Konflik di Eropa membayangi KTT G20, para pemimpin kutuk serangan misil
2022.11.16
Nusa Dua, Bali

Para pemimpin dunia turut serta dalam upacara penanaman pohon bakau di Bali untuk menyoroti krisis iklim global, tetapi konflik antara Rusia dan Ukraina justru menarik perhatian dari pertemuan G20 di Pulau Dewata yang berakhir Rabu (16/11).
Perang di Ukraina telah membayangi pertemuan pemimpin G20 selama dua hari di Bali. Sebagian besar kelompok negara dengan ekonomi terbesar di dunia mengeluarkan kecaman keras atas konflik tersebut.
Meskipun Rusia tampaknya akan menandatangani deklarasi G20, Rusia meluncurkan salah satu serangan rudal terbesarnya ke Ukraina selama perang yang telah berlangsung selama sembilan bulan, menewaskan sedikitnya satu orang di ibu kota, Kyiv, pada hari Selasa. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, yang mewakili Rusia di G20 menggantikan Presiden Vladimir Putin, kemudian meninggalkan KTT di Bali itu lebih awal.
Sementara itu, serangan rudal yang tidak diakui menewaskan dua orang di sebuah desa Polandia dekat perbatasan Ukraina. Presiden AS Joe Biden menginisiasi "pertemuan darurat" Rabu pagi di sela-sela KTT G20, yang diikuti oleh para pemimpin Inggris, Uni Eropa, Spanyol, Jerman, Kanada, Prancis, Italia, Belanda, dan Jepang. Polandia merupakan anggota NATO.
Biden mengatakan setelah pertemuan bahwa rudal mungkin tidak ditembakkan dari Rusia, berdasarkan "informasi awal".
Tiga pejabat AS mengatakan kepada The Associated Press bahwa penilaian awal menunjukkan rudal itu ditembakkan oleh pasukan Ukraina untuk merespons serangan proyektil Rusia.
"Saya tidak ingin mengatakan itu sampai kita benar-benar menyelidiki, tetapi tidak mungkin di benak lintasan bahwa itu ditembakkan dari Rusia, tetapi kita akan lihat," kata Biden.
Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan usai pertemuan mereka, para pemimpin menyatakan dukungan pada penyelidikan Polandia, dan mengeluarkan sikap tegas terhadap serangan Rusia ke Kyiv dan kota-kota lain di Ukraina, dengan menyebutnya sebagai hal yang "biadab".
Mereka menegaskan kembali "dukungan kuat" untuk Ukraina dan tetap siap "untuk meminta pertanggungjawaban Rusia atas serangannya terhadap penduduk Ukraina, bahkan saat G20 bertemu untuk menangani dampak perang yang lebih luas."
Yurii Poita, seorang analis politik di lembaga kajian New Geopolitik Research Network yang berbasis di Kyiv, mengatakan waktu serangan saat para pemimpin dunia bertemu di Bali “menunjukkan bahwa Rusia mengabaikan komunitas internasional dan mengolok-ngolok keprihatinan mereka.”
“Rudal-rudal itu tidak mengenai sasaran militer tetapi sasaran sipil, terutama infrastruktur,” kata Poita kepada RFA, sebuah outlet berita yang berafiliasi dengan BenarNews. Dia menyebut serangan itu sebagai upaya untuk menciptakan bencana kemanusiaan.
Konflik dan ekonomi
Semua kejadian itu telah mengalihkan perhatian dari tema G20 lainnya yang meliputi ekonomi dunia, transformasi digital, dan perubahan iklim.
Setelah pertemuan darurat tentang serangan rudal di Polandia, para pemimpin bergabung dengan tuan rumah Presiden Joko “Jokowi” Widodo, dalam upacara penanaman pohon bakau.
Setiap pemimpin diberi pohon bakau kecil dan mengikuti petunjuk terperinci tentang cara penananamnya. Para pemimpin mendengar tentang berbagai jenis pohon bakau dan bagaimana tanaman ini dapat hidup hingga 100 tahun.
Ditanya oleh wartawan apakah dia telah diberi informasi tentang serangan rudal di Ukraina, Jokowi menegaskan bahwa “G20 adalah forum ekonomi, forum keuangan, dan forum diplomatik, bukan forum politik.”
“Jadi di sini kita bicara ekonomi,” kata Jokowi.
Analis mengatakan, bagaimanapun, bahwa isu-isu itu saling terkait.
“Jika Rusia benar-benar peduli tentang dampak tindakannya terhadap ekonomi global atau posisinya di dalam G20 atau G7, Rusia tidak akan pernah melanggar kedaulatan Ukraina sejak awal,” Nina Jankowicz, wakil presiden di Pusat Ketahanan Informasi, sebuah LSM internasional, kepada RFA.
Deklarasi akhir
Dalam deklarasi yang dirilis pada akhir KTT, sebagian besar pemimpin G20 mengutuk perang di Ukraina, menurut salinan yang diperoleh BenaNews.
Dokumen tersebut menyatakan: “Sebagian besar anggota mengutuk keras perang di Ukraina dan menekankan hal itu menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa dan memperburuk kerapuhan yang ada dalam ekonomi global.”
Deklarasi juga mengakui perbedaan pandangan di antara G20, dan mencatat bahwa, “Ada pandangan lain dan penilaian yang berbeda tentang situasi dan sanksi.”
Mengomentari Deklarasi Pemimpin G20 di Bali, Jokowi mengatakan dalam sebuah konferensi pers: Hanya satu paragraf yang sangat diperdebatkan, yaitu sikap terhadap perang di Ukraina, sampai tengah malam kami membicarakan hal ini dan terakhir, Deklarasi Bali dicapai melalui konsensus.”
“Ada perwakilan Rusia yang hadir di KTT saat itu, meski alot, tapi akhirnya disahkan.”
Pertemuan pemimpin G20 berakhir tak lama kemudian, dengan Jokowi menyerahkan presidensi bergilir kelompok itu kepada Perdana Menteri India, Narendra Modi.
“Deklarasi itu akan semakin mengisolasi Rusia,” kata Orysia Lutsevych, manajer Forum Ukraina di Program Rusia dan Eurasia di Chatham House, sebuah lembaga riset yang berbasis di Inggris.
“Upaya Rusia untuk menciptakan koalisinya sendiri dan mengurangi kepemimpinan AS gagal secara spektakuler,” katanya.
“Ini juga merupakan kemenangan besar bagi Ukraina, karena mencoba meyakinkan lebih banyak negara mendukung Kyiv secara aktif,” kata Lutsevych.
"Formula perdamaian”
Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov, yang mewakili Rusia di G20 menggantikan Presiden Vladimir Putin, tampaknya telah menerima teks tersebut meski mengusulkan "sudut pandang alternatif".
Dia dikutip oleh RIA Novosti mengkritik negara-negara Barat karena mempolitisasi dokumen tersebut dan mengatakan "ini sama sekali bukan urusan G20."
Lavrov meninggalkan KTT pada Selasa malam dengan Il-96 Rusia yang berusia puluhan tahun, tetapi delegasinya mengatakan keberangkatan itu memang direncanakan, TASS melaporkan.
Menteri luar negeri Rusia termasuk di antara delegasi yang mendengarkan pidato virtual Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di G20 pada hari Selasa.
Dalam pidatonya, Zelenskyy membeberkan apa yang disebutnya sebagai “formula perdamaian” yang harus dilaksanakan sesegera mungkin. Ini termasuk menjaga fasilitas nuklir dan perpanjangan kesepakatan biji-bijian yang ditengahi oleh PBB dan Turki yang akan berakhir dalam beberapa hari untuk memungkinkan ekspor produksi pangan dari Ukraina, yang merupakan pemasok biji-bijian global utama. Zelenskyy juga menyerukan pembebasan semua tahanan dan mereka yang dideportasi.
“Ini adalah kerangka kerja penting yang sudah memiliki fondasi dan bentuknya. Memang ambisius, tapi kunci untuk mencapai perdamaian,” kata Lutsevych dari Chatham House.
Analis yang berbasis di London menunjukkan bahwa “sudah ada bagian dari komunitas global yang bergerak menuju rencana ini.”
“Kemenangan seperti di Kherson menunjukkan bahwa proposal Ukraina realistis. Ini adalah pendekatan kolaboratif dengan multilateral sebagai tulang punggungnya,” tegas Lutsevych, merujuk pada perebutan kembali kota Kherson baru-baru ini oleh pasukan Ukraina.
Sementara Poita, dari Jaringan Riset Geopolitik Baru di Kyiv, menyarankan agar NATO membuat zona aman di sepanjang perbatasan blok untuk melindungi penduduk lokal dari serangan rudal, serta wilayah NATO.
“Jika NATO hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa, perang akan meningkat dan akan ada lebih banyak insiden seperti ledakan Polandia itu di masa depan,” katanya, memperingatkan bahwa “konsekuensinya akan parah dan mendunia.”