Pelunasan Ganti Rugi Untuk Korban Lapindo
2015.06.02

Setelah sembilan tahun kasus Lapindo yang belum terselesaikan, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk mengambil alih kasus tersebut.
Pemerintah akan memberikan ganti rugi sejumlah Rp 781 miliar kepada masyarakat dan mengambil aset Lapindo jika dalam waktu empat tahun Lapindo tidak mengembalikan uan tersebut.
“Dana tersebut akan diberikan kepada korban Lapindo yang sudah menanti ganti rugi lebih dari 9 tahun sejak kasus ini muncul Mei 2006 lalu,” Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengkonfirmasi kepada BeritaBenar tanggal 2 Juni.
Jumlah tersebut akan dihitung sebagai Pemberian pinjaman kepada PT Lapindo Brantas Inc. dengan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 sebagai payung hukum
Lapindo berkewajiban mengembalikan uang tersebut dalam kurun waktu empat tahun, dengan jaminan tanah peta terdampak milik Lapindo senilai Rp 3,3 triliun.
“Jika dalam kurun waktu empat tahun uang tersebut tidak dikembalikan maka tanah akan disita Pemerintah,” kata Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Dwinanto Hesti Prasetyo.
Pembayaran paling lambat akan dilakukan bulan Juli mendatang, tegas Dwinanto.
Gegabah
Semburan lumpur panas terjadi sejak bulan Mei 2006. Ini merupakan semburan lumpur panas terbesar yang terjadi di dunia.
Terjadinya lumpur panas tersebut dikreditkan kepada PT Lapindo Brantas Inc. karena ledakan yang terjadi di dalam pengeboran gas minyak dan bumi yang dimiliki oleh pengusaha kaya Indonesia Aburizak Bakrie. Tuduhan terseut ditolak oleh Lapindo.
Masyarakat dari 16 desa di tiga kecamatan yaitu Porong, Tanggulangin dan Jabon, harus meninggalkan kampung halaman.
Selain ribuan rumah, sawah dan kebun, terdapat 24 pabrik, 31.000 usaha mikro kecil dan menengah, serta 33 bangunan sekolah dan puluhan fasilitas umum tenggelam oleh lumpur dan 10 orang tewas karena tenggelam dalam lumpur.
Aktivis mengatakan tindakan pemerintah mengambil alih kasus Lapindo adalah gegabah.
“Pemerintah seharusnya tidak mengesampingkan aspek keadilan dan kepastian hukum. Negara perlu dengan tegas menindaklanjuti sejumlah temuan yang terjadi berdasarkan catatan Komnas HAM tentang kasus ini,” kata aktivis Jaringan Advokasi Tambang Ki Bagus Hadi Kusuma kepada BeritaBenar tanggal 2 Juni.
“Sejauh ini kasus ini belum pernah di proses lewat pengadilan.”
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebelumnya telah mendesak Presiden Jokowi agar membentuk tim investigasi untuk mengungkap pelanggaran HAM dalam kasus Lapindo.
“Komnas HAM menemukan dugaan pelanggaran HAM berat pada peristiwa lumpur Lapindo. Mengacu pada Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” kata Ketua Komnas HAM, Nur Kholis di Jakarta tanggal 29 Mei lalu.
“Komnas HAM mempunyai semua data mengenai kasus Lapindo,” katanya lanjut.
Manajer kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eko Rakhman mengatakan, pemerintah seharusnya belajar dari kasus Lapindo.
“Agar tidak saja memberikan ijin usaha, terutama yang menyangkut minyak dan tambang tetapi juga melihat aspek lingkungan dan keberlanjutannya,” katanya.
Korban berbicara
Bupati Sidoarjo Syaiful Illah berharap warganya bisa menerima pembayaran itu sebelum Idul Fitri tahun ini.
“Kami akan mengupayakannya semaksimal mungkin,” kata Syaiful tanggal 2 Juni.
Seorang korban dari Desa Siring, Maimunah (48), mengatakan rumah pekarangannya seluas 130 meter persegi hasil dia bekerja di Malaysia telah tenggelam dalam lumpur.
“Dulu kami hidup dari berjualan, ada juga teman-teman yang bekerja di pabrik, di sawah. Setelah semua terkena lumpur panas, kami mengungsi dan pindah ke tempat yang aman. Sekarang ini pekerjaan tidak tentu,” katanya.
Dia berharap pemerintah segera menuntaskan dengan membayar tunai seluruh kerugian mereka.
Sementara seorang korban lain, Munif, pasrah dengan ketidakpastian skema pembayaran ganti rugi. Hingga kini Munif mengaku belum menerima sedikit pun uang ganti rugi dari Lapindo.
“Juga tidak ada permintaan maaf sedikitpun dari Lapindo,” katanya menyesalkan.
Bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, menimbulkan kerugian tidak hanya material, namun juga kerugian di banyak aspek kehidupan masyarakat.
“Peristiwa itu juga yang merusak sendi-sendi sosial masyarakat, kekerabatan, serta hubungan tetangga,” ujar Rere Anita, penduduk lokal yang menjadi korban Lapindo kepada BeritaBenar tanggal 29 Mei.
“Selama 9 tahun ini seluruh hak warga yang hilang dan tidak ada pertanggungjawaban dari Lapindo,” kata Rere.