Kelompok HAM Kecewa Indonesia Menentang Resolusi PBB tentang Genosida
2021.05.21
Washington

Indonesia bersama dengan Korea Utara, Cina, Rusia, dan rezim represif lainnya yang memberikan suara "tidak" dalam resolusi PBB di debat tahunan pada minggu ini mengenai pencegahan kejahatan terhadap kemanusiaan - meningkatkan kecemasan para pendukung hak asasi manusia (HAM) dan pengamat negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara ini.
Meskipun demikian, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mendapat suara terbanyak – dengan 115 suara mendukung, 15 menentang, dan 28 abstain - untuk resolusi itu, dan meminta sekretaris jenderal PBB untuk setiap tahun melaporkan secara resmi langkah-langkah pencegahan genosida, pembersihan etnis dan kejahatan perang lainnya.
Pemungutan suara pada 18 Mei tersebut adalah mengenai apa yang biasa disebut sebagai R2P atau tanggung jawab untuk melindungi dan mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Suara Indonesia terhadap resolusi tersebut "benar-benar membingungkan" bagi Simon Adams, direktur eksekutif dari Global Center for the Responsibility to Protect (Global R2P), sebuah organisasi yang berbasis di New York yang didirikan pada tahun 2008 untuk "mewujudkan janji-janji R2P."
“Saya sangat terkejut, heran dan sangat kecewa. Ini adalah Indonesia, yang secara langsung memberikan suara sama dengan Korea Utara dan beberapa pelanggar hak asasi manusia terburuk dunia lainnya tentang resolusi untuk membahas R2P setiap tahun,” kata Adams kepada BenarNews.
“Kami tidak melihat kesamaan Indonesia dengan Korea Utara. Kami secara khusus menilai bahwa Indonesia memiliki peran yang sangat penting untuk dimainkan di kawasan ini dalam menegakkan hak asasi manusia baik yang dilakukan kepada Myanmar atau secara umum di dunia. Ini negara demokrasi.”
Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia mengatakan Indonesia tidak menunjukkan komitmen baik dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia secara global.
“Kami menyesali tindakan Indonesia,” kata Usman seperti dikutip di Tempo.
Faktanya, Indonesia adalah satu-satunya anggota dari 10 anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang memberikan suara menentang resolusi tersebut, sementara negara tetangga Malaysia, Thailand dan Filipina mendukungnya, dan sisanya abstain. Indonesia menjadi negara demokrasi, setelah jatuhnya Suharto, seorang diktator, pada bulan Mei 1998 yang selama hampir lima dekade merupakan negara dengan pemerintahan militer.
Resolusi minggu ini untuk menempatkan R2P dalam agenda tahunan datang seiring dengan "meningkatnya konflik Israel-Palestina dan krisis yang berkecamuk di negara-negara yang terkena dampak perselisihan seperti Myanmar dan Suriah," demikian pernyataan pers PBB.
R2P diangkat sebagai bagian dari Dokumen Hasil KTT Dunia PBB tahun 2005. Empat tahun kemudian, Sidang Umum PBB mengeluarkan resolusi untuk "melanjutkan pertimbangan atas tanggung jawabnya untuk melindungi."
Tidak perlu ‘buang waktu untuk bahas hal yang sudah dilakukan’
Indonesia telah bergabung dengan konsensus 2005 yang mengadopsi konsep tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh perwakilan PBB dari negara Asia Tenggara itu dalam pernyataannya minggu ini.
Menurut Indonesia, “R2P tidak memerlukan agenda tahunan tetap,” karena perdebatan tentang laporannya telah diamanatkan - dalam resolusi Sidang Umum 2009.
"Posisi pemungutan suara Indonesia hari ini tidak boleh disalahartikan sebagai menentang R2P," demikian pernyataan yang dikeluarkan hari Kamis oleh perwakilan misi diplomatik Indonesia untuk PBB.
“Upaya pembahasan R2P jangan sampai menjadi tindakan yang salah. Hampir tidak ada sama sekali kebutuhan untuk membahas hal yang sudah dilakukan."
Banyak yang terkejut dengan keputusan pilihan Indonesia itu, karena sepintas lalu, Indonesia, bersama Malaysia, adalah salah satu anggota ASEAN pertama yang menyerukan pertemuan puncak para pemimpin khusus dari blok tersebut untuk membahas kudeta militer di Myanmar dan dampak kekerasan bagi rakyatnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia menegaskan bahwa pemungutan suara di Sidang Umum minggu ini bukan pada "substansi" R2P tetapi lebih pada proseduralnya."
Argumen itu tidak bisa diterima, menurut Lina Alexandra, seorang peneliti senior di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS), kepada Jakarta Post.
“Jika tidak ada hubungannya dengan substansi, pertanyaan kami adalah, mengapa repot-repot memilih 'tidak'? Toh itu kan prosedur saja dimana R2P tetap harus dibicarakan, ”ujarnya kepada surat kabar Indonesia.
“Kekhawatirannya adalah bahwa langkah yang diambil pada hari Selasa tersebut dapat dipakai oleh siapa saja yang ingin mempertanyakan komitmen Indonesia untuk menyelesaikan krisis di Myanmar. Ini bisa menjadi bumerang bagi kita. ”
Adams dari GlobalR2P setuju dengan pendapat Alexandra.
Penjelasan Indonesia tidak ada gunanya. Jika semuanya berjalan dengan baik dan ada banyak perdamaian dunia maka Anda bisa berkata, 'Apakah kita benar-benar membutuhkan ini dalam agenda tahunan?' Jelas hak asasi manusia adalah masalah besar," kata Adams.
‘Papua mungkin merupakan alasannya’
Beberapa analis bertanya-tanya apakah tanggapan Indonesia terhadap peningkatan kekerasan baru-baru ini di wilayah Papua yang bergolak adalah alasan mengapa Indonesia memilih “tidak”.
Dengan meningkatnya kekerasan di Papua, Indonesia melabeli pemberontak separatis Papua sebagai kelompok teroris, tindakan yang dikritik oleh beberapa kelompok HAM.
Pasukan Indonesia telah menginvasi wilayah Papua pada tahun 1963. Papua dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1969 setelah pemungutan suara atau “Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)” yang dilaksanakan oleh PBB, yang oleh banyak orang Papua dan kelompok HAM dikatakan sebagai palsu.
Situasi Papua mungkin menjadi alasan keputusan suara Indonesia itu, kata Joshua Kurlantzick, pakar untuk Asia Tenggara, di Council on Foreign Relations.
“Papua mungkin alasannya, karena itu Indonesia tidak ingin membahas situasi itu, itu bisa menjadi salah satu faktornya,” kata Kurlantzick kepada BenarNews.
“Pemerintahan Jokowi menjadi kurang protektif terhadap hak asasi manusia dari waktu ke waktu… dan mungkin itu adalah salah satu faktor bagaimana Indonesia menentukan pilihannya,” katanya, mengacu pada Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Selain itu, Jokowi tidak tertarik pada kebijakan luar negeri, kata Kurlantzick. Indonesia memiliki sejarah panjang "bersikap skeptis terhadap intervensi asing," tambah pakar senior CFR itu.
“Meskipun begitu, dengan adanya keputusan R2P tidak berarti pasukan akan dikirim ke Myanmar,” kata Kurlantzick.
Indonesia juga telah mengindikasikan bahwa "penerapan R2P yang kontroversial semakin membuktikan bahwa kehati-hatian yang lebih besar memang diperlukan" tanpa memperjelas lebih lanjut apa yang dimaksud.
Adams dari Global R2P mengatakan mungkin saja - meskipun tidak pasti - Indonesia merujuk pada kasus Libya.
Pada tahun 2011 NATO melakukan intervensi di Libya selama perang saudara di sana, yang merupakan penerapan tindak pertama dari doktrin R2P.
“Libya menjadi alasan yang tepat,” kata Adams.
“Mereka mencari alasan diplomatik yang tepat, menemukannya dan menggunakannya. Tapi itu tidak cukup sebagai alasan.”
Sementara itu, salah satu editorial Jakarta Post mempertanyakan alasan Indonesia dalam pemungutan suara melawan R2P.
“Pernyataan Indonesia tidak dapat menjelaskan bagaimana Indonesia, yang menggembar-gemborkan dirinya sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, bisa sama dengan negara-negara seperti Korea Utara dan negara-negara lain yang menindas rakyat mereka sendiri,” kata editorial itu.
“Bila bicara tentang demokrasi dan hak asasi manusia, Indonesia tidak mau diasosiasikan dengan negara-negara di kelompok tersebut.”