Pimpinan HAM PBB, Parlemen ASEAN Himbau Indonesia Hentikan Diskriminasi LGBT
2018.02.07
Jakarta
Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB dan anggota parlemen ASEAN, meminta masyarakat Indonesia untuk menghentikan diskriminasi kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
“Retorika kebencian terhadap komunitas ini sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik sinis dan hanya akan menambah penderitaan mereka serta menciptakan perpecahan yang tidak perlu,” ujar komisioner HAM PBB, Zeid Ra’ad Al Hussein, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 7 Februari 2018.
Zeid berada di Indonesia sejak Senin lalu bertepatan dengan peringatan 70 tahun deklarasi universal HAM PBB. Setelah Indonesia, dia akan mengunjungi Papua Nugini dan Fiji.
Selama tiga hari di ibukota Indonesia, Zeid mengadakan pertemuan dengan berbagai kalangan mulai dari aktivis pegiat HAM, keluarga korban pelanggaran HAM hingga Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
"Beberapa dari mereka datang dari jauh untuk membagi pengalamannya dan menyuarakan aspirasinya supaya melindungi hak-hak mereka dan komunitas mereka," jelasnya mengenai orang-orang yang ditemuinya di Jakarta.
Menurut Zeid, berdasarkan temuan Komisi Tinggi HAM PBB, kelompok LGBT tengah menghadapi stigma yang meningkat, ancaman, dan intimidasi di Indonesia.
“Saat Indonesia tengah menikmati kebebasan berdemokrasi, kami minta masyarakat Indonesia untuk maju, bukan mundur, dalam menjaga HAM dan menolak segala bentuk diskriminasi dalam hukum,” ujarnya.
“Jika kita mengharapkan tidak didiskriminasi berdasarkan kepercayaan, warna kulit, ras atau jenis kelamin, jika masyarakat Muslim mengharapkan orang lain melawan Islamofobia, kita juga harus siap mengakhiri diskriminasi di negara sendiri.”
“Islamofobia jelas salah. Diskriminasi atas dasar keyakinan dan warna kulit itu salah. Diskriminasi berdasarkan orientasi seksual atau status lainnya juga salah,” tambahnya.
Merespons seruan tersebut Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly, seperti dikutip dari laman Kompas.com mengatakan, "Tetapi Indonesia punya budaya dan kepercayaan bahwa promosi (LGBT) secara publik itu tidak dapat diterima.”
Dia menambahkan bahwa pemerintah tidak akan mengkriminalisasi mereka yang memiliki orientasi seks sesama jenis, tetapi harus tetap ada pidana bagi pelaku LGBT.
Sementara itu ASEAN Parliamentarian for Human Rights (APHR), organisasi yang beranggotakan para dewan perwakilan rakyat dari negara-negara ASEAN menolak rencana revisi KUHP di Indonesia yang jika diterima akan mengkriminalisasi LGBT dan hubungan seks di luar pernikahan.
"Amandemen ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hak warga Indonesia atas privasi dan hak dasar mereka. Sangat mengkhawatirkan bahwa urusan pribadi antara dua orang dewasa dan patuh hukum segera bisa terbuka untuk campur tangan dan diawasi pemerintah," kata anggota dewan APHR Teddy Baguilat, seorang anggota DPR Filipina.
"Indonesia harus melindungi hak warganya, daripada mengekspos mereka terhadap pelecehan dan penuntutan yang terus meningkat," tambahnya.
Beberapa tahun terakhir diskriminasi terhadap kaum LGBT memang semakin terasa. Terjadi beberapa penggerebekan terhadap komunitas minoritas ini. Yang terbaru adalah pada akhir Januari lalu dimana 12 waria yang bekerja di sejumlah salon digerebek polisi di Aceh Utara.
Aktivis LGBT, Hartoyo, mengatakan bahwa pernyataan Komisioner Tinggi HAM PBB menjadi penegasan bahwa diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia sudah mengkhawatirkan.
“Isu ini sudah menjadi perhatian internasional. Ini tantangan bangsa ini, bahwa diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBT harus ada upaya perlindungan terhadap kelompok ini,” katanya kepada BeritaBenar.
Survei: Sentimen anti-LGBT meningkat
Menurut hasil penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), semakin banyak publik yang melihat LGBT sebagai ancaman.
Survei pada September 2017 menunjukkan 85,4 persen masyarakat merasa terancam dengan keberadaan LGBT. Persentase ini meningkat menjadi 87,6 pada Desember 2017.
Sebanyak 79,1 persen responden mengatakan keberatan bila kelompok LGBT menjadi tetangga mereka.
“Mayoritas warga juga keberatan bila orang LGBT menjadi pejabat pemerintah, seperti bupati/walikota, gubernur, atau presiden,” kata Direktur SMRC Ade Armando dalam keterangan pers yang tercantum di laman resmi SMRC.
Meski demikian, survei juga menunjukkan 57,7 persen publik berpendapat LGBT punya hak hidup di Indonesia dan sekitar 50 persen publik berpendapat pemerintah wajib melindungi LGBT sebagai warga negara sebagaimana warga negara lain.
Revisi KUHP
Seperti juga anggota parlemen ASEAN, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melihat beberapa pasal yang diusulkan untuk direvisi dalam UU KUHP membuka peluang kriminalisasi bagi kelompok rentan, termasuk LGBT.
“Yang perlu jadi pertimbangan, apakah isu LGBT hanya bisa diselesaikan lewat sentuhan hukum. Bagaimana dengan sistem pendidikan kita sebagai pendekatan yang tepat dalam menghadapi isu LGBT,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu.
“Jika LGBT dikriminalisasi, maka lapas akan penuh. Anggaran ekstra akan dibutuhkan untuk membangun lapas LGBT yang dikriminalisasi. Jika isu seksual mau diatur, lihat fakta-faktanya juga. Apakah ada unsur kekerasan.”
Kunjungan Zeid, lanjut Azriana, dipastikan setelah mempelajari laporan Universal Periodic Review (UPR) baru-baru ini dimana Indonesia memiliki banyak catatan dibandingkan negara-negara lain dalam hal penegakan HAM.
Azriana justru mengkhawatirkan arti kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB dimanfaatkan lawan-lawan politik Presiden Jokowi dalam mencapai tujuannya.
“Kalau tamparan ini datangnya dari masyarakat sipil, okelah. Tapi lawan politik ada, jadi yang (presiden) lakukan itu tidak ada yang benar,” ujar Azriana.