Pengacara Desak Kasus Legal Baru 5 Tahun Setelah Putusan Penting Laut Cina Selatan

Putusan tahun 2016 itu tidak menghentikan Cina memperkuat armada angkatan lautnya di wilayah tersebut.
Laporan khusus untuk BenarNews
2021.07.08
Pengacara Desak Kasus Legal Baru 5 Tahun Setelah Putusan Penting Laut Cina Selatan Foto tertanggal 27 April 2021 menunjukkan penjaga pantai Filipina di atas kapal mereka BRP Cabra memantau kapal-kapal Cina yang berlabuh di Sabina Shoal, di sekitar Laut China Selatan yang diklaim oleh Manila terletak sekitar 135 kilometer di sebelah barat pulau Palawan di Filipina.
Penjaga Pantai Filipina/AFP

“Hari yang indah di musim panas saat itu di Den Haag,” kenang Jonathan London, seorang ilmuwan dari Universitas Leiden pengamat masalah Laut Cina Selatan selama lebih dari satu dekade.

“Tapi juga tak terasa, karena ada hal penting yang harus diputuskan terkait dengan konflik di belahan dunia lain.”

Setelah tiga tahun, kasus arbitrase yang diajukan oleh Filipina terhadap Cina di bawah Konvensi PBB dalam Hukum Laut (UNCLOS) akan segera berakhir dengan keputusan yang dapat berdampak besar pada perselisihan yang semakin memanas di salah satu jalur-perdagangan terpenting dunia.

Sebagaimana diketahui, Kasus PCA No. 2013-19 menandai pertama kalinya sebuah negara menentang Cina atas kedaulatan maritimnya, tindakan dimana sebuah-negara sekutu AS di Asia Tenggara melawan negara adidaya yang sedang naik daun tersebut.

Di pagi hari, di luar gedung Pengadilan Arbitrase Permanen di kota Belanda tersebut kerumunan kecil mulai terlihat  Dimulai dari sekelompok orang Filipina yang melambaikan poster dan meneriakkan, “Cina keluar dari perairan Filipina,” lalu diikuti oleh beberapa wartawan dan para kru TV.

“Hal tersebut berlangsung sekitar satu jam dan semua berubah ketika sebuah bus wisata besar berhenti. Berpuluh-puluh orang Cina daratan dari yang setengah baya sampai lanjut usia keluar dari bus dan mulai melantunkan mantra dengan keras juga,” kata London, yang saat itu ada di lokasi.

Di belahan lain samudera Atlantik, Paul Reichler - seorang mitra dari firma hukum Foley Hoag di Washington dan penasihat utaman untuk Filipina - tiba di kantornya pada pukul 4:45 pagi dan melihat timnya telah berkumpul dengan penuh antisipasi. Putusan arbitrari akan tiba melalui e-mail, setengah jam sebelum diumumkan ke publik.

Kemudian datanglah saat-saat yang sangat menggembirakan ketika tim hukum membacakan halaman-halaman putusan.

“Sangat menarik untuk mengamati secara terperinci: Apa yang sudah mereka putuskan tentang hal itu? Dan hal lain-lain? Ya Tuhan, apakah kita berhasil memenangkannya juga?”  Reichler tertawa. "Masih terlalu pagi untuk merayakannya dengan sampanye."

Keputusan bersejarah

Pada tanggal 12 Juli 2016 tersebut, pengadilan arbitrase memutuskan mendukung sebagian besar tuntutan Filipina dan menolak klaim hak bersejarah Cina atas wilayah yang sangat luas di Laut Cina Selatan menggunakan apa yang disebut Sembilan Garis Putus-Putus yang membentang jauh masuk ke perairan Asia Tenggara.

Cina, Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei, semua saling bersaing mengklaim wilayah yang dianggap kaya akan sumber daya alam itu. Laut Cina Selatan juga merupakan jalur pelayaran utama bagi sepertiga dari perdagangan maritim dunia.

“Meskipun telah mengantisipasi keputusan itu, saya masih merasa terkejut oleh dampaknya. Pengadilan internasional secara tegas dan komprehensif menolak klaim negara adi daya itu sebagai tidak sah,” kata London. “Prinsip yang mendasari kasus ini sederhana: catatan sejarah memberikan nol dukungan untuk klaim Beijing.”

“Kemenangan itu melebihi harapan kami,” kata Marites Vitug, seorang jurnalis terkemuka Filipina dan penulis “Rock Solid: Bagaimana Filipina Memenangkan Kasus Maritimnya Melawan Cina.”

“Kami hanya berharap untuk menang satu hal saja dari sembilan garis putus-putus itu, tetapi kami menang hampir di semua isu. Sekelompok aktivis turun ke jalan-jalan di Manila untuk merayakannya dengan bunga dan balon. Ada juga yang unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Cina.”

“Tapi suasana hati kami entah bagaimana diredam oleh reaksi dari menteri luar negeri [Perfecto Yasay Jr]. Dia memberikan pernyataan yang sangat singkat, bahkan tidak tersenyum dan terlihat sangat sedih, seperti sedang menghadiri pemakaman!” kata Vitug.

Banyak yang menduga bahwa Presiden Rodrigo Duterte, yang mulai menjabat kurang dari dua minggu sebelum putusan arbitrase, lebih memilih pendekatan “secara halus”, berusaha menenangkan Cina dengan respons yang tenang dan terkendali, bukan malah sebaliknya dengan perayaan yang meriah.

Kasus tersebut telah diajukan pada tahun 2013 di bawah pemerintahan pendahulu Duterte, dan Duterte menginginkan hubungan yang tidak terlalu sengit dengan Beijing.

Menlu Yasay bukan satu-satunya yang tampak tidak gembira setelah mendengar keputusan pengadilan tersebut.

“Orang-orang Cina daratan [di luar pengadilan arbitrase] terbungkam, lalu dengan tenang kembali ke bus mereka dan menghilang,” kenang London.

Reaksi Tiongkok

Cina dengan cepat menolak keputusan itu.  Pada hari itu Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi mengatakan bahwa rakyat Cina “tidak akan menerima hasilnya.”

Sejak awal, Beijing mengumumkan bahwa mereka tidak akan menerima atau berpartisipasi dalam arbitrase. Dalam Position Paper tahun 2014, Cina berargumentasi bahwa sengketa antara Cina dan Filipina serta negara-negara lain di kawasan itu tidak tunduk pada arbitrase karena kedaulatan mereka berada di luar yurisdiksi pengadilan.

Para pakar hukum Tiongkok bersikeras bahwa kasus yang diprakarsai oleh Filipina tersebut 'batal hukum'. Hingga saat ini, ada keengganan yang menyeluruh dari para akademisi Tiongkok untuk membahas arbitrase secara mendalam

Tahun lalu, dalam sambutannya di Munich Security Forum, Presiden Institut Nasional untuk Studi Laut Cina Selatan Wu Shicun menyatakan, “Cina dan Filipina telah mencapai konsensus untuk menangguhkan keputusan arbitrase Laut Cina Selatan sejak setengah tahun terakhir tahun 2016.”

Duterte, yang diperkirakan akan turun dari jabatannya di tahun 2022, diyakini telah berusaha berurusan dengan Beijing sendiri dengan harapan untuk mendapatkan dukungan dan investasi Cina.

Namun pakar Cina, Wu, mengakui bahwa ada orang-orang di Filipina yang “terus menekan pemerintahan Duterte untuk menangani perselisihan dengan Cina sesuai dengan keputusan tersebut.” Dia memperingatkan bahwa “debat hukum atas Laut Cina Selatan akan diintensifkan lagi.”

Putusan tahun 2016 tersebut tidak menghentikan Cina untuk terus memperluas pengerahan penjaga pantai, armada penangkap ikan, serta angkatan lautnya di Laut Cina Selatan, dan beberapa dikerahkan dari pangkalan militernya di Kepulauan Spratly.

Pada awal tahun ini di bulan Januari Beijing menerapkan Undang-Undang Penjaga Pantai yang memicu banyak kekhawatiran dan kritik dari negara-negara tetangga Cina.

Berita terakhir di bulan Maret, ratusan kapal nelayan Cina merambah Whitsun Reef di dalam zona ekonomi eksklusif Filipina.

Alat hukum yang efektif

Paul Reichler, pengacara dari Foley Hoag berpendapat bahwa dalam jangka panjang putusan arbitrase akan memberikan ketetapan hukum yang otoritatif,“ khususnya dalam kewajiban dan hak hukum bagi Tiongkok dan Filipina.”

“Keputusan hukum Laut Cina Selatan telah ditetapkan,” katanya.

“Filipina, yang memutuskan untuk mendekati Cina secara sepihak dan bukan secara multilateral, seperti membiarkan angin keluar dari ban. Hal itu tidak mengubah fakta bahwa kendaraan itu ada, mesinnya bekerja, kita hanya perlu memakai ban baru agar bisa berjalan lagi.”

“Terdapat harapan setelah adanya keputusan ini akan ada koalisi negara-negara yang memiliki minat dan komitmen yang sama dalam menegakkan supremasi hukum di Laut Cina Selatan. Dan itu masih bisa terjadi,” kata Reichler.

Dia menyarankan bahwa bagian dari pendekatan multilateral yang diperlukan “harus mencakup kasus baru yang dibawa oleh sekelompok negara untuk memperkuat putusan 2016 dan menerapkannya dalam konteks yang lebih luas di luar hal-hal hubungan antara Cina dan Filipina saja.”

Penggugat utama lainnya di Laut Cina Selatan – Vietnam – tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan sengketanya dengan Cina ke pengadilan atau arbitrase internasional.

Pada tahun 2014, Hanoi mengajukan pernyataan yang mendukung Filipina membawa Cina ke pengadilan internasional, sekaligus menolak klaim Cina dan menegaskan kembali klaimnya sendiri mengenai Laut Cina Selatan.

“Vietnam dan negara-negara lain harus menjunjung tinggi hasil dari putusan 2016 untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan hukum internasional,” kata Pham Quang Vinh, mantan duta besar Vietnam untuk Amerika Serikat.

"Kami memiliki kasus yang sudah siap tetapi bagaimana melanjutkannya tergantung pada keadaan."

Mantan diplomat senior Vietnam lainnya, yang telah mempelajari masalah ini, meragukannya.

“Kecuali ada perubahan besar di kawasan itu yang disebabkan oleh pelanggaran Cina, tidak akan ada kasus hukum. Hanoi cenderung mengejar kebijakan non-agresi dan sangat ingin mempertahankan status quo [di Laut Cina Selatan].”

Dia juga memperingatkan akan adanya kesulitan untuk menggalang dukungan di kawasan itu untuk melakukan proses hukum bersama, setidaknya karena sebagian besar dari negara-negara tersebut tidak ingin memusuhi Cina.

Malaysia, penuntut lain di Laut Cina Selatan, mengeluarkan pernyataan lemah hanya dengan 200 kata dalam argumen maritimnya tentang putusan arbitrase meskipun faktanya bahwa putusan menentang Sembilan Garis Putus Tiongkok secara efektif telah menguntungkan Malaysia.

“Situasi di Laut Cina Selatan sangat cair dan dinamis,” jelas Jalila Binti Abdul Jalil dari Center for Ocean Law and Policy di Maritime Institute of Malaysia.

“Putusan itu telah memperkaya yurisprudensi dalam isu-isu tentang Laut Cina Selatan. Tetapi stabilitas adalah sebuah keseluruhan yang berbeda dan yurisprudensi hanyalah salah satu sudutnya,” katanya.

Namun, pada akhir 2019 Malaysia membuat sebuah pengajuan baru dari perpanjangan klaim landas kontinen ke PBB – sebuah langkah yang mungkin didorong oleh hasil temuan pengadilan 2016.

Demikian pula pada tahun 2020, Indonesia, mengajukan nota verbal kepada sekretaris jenderal PBB yang menentang klaim maritim Cina.

 “Pencarian tatanan berbasis aturan di Pasifik Barat dan global menjadi urgensi yang semakin meningkat dengan sikap ekspansionis dan perilaku agresif Cina, khususnya di Pasifik Barat, dan juga di kawasan dunia lainnya,” kata London.

“Apakah Vietnam atau negara lain siap untuk menempuh proses hukum, tidak jelas. Yang jelas, akan ada dukungan internasional yang kuat untuk kasus seperti itu.”

“Telah beberapa dekade lamanya Amerika melakukan tindakan yang merugikan dunia dengan memberikan suara menentang hukum laut internasional sebagai bagian dari upaya untuk melindungi kepentingan dan dominasinya.

Tapi kini bagi kepentingan Amerika Serikat dan kepentingan dunia, menuntut persetujuan dan penegakan tatanan berbasis aturan yang mengatur laut," katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.