Greenpeace: Meningkat, ABK Indonesia Alami Kerja Paksa di Kapal Asing

SBMI sebut komitmen pemerintah hanya bagus di atas kertas, lemah dalam pelaksanaan.
Tria Dianti
2021.06.03
Jakarta
Greenpeace: Meningkat, ABK Indonesia Alami Kerja Paksa di Kapal Asing Dalam gambar yang diambil dari video AFP tertangal 21 Februari 2019 ini, pelaut Indonesia menunjukkan foto kondisi di mana mereka dieksploitasi ketika bekerja di sebuah kapal berbendera Cina.
AFP

Andrisen Ulipi menceritakan penderitaannya selama menjadi anak buah kapal (ABK) yang bekerja di kapal ikan Cina dua tahun lalu.

“Kami diperlakukan seperti binatang. Makan hanya bubur, sedikit sekali porsinya dan bawang bombay, sementara awak Cina bisa makan daging dan mie goreng,” kata Ulipi kepada BenarNews Rabu (3/6).

Ulipi bukanlah satu-satunya yang mengalami perlakukan buruk ketika bekerja sebagai ABK di luar negeri.

Jumlah keluhan tentang praktik kerja paksa seperti tindak kekerasan, perlakuan buruk, penipuan kontrak dan jumlah gaji oleh pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing meningkat tahun lalu, menurut laporan organisasi lingkungan Greenpeace yang dirilis Senin.

Menurut laporan yang berjudul “Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers”, terdapat 104 pengaduan yang masuk kepada Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), figur ini meningkat dibandingkan laporan pengaduan yang diterima pada tahun 2019 yang berjumlah 86.

Pengaduan berasal dari 62 nelayan Indonesia di 41 kapal penangkap ikan dan empat kapal pengangkut berpendingin.

Pelapor mengeluhkan sejumlah indikator kerja paksa, termasuk penahanan upah (87%), kondisi kerja dan kehidupan yang kejam (82%), penipuan (80 %), dan penyalahgunaan kerentanan (67%).

Koordinator riset laut regional Greenpeace Asia Tenggara, Ephraim Batungbacal, mengatakan mayoritas pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing Cina, Hongkong dan Taiwan diduga menjadi korban kerja paksa.

“Beberapa laporan antara lain minimnya upah yang diterima, perlakuan kekerasan, kondisi hidup yang memprihatinkan dan penipuan kontrak dan perjanjian kerja,” kata Batungbacal.

“Mereka tidak diberikan gaji memadai, paspor ditahan, penipuan perjanjian kerja yang menggunakan bahasa asing, tidak boleh turun kapal bahkan saat merapat dan tidak diberikan kesempatan berobat ketika sakit,” ujarnya.

Tidak manusiawi

Ulipi, pelaut 25 tahun asal Talaud, Sulawesi Utara, yang bekerja di  kapal Hanrong 363, mengatakan akibat dari kerja paksa tersebut, banyak yang jatuh sakit. Beberapa diantaranya mengeluarkan darah dari hidung, perutnya sakit, dan sesak napas. “Kami bekerja sudah melewati batas maksimum dari kemampuan. Saat itulah saya ingin pulang. Percuma kerja keras saat uangnya nanti juga habis untuk berobat,” kata dia.

Ia kemudian memutuskan memberontak dan mengungkapkan keinginannya untuk pulang kepada kapten kapal. Namun sayang, tidak diizinkan. Beberapa teman, ujarnya, akhirnya mengurungkan niat untuk pulang karena terbebani membayar jaminan sebesar US$1.900 atau setara Rp 26 juta.

Upaya berujung terang saat dirinya, dan teman-temannya mengirimkan video “permintaan tolong” di media sosial kepada salah satu rekan agensi di pulau Jawa. Video tersebut viral dan membuat kapten kapal membolehkan Ulipi dan tiga orang lainnya pulang.

Mereka dititipkan lewat kapal lain, “Ocean Star”. Di dalamnya, ujarnya, ada jenazah warga negara Cina yang dititipkan untuk dipulangkan ke negara asal.

“Sementara kalau mayat dari WNI pasti dilarung. Padahal sama-sama tubuh manusia,” ungkapnya.

Setidaknya 16 pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan Cina telah meninggal sejak November 2019, demikian menurut Kementerian Luar Negeri. Sebagian dari jenazah pekerja Indonesia itu ada yang dibuang ke laut.

Lebih proaktif

Juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan Indonesia sebagai pengirim tenaga kerja terbanyak di ASEAN harus proaktif dalam melakukan langkah-langkah diplomasi dengan mendesak negara pemilik kapal, pengolahan ikan dan negara pelabuhan transit untuk memastikan perlindungan para pekerja.

“Diplomasi Indonesia harus lebih kuat. Selama ini posisi tawar Indonesia lemah karena belum ratifikasi konvensi ILO C-1883. Desak negara pemilik kapal ratifikasi juga untuk tingkatkan posisi tawar Indonesia,” kata Afdillah.

Tidak ada angka pasti yang mencatat berapa jumlah nelayan Indonesia yang bekerja di kapal asing. Namun pada Juni 2019 ada 21.994 orang Indonesia yang bekerja di kapal ikan Taiwan, menurut Greenpeace.

Angka tersebut meningkat di tahun 2020 menjadi 22.244 yang berarti selama pandemi tetap terjadi pengiriman pelaut dari Indonesia ke Taiwan, kata Afidillah.  

“Angka tersebut bukan hanya statistik namun ada perjuangan manusia di sana yang punya keluarga yang butuh dinafkahi dan ada hidup yang diperjuangkan dalam masalah ini,” tegasnya.

Sementara itu Ketua Umum SBMI, Hariyanto menambahkan ada tiga hal yang perlu dilakukan yaitu pencegahan, penindakan dan hak restitusi untuk korban.

“Kita tidak ingin ada ABK yang jadi korban. Mereka menjadi ABK karena alasan ekonomi, namun seringkali ketika menjadi korban hak mereka tidak terpenuhi. Sudah jadi korban tapi juga upah tidak dibayar. Menderita dua kali,” paparnya.

Ia menilai komitmen pemerintah Indonesia hanya bagus di atas kertas, sedangkan menjalankan komitmen dinilai lemah. Padahal, kata dia, persoalan mendasarnya adalah menjalankan peraturan yang telah ada, baik pencegahan, penindakan dan pemenuhan restitusi.

“Pemerintah masih setengah hati  memperbaiki tata kelola migrasi bagi keadilan hukum dan sosial ABK,” keluhnya.

Membantah

Salah satu perusahaan kapal Cina, Zhoushan Ningtai Ocean Fisheries Co. Ltd mengaku tidak memahami keluhan yang disampaikan karena selama ini perusahaan mereka sangat memperhatikan pelaut Indonesia.

“Kami pastikan tidak ada tindakan seperti itu terjadi di kapal-kapal kami,” kata perusahaan dalam pernyataan yang disampaikan dalam konferensi pers Greenpeace Senin.

Ningtai mengakui telah menerima keluhan minimnya gaji dari perusahaan agen Indonesia dan menindaklanjuti dengan menanyakan kepada kapten dan teknisi kapal terkait hal tersebut.

“Terkadang terkait tugas, ABK WNI disuruh membantu membersihkan kapal, tapi itupun diganti dengan kompensasi makan dan barang yang bisa mereka pakai di kapal,” demikian pernyataan Ningtai.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Joedha Nugraha mengatakan berbagai upaya telah dilakukan untuk menangani kasus per kasus ABK yang bekerja di kapal ikan asing.  

“Dengan Cina, kita telah melakukan pembicaraan bilateral di tingkat Menlu dan juga di tingkat teknis untuk selesaikan kasus yang ada,” ujar Joedha seraya menambahkan mayoritas pelaut Indonesia bekerja di kapal ikan Cina.

Contohnya, seperti pemulangan 157 pelaut melalui pelabuhan Bitung, dan enam lainnya melalui pelabuhan Batam pada November dan Desember 2020.

“Kasus turunan seperti gaji tidak dibayar, dan hak pekerja sudah dikerjasamakan dengan kementerian lembaga terkait untuk memfasilitasi pemenuhan hak gaji dan asuransi,” paparnya.

Sementara terkait dengan penegakan hukum, pelaku yang melakukan indikasi kekerasan dan perdagangan orang sudah diproses hukum, dan korban juga telah mendapatkan kompensasi.

“Proses hukum di Indonesia penting dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku yang ada di Indonesia.”

Terkait pelaku di luar negeri, pihaknya telah melakukan Mutual Legal Assistance (MLA) dengan pihak Cina. “Permintaan proses hukum Indonesia akan disalurkan melalui central authority yang ada di Kemenkumham untuk diteruskan ke Cina, dan ini berlaku juga untuk tiap kasus. Semua kasus akan kita proses hukum,” ungkapnya.

Langkah preventif, ujar dia, juga sudah dilakukan dengan membenahi tata kelola dan prioritas 2021 perlindungan ABK dengan membentuk peta jalan untuk ratifikasi ILO-1883 dan membangun MoU khusus ABK kapal ikan dengan ABK kapal ikan sesuai negara tujuan.

“Aturan turunan peraturan mengenai awak kapal niaga dan awak kapal perikanan itu belum memang. Diharapkan bisa segera difinalisasi, sehingga perlindungan secara utuh bisa kita capai.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.

Komentar

Gito prasetyo
2021-06-30 10:36

"Hanya tegas diatas kertas "
Dari sederet kasus ABK, pendapat sprti Itu mgkin pantas diucap... Klo pembicaraan antar MenLu pasti pas N lancar.
Pelanggaran terjadi pada perusahaan dan kebanyakan oleh kapten kapal...
Butuh ketegasan biar perusahaan N pelaku jera...
Kalau OK... OK... OK.... aja ...INA makin disepelekan.
ABK ini juga pahlawan Devisa lho.... Beri perlindungan hukum yg kuat bagi mereka

VoinoUun
2022-05-02 22:18

sy kontrak 2 thn finis kontrak Januari thn 2021 sampe sekarang Mei 2022 ikut kapal Taiwan berangkat dari Korea via Busan. gaji tdk di bayarkan bahkan sampe ib meninggal sy TDK tahu kbrnya waktu di laut..agen yg memberangkatkan kantornya di Cilacap tutup dan hilang keberadaanya..sudah lapor ke asosiasi pelaut Indonesia ( api ) Tegal hasilnya 0 alias mandul jg TDK ada kbr..mohon bg saudara yg bs membantu sya berbagi pencerahan agar gaji bs di urus dan keluar dari masalah ini....trimakasih banyak sebelumnya salam pelaut.
Voino wa : +62 812-1031-0910