KPK Didesak Usut Dugaan Suap oleh Kadensus 88
2016.05.23
Jakarta

Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) menyerahkan pengusutan dugaan suap Kepala Detasemen Khusus Antiteror 88 (Kadensus 88) Brigjen. Pol. Eddy Hartono, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dugaan gratifikasi itu terkait uang senilai Rp100 juta yang diberikan Densus 88 untuk keluarga almarhum Siyono, terduga teroris yang tewas saat diperiksa anggota polisi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dengan harapan keluarga tidak memperpanjang perkara kematian Siyono.
"Kami tunggu proses di KPK, bagaimana tindak lanjutnya," ujar juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar saat dikonfirmasi BeritaBenar, Senin, 23 Mei 2016.
Laporan dugaan suap tersebut disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil ke KPK, Kamis pekan lalu. Bersamaan dengan laporan itu, koalisi yang terdiri dari PP Muhammadiyah, Indonesia Corruption Watch, Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lingkar Madani, dan tim pengacara keluarga Siyono itu, juga menyerahkan uang Rp100 juta sebagai barang bukti.
Perihal laporan yang digagas kelompok koalisi itu, Boy tak mempermasalahkannya. “Kami menghormati langkah yang dibuat Koalisi Masyarakat Sipil itu, yang melapor ke KPK," katanya.
"Yang jelas, uang itu bersifat bantuan yang berasal dari uang pribadi Kadensus 88. Jadi uang itu tak bermaksud apa-apa selain membantu meringankan beban keluarga," tambah Boy.
Pelaksana harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK, Yuyuk Andriati, saat dihubungi mengatakan bahwa hingga kini pihaknya masih mempelajari laporan tersebut. "Apakah bisa ditangani KPK atau tidak,” ujarnya.
Yuyuk tak merinci sampai kapan hasil verifikasi terkait kelayakan penanganan kasus itu bakal diumumkan. "Sejauh ini masih ditelaah," katanya.
KPK didesak berani
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, berharap KPK berani mengusut tuntas laporan yang didaftarkan Koalisi Masyarakat Sipil itu. Pasalnya, ia menilai dugaan gratifikasi itu terhitung gamblang.
Hal itu, kata dia, terlihat dari bundel uang tunai yang diserahkan ke keluarga Siyono yang tak berasal dari satu kantor cabang bank.
Dahnil menduga, uang-uang tersebut ditransfer dari beragam bank, dikumpulkan, lalu diserahkan kepada keluarga Siyono ketika mereka menjembut jenazah korban di Jakarta pada Maret lalu.
"Menurut kami, KPK bisa cek catatan bank dan sumbernya sehingga ketahuan apakah ada dugaan suap atau gratifikasi," ujar Dahnil kepada BeritaBenar.
Desakan serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti.
"Darimana uang itu? KPK harus segera mengusutnya. Kapolri juga sudah mengatakan berasal dari uang pribadi Kadensus. Itu harus dicari tahu," tuturnya.
"Saya menduga ada prasyarat yang mengikuti pemberian uang ini. Bisa prasyarat, agar keluarga tak mengambil langkah hukum lanjutan atau lainnya. Makanya, KPK harus berani mengusut."
Sanksi etik
Siyono meninggal dunia 11 Maret lalu, tiga hari setelah ditangkap tim Densus 88 di Klaten, Jawa Tengah, karena diduga terlibat aksi terorisme. Polisi menyatakan Siyono tewas setelah terlibat adu fisik dengan petugas yang mengawalnya saat mau dibawa untuk menunjukkan tempat senjata.
Tapi hasil autopsi yang dilakukan tim dokter Muhammadiyah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan, tulang dada Siyono patah akibat hantaman benda tumpul. Lima tulang rusuk kanan dan satu tulang rusuk kiri juga patah. Kondisi inilah yang disebut menjadi penyebab kematian Siyono.
Hasil autopsi yang melibatkan seorang dokter Polri juga menunjukkan bahwa tak ada tanda-tanda perlawanan atau tangkisan dari Siyono. Hasil ini menyangkal pernyataan Polri, yang sebelumnya menyatakan Siyono berkelahi dengan petugas yang menjaganya.
Sebelum melaporkan dugaan gratifikasi oleh Kadensus 88, keluarga Siyono juga telah melaporkan dua anggota Densus 88 atas dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian korban ke Kepolisian Resor (Polres) Klaten, 15 Mei 2016.
Mabes Polri sudah menggelar sidang etik terhadap dua anggota Densus. Hasilnya, AKBP T dan Ipda H dikenakan sanksi melanggar prosedur. Mereka dipindahtugaskan dari Densus 88 ke satuan tugas lainnya. Keduanya juga diwajibkan meminta maaf kepada atasan dan demosi tidak percaya.
"Karena tak ditemukan yang berkaitan dengan pidana. Belum ada terlihat adanya unsur sengaja menghilangkan nyawa," ujar Boy Rafli.
Tetapi, Ray menyebut sanksi itu terlalu ringan karena autopsi telah mengindikasikan adanya tindak kekerasan terhadap korban. "Kode etik saja tak cukup," tegasnya.