'Awas', Status Gunung Agung Masuki Level Tertinggi
2017.09.22
Karangasem

Peningkatan aktivitas vulkanik yang ditandai dengan meningkatnya gempa telah menyebabkan dinaikkannya status Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, dari Siaga (Level 3) menjadi Awas (Level 4), pada Jumat malam, 22 September 2017, oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Awas adalah level tertinggi dalam status gunung api.
“Gunung Agung, ‘Awas’, sejak tanggal 22 September 2017 pk. 20:30 WITA,” kata kepala PVMBG, Kasbani, kepada para wartawan, Jumat.
Ia menambahkan pada status tersebut, aktivitas pada radius 9 km dari kawah puncak Gunung Agung telah dilarang serta penambahan pelarangan kegiatan masyarakat dalam radius 12 km di sektor utara, timur laut, tenggara, selatan, dan barat daya gunung tertinggi di Pulau Bali dengan ketinggian 3.031 meter itu, yang pada saat meletus terakhir tahun 1963 memakan korban jiwa sekitar 1.100 orang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali dan kabupaten telah mengambil langkah-langkah penanganan antisipasi menghadapi letusan dan penanganan pengungsi, demikian disampaikan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, dalam pernyataan tertulis ke media.
Dalam pernyataan tersebut juga disampaikan bahwa rambu-rambu radius akan segera dipasang di tempat-tempat strategis sehingga masyarakat dapat mengetahui posisi radius berbahaya. Masyarakat juga diimbau untuk tenang dan tidak terpancing isu-isu yang menyesatkan.
Pengungsi meningkat
Sejak pukul 00.00 hingga 18.00 WITA Jumat, dilaporkan terjadi 88 gempa vulkanik dangkal, 503 kali gempa vulkanik dalam, dan 100 kali gempa tektonik lokal.
Pengamatan visual dari pos pengamatan di Rendang menunjukkan adanya asap kawah bertekanan lemah berwarna putih dengan intensitas tipis dan tinggi 50 m di atas kawah puncak.
Meningkatnya status Gunung Agung diikuti kenaikan jumlah warga mengungsi selama dua hari terakhir mencapai sekitar 10.000 orang.
Mereka secara swadaya mengungsi ke lokasi-lokasi pengungsian yang telah disediakan pemerintah maupun sesama warga.
Seperti yang terjadi pada Ketut Ardika bersama istri dan dua anak mereka sehari yang lalu, yang terpaksa meninggalkan rumah di Banjar Kesimpar, Desa Besakih. Banjar Kesimpar adalah titik terakhir untuk mendaki ke Gunung Agung.
Mereka menuju Kantor Pertanian Rendang, yang berjarak sekitar 10 km dari desanya. Di kompleks sehektar itu, Ardika bergabung dengan warga lain yang telah mengungsi sejak dua hari sebelumnya.
Menurut peta desa terdampak erupsi yang dikeluarkan BNPB, Besakih termasuk desa rentan terkena muntahan lava sesuai catatan letusan Gunung Agung pada 1963. Selain Besakih, ada lima desa lain di tiga kecamatan yaitu Selat, Kubu, dan Rendang.
“Tiang (saya) takut nanti malah tidak bisa keluar desa kalau gunungnya meletus,” kata Ardika yang bersama sekitar 140 keluarga lain mengungsi, meninggalkan kebun dan ternaknya.
Sementara Wayan Pasek, seorang warga mengaku terpaksa menjual sapi dengan hanya setengah dari harga normal. Biasanya, satu ekor sapi dijual Rp 17 juta. Sekarang hanya Rp 10 juta.
“Keadaan sudah begini, mau bagaimana lagi? Biar rugi yang penting selamat,” katanya.
50 Titik pengungsian
Berdasarkan data BPBD Bali, jumlah penduduk di Kawasan Rawan Bencana 3 (KRB 3) sekitar Gunung Agung mencapai 49.485 jiwa.
Hingga Jumat siang, jumlah pengungsi yang tercatat telah mencapai 9.421 jiwa. Mereka tersebar di 50 titik pengungsian di tiga kabupaten yaitu Klungkung, Buleleng, dan Karangasem.
Menurut data BNPB, pengungsi di Karangasem berjumlah 7.018 jiwa yang tersebar di 40 titik pengungsian, di Buleleng ada 1.722 jiwa pengungsi di 8 titik, dan di Klungkung terdapat 601 jiwa pengungsi di 2 titik.
Sebagai gambaran, sehari sebelumnya jumlah pengungsi hanya 1.259 jiwa di seluruh lokasi yang tercatat BPBD Bali.
“Data pengungsi terus bergerak karena masyarakat mengungsi dari tempat tinggalnya,” ujar Sutopo dalam siaran pers sebelumnya.
‘Saudara kami’
Kepala Pusat Pengendalian Operasi Bencana (Pusdalops) Bali, I Gede Jaya Serataberana, menyatakan ada tujuh lokasi pengungsian resmi yang telah disiapkan.
Hingga kini, lokasi pengungsi terbanyak 1.200 orang, terdapat di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Lokasinya di sebelah utara Gunung Agung.
“Semua warga mengungsi secara mandiri,” kata Jaya.
Di luar tujuh lokasi pengungsian resmi, tambahnya, ada yang dibuat warga secara swadaya maupun keluarga pengungsi sendiri.
Jaya menyebutkan lokasi itu tersebar di beberapa wilayah, seperti Baturiti (Tabanan), Taro (Gianyar), dan Sanur (Denpasar).
“Kami tetap berkoordinasi dengan mereka meskipun mereka tidak mengungsi ke tempat pengungsian resmi,” tutur Jaya.
Warga yang mendirikan posko mandiri misalnya berada di Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Karangasem.
Warga desa-desa tetangga itu secara sukarela menyiapkan balai banjar ataupun rumah mereka sebagai tempat untuk menampung pengungsi.
Di sepanjang jalan Besakih – Klungkung, warga juga memberi tanda Posko Pengungsian di banjar ataupun rumah.
“Bagaimanapun juga mereka saudara kami,” kata Nyoman Merta, warga Banjar Saren Tengah, Desa Nongan, yang berkoordinasi melalui radio (HT) maupun grup WhatsApp.