Empat Bandar Sabu Divonis Mati di Aceh

Nurdin Hasan
2015.12.21
Banda Aceh
druglords-620 Hamdani (berbaju oranye) di bawah pengawalan polisi saat dibawa keluar ruang sidang usai mendengarkan vonis hukuman mati di Pengadilan Negeri Banda Aceh, Senin 21 Desember 2015. Dia dan tiga rekannya divonis mati.
BeritaBenar

Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh Senin petang memvonis hukuman mati terhadap empat warga Aceh karena memiliki dan mengedarkan narkotika jenis sabu seberat 78 kilogram lebih.

Kendati divonis mati, keempat terdakwa – Abdullah (36), Hamdani (35), Samsul Bahri (36) dan Hasan Basri (35) – tampak santai duduk di kursi pesakitan ketika mendengar amar putusan dalam persidangan secara terpisah.

Malah saat dibawa keluar dari ruang sidang usai dijatuhi hukuman mati oleh majelis hakim yang dipimpin hakim ketua Sulthoni dan didampingi dua hakim anggota yaitu Makaroda Hafat dan Eddy, para terdakwa tampak tersenyum.

Abdullah yang diyakini sebagai pemimpin keempat bandar sabu yang ditangkap pada Februari lalu di Kabupaten Aceh Timur, pertama dihadirkan ke ruang sidang. Ketika mendengar amar putusan, borgol di tangan dilepas. Tetapi, dia kembali diborgol saat hendak dibawa keluar dari ruang sidang setelah putusan selesai dibacakan.

Abdullah terus menatap majelis hakim sambil menyilang kedua tangannya di dada dan perutnya. Ia tampak serius mendengar setiap kalimat yang dibaca majelis hakim secara bergantian dalam persidangan yang dikawal ketat puluhan polisi bersenjata lengkap.

Ketika hakim Sulthoni membacakan amar putusan “menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa dengan pidana mati,” Abdullah tampak seperti orang menahan amarah. Ia tersenyum getir, sambil terus menatap ke arah majelis hakim.

Lalu berturut-turut dihadirkan ke ruang sidang untuk mendengarkan putusan adalah Hamdani, Samsul dan Hasan. Kedua tangan ketiganya juga diborgol dan baru dibuka saat mendengar amar putusan. Lalu, diborgol lagi ketika dibawa keluar ruang sidang.

Ketiga rekan Abdullah lebih banyak menunduk wajah saat mendengar amar putusan. Namun, mereka tetap mengumbarkan senyum ketika dibawa keluar setelah dijatuhi hukuman mati. Malah, mereka saling bercanda satu sama lain saat di ruang tahanan.

Pertimbangan hakim

Dalam persidangan selama sekitar empat jam, pertimbangan majelis hakim hampir sama terhadap keempat terdakwa. Majelis hakim juga membacakan secara mendetil kronologi keterlibatan mereka dalam jaringan peredaran sabu dari Malaysia di Aceh.

Menurut hakim, para terdakwa terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan permufakatan jahat sehingga mereka harus dihukum berat karena narkotika sangat berbahaya bagi masyarakat, khususnya merusak masa depan generasi muda.

Hakim juga mengutip data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menyebutkan bahwa pengguna narkotika di Indonesia tahun 2014 mencapai 4,1 juta orang. Selain itu, penyalahgunaan narkotika berada dalam keadaan sangat mengkhawatirkan yang mencapai 50 persen penghuni penjara karena terlibat kasus narkotika.

Majelis hakim juga mengakui bahwa hukuman mati merupakan peninggalan kolonial Belanda. Tetapi masih tetap berlaku di Indonesia meski menimbulkan pro dan kontra terhadap penerapan hukuman mati di tengah masyarakat.

“Hukuman mati dapat dijatuhkan terhadap orang khusus yang melakukan kejahatan luar biasa. Orang itu tidak bisa diperbaiki lagi sehingga harus dihilangkan dari tengah masyarakat karena melakukan kejahatan yang sangat berbahaya,” ujar hakim dalam setiap amar putusan terhadap keempat terdakwa.

Majelis hakim juga melihat selama proses persidangan, tak ada satupun alasan yang dapat dijadikan pembenaran guna mengurangi hukuman terhadap mereka. Malahan pembelaan para terdakwa dan pengacara mereka, dikesampingkan oleh hakim dalam pertimbangan putusan.

Akan banding

Ketika tiga terdakwa berada di ruang tahanan usai divonis mati, seorang dari mereka sempat berujar kepada wartawan, “Kenapa hakim seperti tidak punya nurani sampai tega menghukum kami dengan hukuman mati?”

Muhammad Syafie Saragih, seorang dari tim pengacara keempat terdakwa yang ditanya wartawan mengatakan bahwa pihaknya akan segera mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Aceh.

Ketika ditanya apakah memang tidak ada satu pun yang dapat meringankan keempat kliennya, Syafie dengan nada tinggi menjawab, “Saya pikir itu sangat berlebihan, tak ada satupun yang meringankan. Apalagi putusan disamaratakan semua.”

“Mereka masih muda. Mereka belum pernah dihukum. Biasanya itu dijadikan hal-hal meringankan, tapi sama sekali tak dipandang. Itu sangat menyudutkan terdakwa karena mentah-mentah dibilang tak ada yang meringankan,” ujarnya.

Dia menambahkan bahwa keempat kliennya masih punya tanggungan keluarga serta memiliki kesempatan untuk bertobat. Apalagi ini adalah kasus pertama bagi mereka.

Darurat narkoba

Dalam beberapa tahun terakhir, peredaran narkoba jenis sabu di Aceh makin parah. Beberapa pejabat terkait mulai dari gubernur, kapolda dan kepala kejaksaan tinggi Aceh telah berulang kali menyatakan provinsi yang memberlakukan syariat Islam itu sudah berada dalam kondisi darurat narkoba.

Menurut data Kejaksaan Tinggi Aceh, lebih dari setengah penghuni penjara di Aceh karena tersangkut kasus narkoba. Secara nasional, Aceh berada pada urutan delapan peredaran narkotika. Penggunanya tak mengenal status sosial dan dipakai mulai dari orang dewasa hingga anak-anak usia Sekolah Dasar.

Sabu yang beredar di Aceh dipasok melalui Selat Malaka dari Malaysia. Sabu di Aceh juga dipasok ke Sumatera Utara dan pulau Jawa. Minggu 20 Desember, polisi di Jawa Barat menangkap dua warga Aceh yang diduga pengedar sabu. Dari tangan mereka, polisi menyita tujuh kilogram sabu dan sepucuk pistol.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.