Aktivis dan Pengamat Nilai Fatwa MUI Bersifat Politis

MUI mengatakan fatwa dibuat untuk menghormati kebhinnekaan; aktivis HAM melihat sebaliknya dan menilai MUI tidak antisipasi dampak dekstruktif pada kemajemukan bangsa.
Zahara Tiba
2016.12.22
Jakarta
161222_ID_Christmas_1000.jpg Para pengunjuk rasa melintasi kereta Santa ketika berdemonstrasi di luar sebuah mall di Surabaya, Jawa Timur, 18 Desember 2016.
AFP

Aktivis hak asasi manusia (HAM) dan pengamat politik menyatakan, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan penggunaan atribut non-muslim bagi orang Islam bersifat politis.

Pengamat politik Freedom Istitute, Luthfi Assyaukanie, menilai dalam beberapa tahun terakhir, fatwa MUI memang sering bermuatan politis.

“Sebelum reformasi, fatwa MUI bisa dihitung. Satu-satunya yang kontroversial terkait dengan pluralisme adalah larangan ucapan selamat Natal oleh Buya Hamka pada 1981,” katanya kepada BeritaBenar, Rabu, 21 Desember 2016.

“Sekarang hampir setiap tahun ada fatwa bermasalah karena tak ada yang kontrol lagi,” tambah dosen Universitas Paramadina itu.

Dengan dikeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan atribut non-muslim untuk orang Islam, menurut Luthfi, sebagian kalangan mudah sekali terprovokasi.

Beberapa hari belakangan ini sejumlah anggota ormas Islam dilaporkan melakukan sweeping di pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya, Jawa Timur, dan Solo, Jawa Tengah, melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal dan menggunakan atribut Natal dan Tahun Baru.

Hal senada juga diungkapkan ketua Setara Institute, Hendardi, yang menyebutkan fatwa-fatwa MUI dalam beberapa tahun terakhir tidak menggambarkan posisi ormas Islam yang menebarkan kerukunan dan konstruktif menjaga persatuan.

“MUI lebih gemar berpolitik dalam bentuk menebarkan pengaruh politik di ruang publik dan kehidupan berbangsa, seperti fatwa penyesatan golongan tertentu yang kemudian memaksa negara turut serta menyesatkan kelompok tertentu sebagaimana kehendak MUI,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, beberapa hari lalu.

“Terakhir memfatwakan perihal atribut Natal. Fatwa-fatwa tersebut bukan semata-mata ditujukan untuk memerankan ormas ini sebagai pihak yang merasa paling benar, tetapi lebih ditujukan untuk memberikan pengaruh politik di ruang publik.”

Ada perwakilan radikal

Luthfi Assyaukanie mengatakan MUI dibentuk oleh Pemerintahan Orde Baru untuk menaklukkan kelompok-kelompok Islam yang berpotensi melawan negara.

“Selama Orde Baru, MUI cukup mampu dikendalikan oleh penguasa. Setelah reformasi, struktur MUI agak berubah,” katanya.

Menurutnya, dulu Ketua MUI selalu harus mendapat restu pemerintah, tetapi sekarang tidak lagi. Sekarang (anggota-anggotanya) representasi dari organisasi-organisasi Islam.

“Ini yang jadi masalah sebetulnya. Setiap kelompok Islam harus memiliki wakil di MUI, sehingga kelompok radikal pun dapat perwakilan di sana,” ujar salah satu Jaringan Islam Liberal ini.

“Itulah yang menyebabkan wajah MUI semakin politis.”

Luthfi menambahkan konsekuensi komposisi kepemimpinan MUI yang demikian telah menghasilkan “fatwa-fatwa bermasalah terkait toleransi dan keberagaman.”

Sweeping

Sejauh ini, polisi telah menangkap tujuh orang yang diduga terlibat sweeping sehingga memicu perusakan di tempat hiburan malam Restoran Social Kitchen Solo, Minggu, 18 Desember lalu.

"Untuk yang di Solo, tadi malam ada yang ditangkap dua orang lagi. Jadi total ada tujuh tersangka,” kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian usai memimpin gelar pasukan Operasi Lilin dalam rangka pengamanan Natal dan Tahun Baru di Silang Monas, Jakarta, Kamis pagi.

"Saya perintahkan Kapolda Jawa Tengah untuk kembangkan terus, karena saat itu lebih kurang 50 orang masuk ke Social Kitchen dan melakukan perusakan. Saya minta pelaku ditangkap untuk efek jera," tambahnya.

Fatwa ‘menghormati kebhinnekaan’?

MUI menyayangkan sweeping itu. Melalui pernyataan resminya, Selasa, 20 Desember 2016, Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin mengatakan fatwa itu dipahami keliru oleh sejumlah pihak.

“Fatwa tersebut dibuat dalam rangka penghormatan kepada prinsip kebhinnekaan dan kerukunan beragama di Indonesia. Makna kebhinnekaan adalah kesadaran terhadap perbedaan, termasuk dalam menjalankan keyakinan agamanya,” katanya.

Faktor penting dalam prinsip kebhinnekaan, tambahnya, adalah saling menghormati dan tidak memaksakan keyakinan kepada orang lain.

“Setiap bentuk pemaksaan keyakinan kepada orang lain adalah bertentangan dengan HAM dan konstitusi,” ujar Ma’ruf, dalam pernyataan tertulis.

Hendardi berpendapat lain.

“Tapi yang terjadi adalah MUI telah menjadi produsen fatwa yang seringkali berdampak destruktif bagi kemajemukan bangsa. Apalagi MUI tidak pernah mengantisipasi dampak dari fatwa yang dikeluarkannya,” tegas Hendardi, yang menambahkan bahwa MUI bukan bagian menjalankan otoritas negara.

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Marsudi Syuhud, menyatakan MUI memiliki hak untuk mengeluarkan fatwa.

Hanya saja patut disayangkan, lanjut dia, beberapa pihak menilai fatwa tersebut sebagai dasar untuk melakukan sweeping.

“Kyai Ma’ruf Amin sudah mengimbau tidak melakukan sweeping. Karena sesungguhnya dalam agama tidak ada pemaksaan. Maka saya bilang jangan ada sweeping,” katanya.

“Toleransi harus dari dua sisi, saling memahami dan menyadari untuk tidak memaksa umat. Kalau bagi karyawan yang secara pribadi tidak mau, yang menginginkan untuk tak memakai, juga jangan memaksakan.”

Syuhud enggan berkomentar terkait pernyataan yang menyebutkan bahwa fatwa-fatwa MUI belakangan bersifat politis.

“Saya tidak akan ikut mengomentari itu, nanti akan menjadi masalah lagi,” katanya.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.