Greenpeace: Perusahaan Kakap Berperan dalam Deforestasi di Indonesia
2018.09.19
Jakarta

Sejumlah perusahaan kakap yang memproduksi barang-barang konsumsi rumah tangga disebut berperan besar dalam terus terjadinya deforestasi di Indonesia karena masih menggunakan bahan baku dari perusahaan sawit yang melakukan perusakan hutan.
"Padahal mereka sudah berkomitmen mengatasi deforestasi dalam rantai pasok mereka pada 2016," ungkap Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik kepada BeritaBenar, Rabu, 19 September 2018.
Sejumlah merek dagang yang dimaksud Greenpeace adalah Unilever, Nestle, Colgate-Palmolive, Mondalez, dan Pepsico.
"Mereka gagal memantau secara aktif seluruh rantai pasok dan bergantung kepada lembaga swadaya masyarakat untuk mengidentifikasi pelanggaran," tambah Kiki.
Dalam laporan investigasi tentang deforestasi hutan Indonesia berjudul “Hitung Mundur Terakhir” yang dirilis Greenpeace, Rabu, Nestle Cs dikatakan masih memperoleh pasokan bahan baku dari setidaknya 25 kelompok produsen minyak sawit yang terlibat dalam perusakan hutan.
Grup industri ini, sebut Greenpeace, telah menggunduli lahan lebih dari 130 ribu hektar atau hampir dua kali lipat luas wilayah Singapura sejak 2015. Sebanyak 40 persen di antaranya berada di Papua.
"Merek-merek global tersebut harus menyelesaikan masalah ini sekarang, dengan tidak menerima lagi pasokan dari perusahaan sawit perusak hutan untuk menunjukkan bahwa minyak sawit mereka bersih," papar Kiki.
"Serta mempublikasikan rantai pasok minyak sawit yang bersih kepada publik di semua operasi mereka."
Terkait hasil penelusuran Greenpeace, juru bicara Unilever Indonesia, Sancoyo Antarikso, enggan berkomentar lebih lanjut dengan alasan belum mendalami laporan tersebut.
“Saya belum tahu," ujarnya saat dikonfirmasi.
Tuntut keseriusan pemerintah
Sementara itu, peneliti senior Greenpeace, Annisa Rahmawati, berharap pemerintah untuk lebih serius lagi dalam mencegah laju deforestasi di tanah air.
Pasalnya, tak cuma menggunduli lahan, perusahaan-perusahaan produsen minyak sawit tersebut selama ini juga seringkali terlibat konflik sosial dengan masyarakat di sekitar lahan serta berperan besar dalam mendorong kerusakan ekosistem hutan karena menghilangkan habitat binatang seperti orangutan, harimau, dan gajah.
"Presiden Jokowi (Joko Widodo) jangan hanya berjanji," kata Annisa.
Ia mencontohkan rencana pemerintah yang hendak menerbitkan satu peta pengelolaan lahan.
"Sampai sekarang belum juga ada," tambahnya.
Padahal, kata Annisa, satu peta pengelolaan lahan tersebut penting agar jika terjadi ihwal buruk semisal kebakaran lahan, pemerintah dan aparat penegak hukum dapat dengan mudah mencari pihak yang bertanggungjawab.
"Karena kita jadi bisa tahu siapa yang memiliki atau mengelola lahan," ujarnya.
Hingga 2017, total luas perkebunan sawit di Indonesia sekitar 22 juta hektar, dengan lahan terluas di Riau sebesar 4,2 juta hektar.
Angka ini naik dari tahun sebelumnya yang seluas 16 juta hektar.
Provinsi Riau ketika itu juga menjadi daerah dengan lahan perkebunan sawit terluas, mencapai tiga juta hektar.
Hal sama disampaikan Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, yang mendesak pemerintah segera menghentikan sementara atau moratorium izin perkebunan sawit.
"Karena reformasi agraria tidak akan berjalan jika izin perkebunan sawit jalan terus," ujarnya, dikutip dari laman Mongabay.
Menyangkal tidak serius
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani, menyangkal pemerintah tidak serius dalam menangkal laju deforestasi di Indonesia.
Ia mencontohkan keputusan Mahkamah Agung yang menghukum dua korporasi perkebunan kelapa sawit setelah terbukti lalai menyebabkan kebakaran lahan pada Juli dan Agustus lalu.
"Itu mencerminkan bahwa penegakan hukum berjalan, dengan mengacu prinsip lingkungan hidup," ujar Rasio, yang mengaku belum mendalami laporan Greenpeace tersebut.
Dua perusahaan yang diputus bersalah adalah Jatim Jaya Perkasa yang harus membayar ganti rugi pemulihan lingkungan sebesar Rp491 miliar dan Waringin Agro Jaya yang diminta membayar ganti rugi senilai Rp639 miliar.