar.

Dia mengharapkan kebijakan DOB tidak untuk menghilangkan tanah adat dengan cara penetapan tanah terlantar selanjutnya diambil oleh pemerintah untuk disewakan lagi ke pihak swasta.

“Untuk diketahui bahwa tanah milik yang telah miliki sertifikat hak milik jika tidak dikelola lama maka akan ditetapkan sebagai tanah terlantar,” ungkap Gobay.

Gobay melanjutkan mestinya ada forum terbuka yang memberikan kesempatan rakyat Papua mengkritisi naskah akademik dari masing-masing rencana DOB.

Gobay mengatakan bahwa lembaganya akan melakukan uji materi untuk UU DOB baru.

"Upaya hukum akan diambil karena warga Papua juga memiliki hak konstitusional yang dijamin UUD 1945," kata Gobay.

Ribuan warga Papua telah melakukan aksi untuk menolak pembentukan provinsi baru yang menurut mereka akan memarginalkan masyarakat asli karena diperkirakan akan memicu migrasi warga besar-besaran ke wilayah paling timur Indonesia itu.

Rencana pemecahan wilayah Papua sejak awal menghadapi penolakan di kota-kota utama di Papua seperti Jayapura, Wamena, Yahukimo, Timika, Nabire dan Lanny Jaya.

Di Yahukimo bahkan dua orang tewas dan enam lainnya luka karena ditembak aparat keamanan Indonesia saat aksi demo penolakan pemekaran pada 15 Maret.

Gubernur Papua Lukas Enembe menyatakan penolakannya terhadap rencana pemekaran provinsi yang dipimpinnya.

Enembe mengkhawatirkan pemekaran provinsi akan memicu masuknya orang dari luar Papua mengingat populasi penduduk daerah tersebut masih relatif kecil serta jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) di pemerintahan juga masih terbatas.

Badan Pusat Statistik Provinsi Papua menyebutkan hingga 2019 jumlah apartur sipil negara di Provinsi Papua sebanyak 87.988 orang, terbagi menjadi 12.696 orang di provinsi, sementara sisanya ada di kabupaten/kota.

Jumlah ini tidak memadai untuk memenuhi kuota ASN di tiga provinsi baru nantinya.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan pada Mei pembentukan DOB akan membuat pelayanan kepada masyarakat bisa lebih dekat, mudah, sekaligus untuk mendongkrak perekonomian.

Namun Bupati Jayapura Mathius Awoitauw berbeda pendapat. Dalam pertemuan 20 Mei dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, dia mengatakan rencana pembentukan daerah otonomi baru tersebut merupakan aspirasi warga Papua yang telah diperjuangkan sejak lama.

Pelanggaran HAM

Kelompok Petisi Rakyat Papua (PRP) yang selama ini mengorganisir demo penolakan provinsi baru menekankan kemungkinan meningkatnya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang akan terjadi di Papua.

“Belum ditetapkan saja, wilayah tiga provinsi baru ini sudah ada aparat keamanan yang didrop ke situ. Ini hanya akan menambah kasus-kasus pelanggaran HAM seperti yang terjadi di dua provinsi sebelumnya dan tak kunjung dituntaskan,” ujar Ika Mulait, aktivis PRP dalam konferensi pers virtual pada Kamis.

"Tiga provinsi baru ini pastinya akan banyak militer masuk ke Papua dan rakyat Papua sudah trauma dengan kehadiran aparat,” kata Ika.

Sementara itu, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sayap militer Organisasi Papua Merdeka mengatakan pembuatan provinsi baru hanya keinginan segelintar orang Papua.

“Kami tidak pernah minta Otsus atau DOB itu. Itu keinginan Indonesia melalui kelompok elit Papua. Begitu memang watak kolonialisme. Indonesia akan memaksakan kehendaknya di Papua menggunakan tangan OAP [orang asli Papua],” kata juru bicara TPNPB Sebby Sambom kepada Benar News.

Rencana pemekaran Papua ini tak hanya menyebabkan pro kontra di masyarakat Papua tapi juga memunculkan perdebatan soal ibu kota provinsi baru dan perebutan ibu kota Provinsi Papua Tengah antara Kabupaten Nabire dan Kabupaten Mimika.

Pada Rabu, masyarakat Pegunungan Bintang di Oksibil menggelar demo damai dengan menghadirkan massa yang terdiri dari mahasiswa dan dewan adat itu melakukan aksi long march sepanjang jalan kota itu dan berhenti di pusat kota, di pertigaan Bank Papua.

Mereka menuntut pemerintah pusat mengembalikan Kabupaten Pegunungan Bintang ke Provinsi Papua dan secara tegas menolak bergabung dengan Provinsi Papua Pegunungan Tengah yang akan dimekarkan Jakarta.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.