HTI Gugat Perppu Ormas ke MK
2017.07.18
Jakarta

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) resmi mendaftarkan gugatan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Selasa, 18 Juli 2017.
Gugatan itu didaftarkan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra selaku penasihat hukum HTI. Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia periode 2001-2004 itu berharap MK membatalkan seluruh isi Perppu yang dikeluarkan pemerintah pada 10 Juli lalu.
"Atau setidaknya beberapa pasal yang terdapat dalam Perppu yang kami anggap bertentangan dengan UUD 45," katanya kepada wartawan usai mendaftarkan gugatan.
Menurutnya, ada pasal mengandung ketakjelasan norma, seperti yang menyebut suatu Ormas bisa dibubarkan karena menyebarkan paham bertentangan dengan Pancasila.
"Pasal itu bisa digunakan secara sewenang-wenang oleh pemerintah," katanya.
Menko Polhukam Wiranto dalam pernyataannya kepada wartawan, Senin, menegaskan Perppu Ormas demi kepentingan NKRI untuk menyelamatkan bangsa dan negara.
"Ini sangat demokratis, maka sungguh sangat heran tatkala kita mengatakan pemerintahan Presiden Jokowi-JK tidak demokratis. Menko Polhukam omongnya semena-mena (diktator). Nah, diktator mana? Coba dijaga ini," katanya seperti dikutip dari laman detik.com.
"DPR nanti meneliti lagi, memberikan persetujuan apa tidak. Setelah DPR setuju pun, ada proses lagi meneliti ormas-ormas mana yang kira-kira nggak beres, diberesin," tambahnya.
Banyak kekurangan
Namun, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai Perppu Ormas itu memiliki banyak kekurangan. Salah satunya adalah proses pembubaran ormas tidak melalui pengadilan.
“Sehingga pihak yang dibubarkan tidak bisa melakukan pembelaan,” ujar Komisioner Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron, kepada BeritaBenar, Senin, 17 Juli 2017.
Kelemahan lain, lanjut Nur, kurangnya bukti kondisi kedaruratan yang dihadapi negara, seperti diamanatkan dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Ormas.
“Analisa situasi kegentingan harus jelas dan terukur dengan data-data valid. Misalnya semakin banyaknya kegiatan radikal yang mengarah pada tindakan terorisme dan membahayakan hak hidup sebagian besar orang di Indonesia,” tegas Nur.
Untuk itu, Nur meminta pemerintah untuk merevisi Perppu tersebut. Komnas HAM, lanjutnya, juga akan memproses laporan HTI, sebagai ormas pertama yang terancam dibubarkan karena mengampanyekan khilafah.
Pro Kontra Menguat
Sejak Perppu dikeluarkan, dukungan dan penolakan dari berbagai kalangan menguat. Mereka yang menolak antara lain Human Rights Working Group (HRWG), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan beberapa lembaga bantuan hukum di Indonesia.
AJI menilai Perppu Ormas telah mengabaikan hukum dan demokrasi. “Malah bisa dipakai untuk memberangus kebebasan berserikat warga negara,” ujar organisasi profesi wartawan itu dalam pernyataannya, 13 Juli 2017.
Ketua AJI, Suwarjono, mengatakan Perppu Ormas justru menghapuskan mekanisme uji lembaga peradilan padahal UU No. 17 tahun 2013 tentang Ormas telah mengatur rinci setiap tahapan yang harus dilalui, mulai peringatan tertulis hingga tiga kali, penghentian bantuan, penghentian sementara kegiatan, pencabutan surat keterangan terdaftar, hingga pencabutan status badan hukum melalui pengadilan.
“Jika ada kekurangan UU Ormas, silakan revisi bersama DPR. Bukannya mengeluarkan Perppu dengan menghapus bagian penting dari jaminan kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi,” ujar Suwarjono.
HRWG menilai Perppu Ormas justru memperkenalkan tindak pidana baru, yaitu memperluas unsur pidana ujaran kebencian terhadap pemerintah.
“Dengan ada klausul permusuhan terhadap penyelenggara negara, Perppu ini membangkitkan kembali tindakan anti-subversif yang pernah ada di masa lalu,” tegas Direktur Eksekutif HRWG, Muhammad Hafiz, dalam rilisnya.
Sejumlah lembaga bantuan hukum menilai Perppu Ormas itu tidak punya syarat kebutuhan mendesak seperti seperti misalnya kekosongan hukum.
“Syarat tidak terpenuhi karena tak adanya kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas,” tegas Ketua Badan Pengurus Yayasan Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, dalam pernyataan bersama 14 LBH lain.
Namun, Perppu Ormas juga mendapat dukungan sejumlah organisasi, seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, SETARA Institute, dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdatul Ulama, Rumadi, mengatakan NU selama ini keras terhadap organisasi-organisasi yang mengancam Pancasila lewat gerakan-gerakan politik dan meminta pemerintah bertindak tegas.
“Ancaman nyata bukan ideologi semacam komunisme dan ini tidak di-cover oleh peraturan-peraturan yang ada. Memang langkah ini dinilai setback terhadap demokrasi, mengembalikan otoritarianisme,” ujar Rumadi dalam jumpa pers, Jumat lalu, “kita harus kawal Perppu agar tidak menindas kelompok minoritas,” ujarnya.
Sekjen Peradi, Sugeng Teguh Santoso, menilai syarat kesegeraan untuk menerbitkan Perppu itu sudah terpenuhi dan Presiden memiliki hak yang dijamin konstitusi.
“Revisi UU memakan waktu lama, sementara kondisi mendesak,” ujarnya.
Meski demikian, lanjut Sugeng, pelaksanaan Perppu harus selektif. Sebagai advokat yang kerap membela kelompok minoritas yang sering ditindas, dia mengatakan Perppu harus melindungi mereka.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus, menambahkan keberadaan kelompok intoleran semakin mencemaskan sejak Pilkada DKI, yang dampaknya mulai terasa ke seluruh Indonesia.
“Perppu walaupun terlambat dinilai tepat, khususnya untuk melindungi minoritas,” ujarnya.
Sedangkan Ketua SETARA Institute Hendardi menyebut Perppu itu sebagai jalan konstitusional bagi pemerintah untuk mempercepat suatu proses.
“Pemerintah punya otoritas mendefinisikan ancaman bahaya dan dalam saat tertentu butuh langkah politik yang tegas,” katanya.