Setelah Mengalami Trauma Kekerasan Di Solo, Reniandra Membantu Korban PTSD

Oleh Paramita Dewiyani
2015.05.01
150501_ID_SOLO_JAKARTA_RIOT_700.jpg Sebuah patroli TNI dengan tank lapis baja di Chinatown Jakarta yang habis terbakar tanggal 6 Mei, 1998.
AFP

Reniandra Lukita (29), salah satu korban kerusuhan di Solo tahun 1998,  menemukan cara untuk mengatasi trauma dan untuk memaafkan dengan membantu orang lain.

Tahun ini adalah tahun keempat bagi Reni bekerja di Yayasan Karena Kasih (YKK), sebuah lembaga swadaya masyarakat di Madiun, Jawa Timur. Ia mengelola program terkait dengan perempuan dan anak-anak yang mengalami trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD).

“Tidak mudah melupakan kekerasan dan kebrutalan yang terjadi ketika itu. Tetapi dengan membantu orang lain, trauma saya justru berangsur hilang. Yang membantu saya sembuh adalah upaya untuk memaafkan,” lanjut Reni.

Direktur YKK Hariyati mengatakan bahwa korban berbagai kekerasan mempunyai ekspresi dan manifestasi yang berbeda-beda, tetapi keputusan Reni adalah yang terbaik.

“Reni bukan hanya membantu orang lain dalam program ini, ia juga membantu dirinya sendiri. Sikap Reni yang positif untuk masa depannya dan masa depan orang lain perlu diteladani,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 27 April.

“Tetapi untuk bisa melakukan ini kita harus mencintai visi dan misi kemanusiaan, yaitu membantu orang lain,” katanya lanjut.

“Di benak saya masih terbayang kekerasan tersebut”

Reniandra setelah wawancara dengan BeritaBenar di Pacitan, Jawa Timur tanggal 18 April, 2015.

“Setiap kali saya melewati Solo, terlintas di benak saya tentang kekerasan yang terjadi 17 tahun lalu. Ratusan toko besar dan kecil, dijarah dan dibakar massa. Asap tebal menutupi berbagai kekejaman terhadap perempuan yang tidak bersalah, puluhan tewas,” kata Reni kepada BeritaBenar.

Reni lahir dari ayah warga negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa dan Ibu dengan latar belakang etnis Jawa.

“Liem adalah nama marga ayah saya,” kata Reni.

Reni menceritakan setelah orangtuanya menikah, mereka membuka bisnis jual beli komputer di Pusat perbelanjaan Matahari, di Solo. Tempat ini awalnya dikenal sebagai Singosaren Plaza, sudah berdiri sejak jaman kolonialisme Belanda.

Waktu kerusuhan terjadi Reni dan orangtuanya baru saja menutup toko dan berkemas untuk pulang.

“Kerusuhan terjadi mulai jam 10.00 pm. Ribuan massa memasuki Matahari dan pusat perbelanjaan lainnya,” kenang Reni.

Waktu itu Reni dan ayahnya, Liem Sio Lao, dikeroyok oleh sekelompok orang dan dipukuli. Reni dan ibunya berhasil menyelamatkan diri pulang ke rumah.

“Saya dan ibu saya selamat dan tidak dipukuli mungkin karena wajah pribumi,” katanya lanjut.

Beberapa jam setelah itu, bau karet menyengat, asap hitam membubung tinggi. Ratusan mobil, sepeda motor dan puluhan bis antar kota dibakar habis-habisan di jalan. Reni menangis ketakutan di pangkuan ibunya sembari berharap menemukan ayahnya.

Hari itu setiap orang memberikan label toko, rumah, restoran, bahkan mobil dengan tulisan  “milik pribumi.”

“Saya tidak tahu apakah itu membantu atau tidak tetapi semua berharap akan dapat mencegah perusakan dan penjarahan,” katanya lanjut.

Setelah fajar Reni dan ibunya menemukan ayahnya diantara reruntuhan gedung, terluka parah tetapi masih hidup.

“Tetangga saya, orang pribumi, membantu kami menyelamatkan ayah saya,” kata Reni.

“Kami membawa ayah ke rumah sakit umum (RSU) di Madiun. RSU di Solo penuh ketika itu. Ayah saya menjalani perawatan lebih dari tiga bulan sebelum berangsur sembuh. Ia juga mengalami trauma yang dalam,” katanya lanjut.

Reni dan keluarganya berpindah ke Surabaya setelah itu.

“Di benak saya masih terbayang kekerasan tersebut. Saya memutuskan kuliah di jurusan Psikologi di Universitas Atmajaya Jakarta dengan pertimbangan saya ingin membantu orang lain yang mempunyai trauma seperti saya,” lanjut Reni.

Solo rawan konflik

Kerusuhan yang terjadi di Solo tanggal 13-15 Mei, 1998 merupakan rangkaian kerusuhan nasional yang terjadi di berbagai daerah termasuk di Jakarta, Lampung, Surabaya, Medan dan Palembang.

Kerusuhan ini ditandai dengan sejumlah peristiwa termasuk krisis ekonomi yang berkelanjutan, pemilu 1997, penculikan aktivis serta tewasnya mahasiswa Trisakti.

Negara berposisi lemah karena tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan massa, sementara itu golongan elit terus bersaing sebagai penguasa.

Pemilu 1997 adalah pemilu terakhir pada masa Orde Baru. Beberapa pengikut setia partai Golkar ingin mempertahankan kekuasaan. Sementara pendukung reformasi ingin merubah keadaan, Partai Demokrasi Perjuanagan (PDIP) menang dalam pemilu tanggal 29 Mei.

Kerusuhan di Solo menyebabkan 33 orang tewas , 16,000 orang menganggur, serta kerugian mencapai Rp 450 milliar, menurut data kota Solo.

Solo merupakan daerah yang bersejarah, bukan saja karena budaya Kesultanan yang masih terpelihara, tetapi juga percampuran etnis antara Jawa dan Tionghoa yang sudah berlangsung sejak zaman kolonialisme Belanda.

Pertikaian akut antara etnis Tionghoa dan pribumi terjadi beberapa periode. Akar masalahnya kebanyakan diawali oleh masalah ekonomi.

Akar radikalisme

Kerusuhan Mei 1998 kemudian diikuti dengan lengsernya Presiden Suharto, tepatnya tanggal 21 Mei, 1998.

“Radikalisme yang dipelopori di oleh kelompok Islam garis keras baru muncul di Solo sejak tumbangya Orde Baru,” katanya Noor Huda Ismail, pakar studi Islam dan radikalisme, kepada BeritaBenar.

Islam garis keras seperti Laskar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), dan HizbutTahrir Indonesia (HTI) semakin marak di Solo setelah tahun 1998,  kata Noor Huda yang juga merupakan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian.

Dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Suprapto, mengatakan bahwa sebelum munculnya Islam garis keras akar kerusuhan di Solo adalah ekonomi.

“WNI keturunan Tionghoa kebanyakan beragama Nasrani dan berpenghasilan lebih tinggi dari warga pribumi. Situasi ini mudah diprovokasi karena yang tampak kemudian adalah konflik agama dan etnis,” terang Suprapto.

“Dengan latar belakang tersebut Solo mudah disusupi oleh kelompok radikal,” katanya lanjut.

Pemimpin Jemaah Islamiyah (JI), Abu Bakar Basyir bersama dengan Abdullah Sungkar mendirikan pondok pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Sukoharjo, Jawa tengah tahun 1972, 2,5 km dari kota Solo.

Basyir melarikan diri ke Malaysia bersana dengan Abdullah tahun 1985.  Sebelumnya ia ditahan Orde Baru karena bersi keras merubah Indonesia sebagai negara Islam. Basyir bersembunyi di Malaysia selama 17 tahun.

“Usaha pembentukan negara Islam dan kekhalifahan masih berlangsung sampai sekarang di Solo,” lanjut Noor Huda, yang juga pernah menjadi siswa Al-Mukminin, Ngruki.

Reni mengirimkan pesannya, “Masih ada hari esok yang perlu kita pastikan damai,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.