Keluarga Korban Pelanggaran HAM dan Aktivis Tolak Pembentukan DKN
2018.07.19
Jakarta

Rencana pemerintah membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu ditentang keluarga korban dan aktivis HAM.
Maria Catarina Sunarsih, pendiri Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) mengatakan, rencana itu cacat moral karena DKN diinisiasi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto.
JSKK menilai Wiranto sebagai sosok yang bertanggung jawab atas penembakan sejumlah mahasiswa – termasuk putra Maria, Benardinus Realino Norma Irawan alias Wawan – saat berunjuk rasa menentang rezim Orde Baru, pada 1998.
“Jika Wiranto mengatakan komando penembakan bukan dari saya, salah besar. Karena saat itu, dia menjabat Menhankam/Pangab,” tegas Maria saat jumpa pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) di Jakarta, Kamis, 19 Juli 2018.
Tak hanya itu, lanjutnya, pembentukan DKN mencederai visi misi Presiden Joko “Jokowi” Widodo, di mana salah satu program kerjanya berkomitmen menghapus impunitas.
“Kalau Jokowi tetap menandatangai pembentukan DKN, visi misinya hanya dipakai untuk meraup suara (pemilihan presiden 2014),” ujar Maria lagi.
Sebelumnya, Wiranto menyatakan bahwa DKN dibentuk bukan untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, tetapi bisa saja dilibatkan bila harus diselesaikan melalui jalur non-yudisial.
"Kalaupun pelanggaran HAM tidak bisa selesai secara yudisial, kan akan ke non-yudisial juga. Di situ mungkin DKN bisa dilibatkan," ujarnya pada Maret lalu.
Menurut Wiranto, DKN dibentuk untuk menangani konflik horizontal dalam skala nasional, dengan mengedepankan non-yudisial, yakni musyawarah untuk mencapai mufakat.
Maria menuntut Jokowi untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan memerintahkan Kejaksaan Agung memulai penyidikan.
“Tugas Komnas HAM telah selesai. Sekarang tugas Kejaksaan Agung menyidik. Kalau terbukti pelanggaran HAM berat, DPR bisa menerbitkan surat ke Presiden agar Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc,” ujar Maria.
“Jika terus membiarkan, maka Jokowi adalah penguasa yang melanggengkan impunitas.”
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, Kristian Erdianto Bejo Untung juga menolak pembentukan DKN dengan alasan sama.
“Tragedi 65 adalah kasus luar biasa, bagaimana orang dibunuh, diculik, wanita dilecehkan. Saya sembilan tahun di tiga tahanan dan mengalami kerja paksa. Saya mewakili 500 ribu hingga satu juta jiwa korban 65,” ujarnya.
Kalau Jokowi menyetujui pembentukan DKN, lanjut Bejo, akan menjadi malapetaka dan menyakiti korban.
“Saya minta Presiden untuk tidak menandatangani pembentukan DKN. Kalau perlu, Wiranto dipecat. Kalau sebaliknya, berarti Jokowi melanggengkan impunitas,” ujar Bejo.
Menurutnya, Jokowi seharusnya segera membentuk pengadilan HAM ad hoc karena barang bukti yang dikumpulkan Komnas HAM sudah sangat cukup.
“Memang kasus pelanggaran HAM seperti bisul. Harus diangkat biarpun menyakitkan,” imbuhnya.
Inkonstitusional
Koordinator KontraS, Yati Andriyani, menyebutkan, ada empat poin penyelewengan dalam pembentukan DKN, mulai dari maladministrasi wewenang hingga bersifat inkonstitusional.
“Inisiatif dan keputusan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme DKN oleh Menko Polhukam melampaui wewenang dan cacat administrasi,” katanya.
Mekanisme DKN yang hanya musyawarah dan mufakat tanpa proses hukum bertentangan dengan konstitusi seperti diatur dalam UUD 1945 Amandemen Kempat Tahun 2002, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
“Musyawarah untuk mufakat yang diusung lewat DKN menutup ruang-ruang kebenaran, melanggar hukum tanpa adanya proses yudisial,” ujar Yati.
DKN, lanjutnya, juga bertabrakan dengan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang tidak mengatur sedikit pun wewenang Menko Polhukam dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.
“Kewenangan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM adalah mandat Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik dan penuntut,” paparnya.
“Lebih jauh, DKN makin nyata memperlihatkan adanya upaya praktik cuci tangan.”
Aktivis Imparsial, Batara Ibnu Reza, melihat adanya itikad tidak baik dari pemerintah dengan pembentukan DKN karena kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum selesai adalah utang siapapun yang tengah memerintah seperti ditegaskan DPR.
“Pemerintah saat ini membangun kerukunan sosial semu karena tak berlandaskan hukum,” katanya.
“Menggunakan istilah rukun adalah licik. Ini bukan strategi keluar dari masalah. Sepanjang penyelesaian tak dilakukan, impunitas berlanjut. Kita minta pemerintah menghentikan jalan pintas imunitas.”
Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan pembentukan DKN masih dalam tahap pembahasan. Dia berharap penyelesaian pelanggaran HAM berat bisa dilakukan pada masa pemerintahan Jokowi meski diakuinya sulit dilakukan.