Setahun Mengarungi Indonesia Biru dengan Motor Bebek

Nurdin Hasan
2015.12.11
Banda Aceh
indonesiabiru-620 Dandhy Dwi Laksono (kanan) dan Suparta Arz (kiri) sedang berada di pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue, Banda Aceh, untuk berangkat ke Sabang, Pulau Weh, 6 Desember 2015.
BeritaBenar

Dua sepeda motor bebek dipacu dengan kecepatan sedang. Pengemudinya, dua pria yang berprofesi sebagai wartawan. Barang bawaan diikat di tempat duduk belakang motor yang telah dimodifikasi sehingga mampu menempuh perjalanan jauh.

Kedua pria itu adalah Dandhy Dwi Laksono (39) dan Suparta Arz (24). Mereka sedang mengarungi perjalanan keliling Indonesia. Petualangan yang mereka sebut ‘Ekspedisi Indonesia Biru’ dimulai, 1 Januari lalu di Jakarta dengan rute ke Indonesia timur.

Ekspedisi yang akan segera berakhir di penghujung tahun ini telah membawa mereka melihat langsung kondisi riil di berbagai pelosok tanah air. Keduanya melihat bagaimana banyak penduduk berpegang pada kearifan lokal di tengah gempuran teknologi dan kebijakan pemegang kekuasan yang tidak selalu sesuai. Namun banyak juga dari kearifan lokal tersebut harus terpinggirkan bahkan tercerabut oleh pemaksaan konsep pembangunan yang tidak selalu tepat sasaran.

Jumat 4 Desember, keduanya tiba di Aceh. Mereka berada di provinsi paling barat Indonesia selama sepekan. Tak banyak dikerjakan di Aceh. Mereka hanya mengambil beberapa rekaman gambar dengan drone dan pergi ke Sabang, Pulau Weh – wilayah terluar paling barat Indonesia – selama dua hari.

“Kalau tak ke Sabang, kesannya tidak sah ekspedisi ini. Karena Indonesia dilihat dari Sabang sampai Merauke atau sebaliknya,” ujar Dandhy kepada BeritaBenar di Banda Aceh, Selasa 8 Desember, setelah kembali dari Sabang.

Keduanya juga berbagi pengalaman dan menggelar diskusi dengan para mahasiswa dan alumni Muharram Journalism College (MJC) – sekolah jurnalistik alternatif yang didirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh sejak 2008. Di sela-sela diskusi juga diputar film dokumenter dan rekaman perjalanan kedua jurnalis itu.

Mereka meninggalkan Banda Aceh, Kamis 10 Desember. Sebelum kembali ke Jakarta yang ditargetkan tiba pada 31 Desember, kedunya bakal singgah di beberapa lokasi, khususnya Pulau Mentawai di Sumatera Barat. Di pulau yang sangat digemari turis itu karena memiliki ombak besar, mereka akan menggarap film dokumenter tentang petambak udang.

Kecepatan rata-rata sepeda motor bebek 125 cc keluaran tahun 2003 dan 2005 yang mereka tunggangi berkisar 50 kilometer perjam dengan perjalanan hanya pada siang hari. Apalagi barang bawaan masing-masing mencapai 40 kilogram.

“Tapi ada juga sesekali kami pacu hingga 90 kilometer perjam,” tutur Suparta sambil tersenyum.

Ide awal ekspedisi

Dandhy mengisahkan ide keliling Indonesia muncul lima tahun lalu setelah melihat dua jurnalis – Farid Gaban dan Muhammad Yunus – berkeliling Nusantara pada 2009 – 2010 dengan sepeda motor jenis trail. Mereka mengawali misi dari barat ke timur.

Dandhy mulai menabung karena tekadnya Ekspedisi Indonesia Biru tak memakai jasa sponsor. Apalagi, hipotesa awal sebelum berangkat adalah ingin membuktikan kalau “pemerintah selama ini salah urus” dalam pembangunan.

Sedangkan, Suparta mengaku pada pertengahan 2014 ketika Dandhy datang ke Aceh dan mengutarakan keinginan untuk keliling Indonesia, ia langsung tertarik dan minta ikut.

“Dia bilang, ‘Ayo saja’,” jelas Suparta menceritakan bagaimana ia ikut misi Ekspedisi Indonesi Biru. “Apalagi waktu itu saya tidak ada kegiatan tetap. Ini kesempatan emas bagi saya untuk melihat Indonesia secara utuh.”

Sebelum berangkat, Suparta mengaku dalam pikirannya akan mengunjungi satu kota ke kota lain dan dari satu pantai ke pantai lain.

“Ternyata dalam perjalanan Dandhy menghindari tempat-tempat mainstream. Saya banyak mendapat pengalaman dan wawasan. Saya dapat merasakan dan menikmati keberagaman masyarakat Indonesia,” tuturnya.

Di berbagai polosok negeri disinggahi, mereka bertemu rakyat yang punya kekuatan dan kearifan lokal, tapi seperti terabaikan dalam konsep pembangunan pemerintah. Fokus ekspedisi pada kekayaan sumber daya alam dan kekuatan sosial.

“Ekspedisi kami merekam dan mendokumentasikan kekuatan-kekuatan masyarakat sebagai bagian ingatan kolektif bangsa Indonesia agar dapat belajar atau setidaknya menjadi bahan diskusi publik dan pengetahuan baru,” jelas Dandhy.

Enam film dokumenter


 

Selama 11 bulan mengarungi hampir seluruh Indonesia, mereka telah memproduksi enam film dokumenter dan sejumlah video rekaman lain. Tentu, itu bukan akhir hasil kedua jurnalis video tersebut karena masih ada 12 terrabyte materi video dan foto yang belum diedit.

“Target saya ada 17 hingga 20 film dokumenter yang kami produksi. Semoga itu bisa menjadi bagian pengetahuan bersama setelah dipublikasikan,” ungkap Dandhy.

Keenam film dokumenter itu ialah ‘Baduy’, ‘Samin vs Semen’, ‘Kala Benoa’, ‘Lewa di Lembata’, ‘The Mahuzes’, dan ‘Kasepuhan Ciptagelar’. Semua film dokumenter dan sejumlah video rekaman perjalanan setahun mengarungi Indonesia dapat diakses di YouTube: https://www.youtube.com/channel/UCEfBiFTaxLT5Kxe-m6JS5iw/videos

Selama mengerjakan film-film dokumenter itu, keduanya tidur di rumah penduduk untuk menyatu dan merasa lebih dekat dengan warga. Untuk pengambilan gambar, mereka menghabiskan waktu tujuh hingga 10 hari di setiap lokasi.

“Yang paling lama ambil gambar The Mahuzes. Kami tinggal bersama warga marga Mahuze di distrik Muting, pedalaman Merauke, selama tiga minggu,” tutur Suparta.

Pengambilan gambar dilakukan mereka berdua. Sedangkan, editing dilakukan selama dalam perjalanan oleh Dandhy dan diunggah ke YouTube kalau menemukan jaringan internet cepat.

“Yang paling lama mengedit Samin vs Semen selama tiga pekan. Sedangkan yang lain rata-rata dua minggu,” jelas Suparta.

Suka duka dalam perjalanan

Selama mengarungi Indonesia, keduanya banyak mengalami suka dan duka. Mereka pernah mengalami kecelakaan jatuh motor. Suatu ketika, bahu Suparta terkilir dan harus istirahat total dua hari. Begitu juga Dandhy, kakinya sempat terkilir.

“Kadang-kadang rindu rumah. Ada juga undangan membedah film kami di Jakarta. Tapi semua saya abaikan karena sudah menjadi tekad ekspedisi ini selesai setahun,” kata Dandhy.

Suparta lain lagi ceritanya. Rindu kampung kerap menghampiri. Tapi, dia melarutkan diri pada pengambilan rekaman video.

“Yang sangat sedih kalau ada orang bertanya apakah saya sudah berkeluarga. Kalau ada yang tanya itu, saya selalu mengalihkan pembicaraan karena saya akan teringat almarhum istri dan anak kami yang sudah meninggal dunia tiga tahun lalu,” tuturnya.

Selama dalam perjalanan, mereka telah mengganti tiga kali ban luar dan rusak mesin motor. “Kalau ganti ban dalam tak terhitung lagi jumlahnya,” kata Dandhy.

“Yang paling berat adalah tiga bulan terakhir karena kondisi fisik sudah drop. Apalagi saat itu kami mulai masuk Kalimantan yang sedang dilanda bencana kabut dan asap sangat parah,” tambahnya.

Sebelum memasuki Kalimantan, Suparta berharap bisa mengambil rekaman aneka satwa dan pepohonan karena pulau itu dikenal sebagai paru-paru dunia. Tetapi, dia harus kecewa.

“Begitu masuk Kalimantan, saya tidak melihat hutan yang rindang. Kami menemukan tambang dan bekas galian batu bara yang ditinggal begitu saja. Jalanan penuh debu,” katanya.

Sedangkan cerita suka adalah ketika mereka bertemu berbagai komunitas di pelosok Indonesia yang tetap mempertahankan nilai-nial kearifan lokal di tengah gempuran kemajuan teknologi.

“Kami seperti menemukan Indonesia satu abad lalu. Mereka tidak menutup diri pada teknologi, tapi komunitas-komunitas itu punya cara pandang sendiri akan kehidupan dengan nilai kearifan yang diwariskan turun-temurun,” tutur Dandhy.

“Kami akan jawab hipotesa awal dalam sisa 17 film dokumenter bahwa pemerintah selama ini memang salah urus dalam pembangunan.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.