Pengamat ragukan efektivitas hotline ASEAN-China terkait Laut China Selatan
2023.03.13
Jakarta

Negara-negara Asia Tenggara dan China kemungkinan akan melakukan uji coba terhadap hotline krisis di Laut China Selatan tahun ini untuk mencegah bentrokan, tetapi para analis mempertanyakan efektivitasnya di tengah-tengah ketegangan yang berlangsung di perairan strategis tersebut.
Dirjen Kerjasama ASEAN di Kementerian Luar Negeri, Sidharto Suryodipuro, mengungkapkan rencana tersebut kepada wartawan pada Jumat setelah para pejabat dari ASEAN dan China bertemu di Jakarta untuk membahas kode perilaku di Laut China Selatan, yang merupakan titik persaingan geopolitik dan sengketa maritim.
"Yang paling penting adalah pengelolaan insiden," kata Sidharto kepada wartawan.
“Salah satu yang kita lihat, yang mungkin bisa kita lakukan untuk mendukung adalah melakukan semacam exercise tentang yang namanya hotline,” tambahnya.
Collin Koh, seorang analis yang berbasis di Singapura, menyebut rencana untuk menguji hotline ini "tidak lebih dari strategi pencitraan".
Hotline ini dibentuk pada tahun 2016 sebagai bagian dari pernyataan bersama tentang penerapan Aturan untuk Persinggungan Tidak Direncanakan di Laut, atau CUES, serangkaian protokol untuk kapal perang dan pesawat terbang untuk berkomunikasi satu sama lain dan menghindari tabrakan.
Pernyataan tersebut juga menyerukan langkah-langkah membangun kepercayaan dan kerja sama praktis antara ASEAN dan China.
Namun, kemajuan dalam implementasinya lambat karena meningkatnya ketegangan dan kepentingan yang bersaing di Laut China Selatan, di mana sekitar sepertiga dari lalul lintas barang global berlangsung dan di mana terdapat sumber daya perikanan yang kaya dan potensi cadangan minyak dan gas.
Koh, seorang peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura, mempertanyakan manfaat hotline tersebut.
"Hotline tidak akan memiliki efek apa pun pada perilaku pihak-pihak tertentu di Laut China Selatan," katanya kepada BenarNews.
"Jujur saja, para pihak bisa memiliki hotline tetapi China khususnya mungkin tidak akan untuk mundur dari perilaku memaksa terhadap negara lain di Asia Tenggara di Laut China Selatan."
China memiliki klaim tumpang tindih dengan beberapa negara di Asia Tenggara – Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Indonesia secara resmi menyatakan bukan merupakan pihak yang memiliki permasalahan klaim wilayah di Laut China Selatan, namun demikian Jakarta kerap bersitegang dengan Beijing terkait hak pencarian ikan terutama di perairan Natuna, yang disebut China berada dalam wilayah “sembilan garis putus- putus” yang secara historis diklaim sebagai wilayahnya.
ASEAN dan China juga sedang bekerja untuk menyelesaikan kode perilaku untuk Laut China Selatan, sebuah dokumen yang akan menetapkan aturan dan norma-norma untuk perilaku dan kerja sama di perairan yang diperebutkan.
Negosiasi tersebut, yang dimulai pada tahun 2002, dilanjutkan di Jakarta pekan lalu setelah tertunda oleh pandemi virus corona.
Pada Jumat, Sidharto mengatakan bahwa Indonesia dan anggota ASEAN lainnya ingin kode perilaku untuk laut tersebut menjadi "efektif, substansial, dan dapat dilaksanakan".
Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan telah meningkat karena China telah menegaskan kedaulatannya atas sebagian besar perairan dengan membangun pulau-pulau buatan yang memiliki fasilitas militer, mengerahkan kapal penjaga pantai, dan memberlakukan larangan penangkapan ikan, yang memicu protes dari klaiman lain serta dari Washington.
Pada tahun ini, Indonesia sebagai ketua ASEAN berharap dapat menggunakan pengaruhnya sebagai negara terbesar di Asia Tenggara untuk mempercepat penyelesaian negosiasi. Pembicaraan yang berakhir pada 8 Maret adalah putaran pertama negosiasi tahun ini setelah pertemuan di Kamboja pada Oktober 2022.
Muhammad Arif, dosen hubungan internasional di Universitas Indonesia, mengungkapkan keraguan tentang kemampuan hotline untuk mengurangi ketegangan.
“Sejauh menjadi tindakan simbolis dan upaya untuk mencari pendekatan baru, saya pikir ini adalah perkembangan positif,” katanya, “tetapi masalahnya bukan karena ketiadaan sarana komunikasi melainkan kemauan untuk berkomunikasi.”
“Langkah signifikan”
Pakar China dan Ketua Pusat Studi China, Rene Pattiradjawane, menanggapi positif rencana pengujicobaan hotline tersebut dengan menyebutnya sebagai, "langkah signifikan membangun kepercayaan dan keyakinan antara pihak-pihak terkait."
Dengan keberadaan saluran itu, Rene menyebut pejabat Kementerian Luar Negeri Indonesia nantinya dapat berbicara langsung dengan sejawatnya di ASEAN dan China jika terjadi sesuatu di Laut China Selatan.
"Dengan membangun jalur komunikasi langsung ini (hotline), tinggal angkat telepon dan bisa berbicara langsung secara cepat dan efektif dalam menyelesaikan insiden demi mencegah terjadi konflik yang lebih besar," kata Rene kepada BenarNews.
"Ini (hotline) adalah saluran diplomatik yang penting. Langkah membangun kepercayaan antara negara anggota ASEAN dan China, sehingga masing-masing kementerian luar negeri bisa bertukar informasi dan pandangan atas persoalan yang muncul di LCS (Laut China Selatan)."
Perihal berlarutnya penerapan hotline, Rene menilai mencapai kesepakatan sebelas negara terkait hotline memang bukan ihwal yang mudah.
"Banyak detail yang dibahas dengan 11 negara, sehingga susah meyakinkan bahwa ini adalah cara yang benar.”
Pada 2002 ASEAN dan Beijing menandatangani Declaration of Conduct untuk penyelesaian sengketa damai di Laut China Selatan, namun dalam pelaksanaannnya kesepakatan itu sulit dilakukan.
Pengajar hubungan internasional Universitas Bina Nusantara Dinna Prapto Raharja mengatakan, potensi keberhasilan hotline terkait Laut China Selatan akan bergantung pada banyak hal, terutama perihal teknis dan logistik.
Ia merujuk pada kesepakatan soal lokasi pemasangan hotline serta keberanian Pemerintah Indonesia untuk berinvestasi sumber daya untuk mewujudkannya.
"Pertama dan terpenting agar hotline ini berjalan adalah ASEAN harus menyetujui di antara 10 --minus Myanmar-- di mana hotline ini akan dipasang. Indonesia sebagai penggiat saat ini harus berani menginvestasikan sumber daya untuk mewujudkannya,” ujarnya.
“Jika ASEAN mengandalkan dialog dengan China atau membuat China berinvestasi dalam hal ini, kita tahu itu akan kembali gagal," kata Dinna kepada BenarNews.