Mantan Pejabat Otorita Batam Sebut Bergabung ISIS karena Desakan Anak

Kuasa hukum Dwi Djoko berharap kliennya tidak dituntut hukuman berat karena telah menyadari kesalahannya.
Arie Firdaus
2018.05.31
Jakarta
180531_ID_Djoko_1000.jpg Terdakwa kasus terorisme, Dwi Djoko Wiwoho (kiri), didampingi pengacaranya, Asludin Hatjani, saat mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 31 Mei 2018.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Dwi Djoko Wiwoho (50) hanya tertunduk saat mendengar serangkaian "nasihat" majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Sesekali, terlihat dia mengangguk-angguk pelan.

"Anda kan kepala keluarga, imam. Seharusnya tidak ikut saja apa kata anak," kata Ketua Hakim Heri Sumanto.

Ihwal itu disampaikan hakim Heri kepada Dwi Djoko, Kamis, 31 Mei 2018, menanggapi jawaban terdakwa soal alasannya pergi ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Dalam pernyataannya, mantan pejabat Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam) itu menyebutkan bahwa keputusan "hijrah" ke Suriah pada 2015 lalu didorong desakan istri Ratna Nirmala dan putri keduanya Nurshadrina Khaira Dhania.

"Apalagi anak Anda kan masih remaja, masih labil. Anda seharusnya memberi pertimbangan," tambah hakim anggota Sarjiman, yang lagi-lagi direspons Dwi Djoko dengan anggukan pelan.

Menurut Dwi Djoko, ia pada mulanya memang tidak ingin pindah ke Suriah dan sempat ragu memenuhi permintaan Nurshadrina.

Namun karena khawatir sang anak berangkat sendiri ke Suriah, ia kemudian mengamini permintaannya.

"Soalnya, istri dan anak saya pernah akan mau berangkat sendiri meski saya tidak ikut," kata Dwi Djoko, beralasan.

"Jadi akhirnya saya bilang, 'Kita lihat dulu, kalau enggak baik, ya, balik lagi'."

Proses hijrah keluarga Dwi Djoko itu memang tidak berbuah baik.

Setelah bermukim hampir dua tahun di Suriah, mereka kemudian memutuskan kabur pada pertengahan 2017 setelah menilai ISIS tidak menepati janji.

Awalnya ISIS disebut menjanjikan setiap keluarga yang pindah ke Suriah akan diberikan pekerjaan, makanan, jaminan kesehatan serta tidak diwajibkan ikut berperang.

"Kenyataan ternyata tidak begitu," tutur Dwi Djoko.

Dalam kesaksian yang diberikan oleh Dwi Djoko dan keluarganya setelah kembali ke Indonesia, mereka menyatakan kehidupan bersama ISIS penuh dengan kekejaman dan jauh dari rasa kemanusiaan.

Dwi Djoko mengaku bahwa jangankan diberikan sekolah gratis seperti dijanjikan ISIS, ketiga putrinya malah terus diincar petempur ISIS untuk dinikahi.

“Sampai anak saya yang paling kecil itu ditanya kapan haidnya, dibilang kasih tau ya kalau sudah haid," demikian pengakuannya September lalu.

Sementara seorang iparnya, Heru Kurnia, menceritakan bagaimana ia melihat langsung, kepala manusia yang dipenggal dijadikan sebagai bola mainan oleh anak-anak di sana.

Diakui sang anak

Pernyataan Dwi Djoko sejalan dengan keterangan Nurshadrina ketika bersaksi dalam persidangan ayahnya, Februari lalu.

Menurut Nurshadrina yang kini rutin menjadi pembicara untuk program deradikalisasi Badan Nasional Penganggulan Terorisme (BNPT), dialah yang mendorong keluarganya untuk pindah ke Suriah, bergabung dengan ISIS.

Hal ini dilakukannya, karena dia mengaku terkesima dengan konsep khilafah yang dipropagandakan ISIS melalui media sosial.

"Mulai dari kesejahteraan dan keadilan, semua di bawah naungan Islam dan Sunnah, semuanya akan dijamin kehidupan di dunia dan akhirat juga dapat," kata Nurshadrina.

Bersama ibu dan kedua saudaranya, Nurshadrina tidak dijerat tindak pidana terorisme setelah menjalani program deradikalisasi BNPT.

Hanya ayahnya Dwi Djoko, serta kedua pamannya: Heru Kurnia dan Iman Santosa (sebelumnya ditulis Iman Santoso) yang diseret ke meja hijau.

Iman bahkan telah dihukum empat tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat pekan lalu, setelah dinilai terbukti memfasilitasi perjalanan ke Suriah dan bergabung dengan ISIS.

Besaran vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa kepadanya. Tetapi, tim jaksa mengaku dapat menerima putusan majelis hakim.

Heru Kurnia sampai saat ini masih menjalani persidangan di pengadilan yang sama.

Sedangkan Dwi Djoko akan menghadapi tuntutan hukum pada Kamis pekan depan, 7 Juni 2018.

Merujuk dakwaan, selain bersama istri, ketiga anak, dan dua orang iparnya, Dwi Djoko juga membawa ibu mertuanya -- yang meninggal dunia di Suriah karena sakit.

Total, mereka tergabung dalam rombongan yang terdiri dari 26 orang yang berangkat pada 1 Agustus 2015 melalui Turki.

Dinilai tobat

Kuasa hukum Dwi Djoko, Asludin Hatjani, berharap kliennya tidak dituntut hukuman berat oleh jaksa dalam persidangan mendatang karena telah menyadari kesalahannya.

"Ia sudah menjalani program BNPT juga," kata Asludin.

Dalam keterangan lanjutan di persidangan, Dwi Djoko sempat mengatakan agar kasus yang menimpa dirinya dapat dijadikan rujukan bagi orang-orang yang berniat pindah ke Suriah dan mengikuti ISIS.

"Jadi pelajaran bagi yang lain," ujarnya.

Usai pulang ke Indonesia dan turut memberikan testimoni video kampanye BNPT, Dwi Djoko mengaku telah mendapatkan ancaman pembunuhan dari simpatisan ISIS lain.

“Saya pernah dikeroyok di ruang tahanan saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara,” katanya, “karena statement saya soal di Suriah.”

Lantas, apakah insiden pengeroyokan itu dapat dijadikan pertimbangan meringankan dalam tuntutan nanti? Jaksa Jaya Siahaan menukas diplomatis, “Kami lihat dulu!”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.