Hukuman Guru Pemerkosa Santriwati Diperberat Menjadi Pidana Mati

Vonis Herry Wirawan diperberat dari sebelumnya penjara seumur hidup, namun hukuman mati itu disayangkan Komnas HAM.
Arie Firdaus
2022.04.04
Jakarta
Hukuman Guru Pemerkosa Santriwati Diperberat Menjadi Pidana Mati Petugas keamanan mengawal pemilik dan guru pondok pesantren Herry Wirawan (tengah) saat sidang pembacaan vonis awal di Bandung, Jawa Barat, 15 Februari 2022.
AP

Pengadilan Tinggi Bandung pada Senin (4/4) memperberat hukuman terhadap pemilik sekaligus guru pesantren yang terbukti bersalah memerkosa 13 santriwati sejak 2016, dari sebelumnya penjara seumur hidup menjadi hukum mati.

Majelis hakim banding yang dipimpin Herri Swantoro menyatakan perbuatan terdakwa Herry Wirawan (36) telah membuat korban yang kebanyakan masih di bawah umur itu menderita dan mencemarkan nama baik lembaga pesantren serta agama.

“Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati…. Perbuatan terdakwa menimbulkan trauma dan penderitaan pula terhadap korban dan orang tua korban,” kata hakim Herri seperti dilansir situs Pengadilan Tinggi Bandung.

“Perbuatan terdakwa yang dilakukan di berbagai tempat, di antaranya di pondok pesantren yang dipimpin terdakwa, telah merusak citra Islam karena menggunakan simbol-simbol agama Islam dan dapat menyebabkan kekhawatiran orang tua untuk mengirim anaknya belajar di pondok pesantren.”

Majelis hakim banding pun memutuskan untuk menyita segenap harta dan aset terdakwa Herry berupa tanah, bangunan, dan segala haknya di yayasan pondok pesantren.

Aset yang sudah disita selanjutnya dilakukan penjualan serta lelang dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah Jawa Barat untuk dipergunakan sebagai biaya pendidikan dan kelangsungan hidup para anak korban dan bayi-bayinya hingga mereka dewasa atau menikah, kata majelis hakim.

Tidak ada pertimbangan meringankan yang bisa mengurangi hukuman Herry, lanjut hakim.

Dari fakta persidangan, Herry setidaknya memerkosa para korban di sepuluh lokasi. Selain di ruangan pesantren, ia menjalankannya di kantor yayasan, hotel, dan apartemen.

Sepanjang persidangan, terungkap pula bahwa terdakwa kerap memakai modus pura-pura minta dipijat di kamar untuk menjerat korban. 

Herry juga disebut jaksa tetap memaksakan kendati para santriwati telah menangis ketakutan. Ia juga mengeksploitasi kemiskinan para korban dengan mengimingi mereka bakal dinikahkan, dikuliahkan, atau dijadikan polisi wanita.

Vonis pengadilan banding ini sama dengan tuntutan jaksa pada pengadilan tingkat pertama yang berlangsung pada Februari lalu.

Selain meminta vonis mati, jaksa kala itu juga meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan pidana tambahan berupa kebiri kimia dan kewajiban membayar restitusi atau ganti rugi kepada sembilan orban yang telah melahirkan bayi akibat perbuatan Herry.

Namun, hakim tingkat pertama hanya menjatuhkan penjara seumur hidup bagi Herry.

Hakim tidak mengabulkan hukuman kebiri kimia dengan dalih bahwa pidana tambahan tersebut hanya bisa diberikan jika terdakwa tidak menerima vonis maksimal —sementara terdakwa Herry beroleh pidana maksimal yakni seumur hidup penjara. 

Beban pembayaran ganti rugi kepada para korban kala itu juga dialihkan hakim kepada pemerintah, alih-alih kepada terdakwa.

Dalam putusan banding, beban kewajiban ganti rugi itu dialihkan kembali oleh hakim kepada terdakwa.

Dalam keterangan pada awal penyidikan, kepolisian menyatakan bahwa korban Herry rata-rata masih berusia belia, rentang 14-20 tahun.

Kuasa hukum terdakwa, Ira Mambo, saat dihubungi enggan mengomentari putusan Pengadilan Tinggi Bandung dengan dalih belum menerima salinan putusan.

“Kami belum menerima salinan putusan banding,” ujarnya kepada BenarNews.

BenarNews menghubungi Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Asep Mulyana yang juga menjadi salah satu anggota tim penuntut, tapi tak beroleh balasan.

Namun di laman CNN Indonesia pada akhir Februari lalu, Asep mengatakan bahwa perbuatan Herry yang memerkosa santrinya adalah kejahatan serius sehingga layak dihukum mati.

“Kami tetap menganggap bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Herry Wirawan itu sebagai kejahatan sangat serius sehingga kami tetap pada tuntutan kami yakni pidana mati," kata Asep di laman tersebut.

Komisi Nasional Hal Asasi Manusia (Komnas HAM) menyayangkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang memperberat vonis Herry Wirawan menjadi pidana mati.

Menurut Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam vonis pengadilan tingkat pertama sejatinya telah tepat dan berat.

Kekhawatiran terdakwa mengulang perbuatannya pun berpotensi besar tidak akan terulang lantaran sudah mendekam di balik terungku sepanjang hidupnya.

“Komnas HAM selalu menolak setiap hukuman mati karena tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia,” kata Anam saat dihubungi.

Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir mengatakan hakim membuat keputusan tepat dengan memerintahkan terdakwa membayar ganti rugi kepada korban.

“Menurut aturan, restitusi semestinya dibebankan kepada terdakwa, terpidana, atau pihak ketiga yang dalam artian ikut bertanggungjawab terhadap timbulnya kerugian bagi korban,” kata Mudzakkir.

“Bukan dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak seperti yang diputus pengadilan negeri lalu. Ini adalah keputusan baik.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.