Aktivis: Hapus Sunat Perempuan

Zahara Tiba
2016.08.04
Jakarta
160804_ID_CircumcisionGirl_1000.jpg Seorang anak perempuan menangis kesakitan ketika ia disunat oleh dokter di Bandung, 10 Februari 2013.
AFP

Kalangan aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sustainable Development Goal's (SDG's) melihat ada keengganan pemerintah untuk memasukkan persoalan sunat perempuan dalam target dan tujuan kesetaraan gender.

Hal itu disampaikan mereka dalam konferensi pers bertajuk “Menyikapi Kecenderungan Indonesia Melakukan Penghilangan Indikator Sunat Perempuan Dalam Goal 5 SDG’s” di Jakarta, Kamis, 4 Agustus 2016.

Saat ini, pemerintah sedang menyusun definisi operasional dalam mendukung gerakan SDG’s yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) minggu lalu.

PBB mencanangkan secara khusus Gerakan Goal 5 yang fokus terhadap isu-isu seputar perempuan, salah satunya adalah tentang penghapusan praktik-praktik yang merugikan perempuan, termasuk sunat perempuan.

Para aktivis perempuan setuju sunat adalah bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Dian Kartikasari dari Koalisi Perempuan Indonesia menyayangkan adanya kekosongan payung hukum yang menentang masalah tersebut.

Indonesia yang merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, tercatat sebagai negara dengan kasus sunat perempuan ketiga tertinggi di dunia setelah Mesir dan Ethiopia.

Menurut Dian, Indonesia sebenarnya sudah melihat isu ini sebagai kekerasan terhadap perempuan melalui beberapa penelitian yang dilakukan sejumlah perguruan tinggi sejak 2000an.

“Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan mengeluarkan laporan tentang kerugian sunat perempuan,” katanya.

Kementerian Kesehatan melalui Direktur Jenderal Kesehatan telah menerbitkan surat edaran yang tegas melarang medikalisasi sunat perempuan. Tapi tahun 2010, Menteri Kesehatan mengeluarkan peraturan yang dinilai aktivis kontradiktif dengan edaran itu. Permenkes itu mengatur tata cara medikalisasi yang hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan.

“Ini menimbulkan polemik. Medikalisasi bertujuan menyembuhkan atau menyehatkan. Sunat terhadap perempuan tidak,” ujar Dian.

Peraturan itu juga menyatakan sunat hanya boleh dilakukan atas persetujuan orang bersangkutan atau orang tua mereka.

“Padahal yang banyak disunat adalah bayi dan anak perempuan di bawah 18 tahun yang bukan pengambil keputusan,” tambah Dian.

Bentuk kekerasan

Ketua Pelaksana Harian Institut KAPAL Perempuan, Misiyah, menegaskan sunat adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan.

“Sunat perempuan diterima luas di masyarakat karena adanya penilaian perempuan sebagai makhluk binal. Punya nafsu syahwat tinggi. Perempuan selalu digambarkan sebagai objek seks. Siapa yang menentukan nafsu seks perempuan tinggi? Belum ditentukan saja sudah disunat,” tegas Misiyah.

Untuk itu, tambahnya, pemerintah harus melakukan edukasi yang lebih cerdas kepada masyarakat dan mendukung penelitian-penelitian tentang bahaya sunat perempuan.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk SDGs minta Kementerian Kesehatan sebagai penanggung jawab tercapainya indikator penghapusan sunat perempuan untuk lebih peduli karena sunat perempuan bukan tindakan medis.

Ada hadist

Hilmi Ahmad Azhari dari Rumah Kitab, sebuah organisasi nonprofit yang fokus dalam pemberdayaan pesantren, mengakui memang ada beberapa hadits Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan tentang kewajiban sunat terhadap perempuan. Namun, ada juga yang membantahnya.

“Ini tidak bisa dijadikan landasan dalam mewajibkan sunat terhadap perempuan, karena setiap pernyataan yang mengandung perbedaan tidak bisa menjadi konsensus bersama. Namun sayangnya itu digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia,” ujar Hilmi.

Dalam sebuah seminar tentang “Kajian Sunat Perempuan” di Yogyakarta tahun 2011 lalu, Sekretaris Umum MUI Yogyakarta, Ahmad Muhsin Kamaludiningrat mengatakan sunat atau khitan perempuan sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.

“Larangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari’ah, karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Khitan tidak hanya sekedar kebutuhan medis, namun merupakan bentuk ibadah yang dogmatik,” ujar Ahmad dalam keterangannya di laman resmi MUI Yogyakarta.

Dia juga menegaskan dalam pelaksanaannya, sunat perempuan harus memperhatikan beberapa hal, yakni cukup dengan hanya menghilangkan selaput yang menutupi klitoris.

“Khitan perempuan juga tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan bahaya dan merugikan,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.