Polisi Indonesia dan Australia Sepakat Perangi Eksploitasi Anak
2018.02.28
Semarang

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sepakat untuk meningkatkan kerjasama dengan Australian Federal Police (AFP) dalam memerangi eksploitasi seksual anak lintas negara.
Kesepakatan itu dicapai dalam pertemuan tertutup antara delegasi Indonesia dan Australia di Semarang, Jawa Tengah, Selasa, 27 Februari 2018.
Delegasi AFP dipimpin Asisten Komisioner Kepolisian Federal Australia Debbie Platz dan dari Polri dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komjen. Pol. Ari Dono Sukmanto.
Debbie mengapresiasi keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menangani eksploitasi seksual anak lintas negara.
Menurutnya, Polri memiliki komitmen tinggi dalam memerangi kejahatan eksploitasi seksual anak yang kini telah beralih kepada kekerasan secara online.
Dia juga mengatakan kewaspadaan harus semakin ditingkatkan mengingat ancaman eksploitasi anak lintas negara semakin tinggi seiring dengan banyaknya media sosial yang digunakan para pelaku eksploitasi anak.
Debbie juga mengungkapkan bahwa sejauh ini AFP sudah menolak lebih dari 1000 orang yang mengajukan izin masuk ke Australia dengan alasan wisata. Berdasarkan analisa AFP, berkunjung ke tempat wisata menjadi salah satu modus yang digunakan pelaku eksploitasi seksual.
“Ada 1.400 yang kita tolak karena ada indikasi akan melakukan kejahatan dengan modus tour wisata,” ujarnya kepada wartawan.
AFP juga telah bekerja sama dengan keimigrasian untuk mencekal orang-orang yang sudah ada dalam daftar hitam kepolisian negara Kangguru itu.
Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto melihat bahwa permasalahan kejahatan terhadap anak lintas negara kini semakin kompleks.
“Ancaman serius eksploitasi anak ini dilakukan melalui jejaring sosial, dan kita berusaha meminimalisir melalui cyber patrol,” ujar Ari Dono.
Cukup tinggi
Ari Dono menyebutkan kasus eksploitasi anak di Indonesia saat ini cukup tinggi dan terus bergerak naik.
Rata-rata terjadi 2-5 eksploitasi terhadap anak setiap hari, baik dari dalam lingkungan, jaringan online, maupun melalui wisata seksual anak.
Data Interpol yang dipaparkan Ari Doni mencatat di Indonesia ada 4,2 juta anak terlibat pekerjaan berbahaya dan berisiko tinggi.
“Setiap hari, lima anak menjadi korban kejahatan eksploitasi seksual,” paparnya.
“Sejak 2016 hingga Februari 2018, terdapat 1.127 kasus terkait eksploitasi terhadap anak dan sebanyak 689 pelakunya berhasil diamankan, ada yang dari Indonesia dan ada yang dari negara lain.”
Berdasarkan catatan ECPAT Indonesia, sebuah organisasi yang fokus dalam memerangi Eksploitasi Seksulitas Komersil Anak (ESKA) dalam waktu tiga bulan (September hingga November 2016) terjadi 24 kasus di Indonesia.
Dalam waktu itu, jumlah korban ESKA mencapai 335 anak dengan 55 persen perempuan dan 45 persen laki-laki. Dari kasus tersebut, media online memiliki peran 29 persen.
Kasus prostitusi online di Jawa Barat dengan 148 anak laki-laki sebagai korban yang masuk dalam catatan ECPAT juga menjadi alasan untuk semakin mewaspadai kejahatan melalui jaringan online.
“Kita prihatin karena kemajuan teknologi informasi jadi satu sumbangsih meningkatnya kejahatan terhadap anak dan yang kedua pengawasan orang tua terhadap anak yang kurang,” ujar Ari Doni.
Dia menyebutkan satu kasus yang belum lama yang ditangani polisi, dimana orang tua merekam sendiri anak gadisnya dan menguploadnya ke media sosial untuk kemudian menawarkannya kepada orang-orang di media sosial.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Susanto, mengungkapkan bahwa saat ini memang terjadi perubahan tren eksploitasi anak dari konvensional menjadi berbasis cyber.
Selain itu, media online membuat orang-orang terdekat yang berinteraksi setiap hari dengan anak korban bahkan tidak tahu dan menyadari terjadinya eksploitasi tersebut.
“Dulu anak-anak yang akan dieksploitasi dalam sejumlah kasus diajak teman, saudara atau teman dekatnya sehingga mereka tidak menyadari kalau akan dieksploitasi, tetapi sekarang pintu masuk eksploitasi banyak melalui media cyber dan orang terdekat belum tentu tahu,” ujar Susanto.
Seorang anggota DPR RI dari Komisi VIII Endang Maria Astuti mengaku pihaknya telah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk bersama-sama meminimalisir terjadinya eksploitasi anak, terutama korban prostitusi online.
Dia menambahkan berbagai diskusi dan pendekatan terutama dengan pihak-pihak yang bersinggungan langsung dengan anak, terutama orang tua dan guru, supaya mengawasi putra-putri mereka di tengah gempuran kemajuan teknologi.
"Hanya saja kita masih mencari format atau cara menyampaikan kepada anak secara efektif karena ketika mereka merasa diceramahi, yang ada mereka justru berontak," ujarnya.