Aktivis Keluhkan Lemahnya Pengetahuan Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan
2018.11.29
Jakarta

Korban kekerasan seksual di Indonesia jarang mendapat keadilan karena kasus seperti itu jarang diproses, dianggap tabu dan bahkan tidak dianggap kejahatan, sementara penegak hukum dan peradilan kerapkali cenderung menyalahkan korban, kata aktivis perempuan dan seorang hakim.
Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan, Albertina Ho, mengakui kondisi di peradilan juga masih kurang memihak pada korban kekerasan seksual.
Bahkan masih ada hakim yang menyalahkan keadaan korban seperti cara berpakaian, status pekerjaan seperti PSK, kata Albertina dalam diskusi Mewujudkan Keadilan Gender di Jakarta, 29 November 2018.
"Pernyataan seperti 'Kenapa pakai rok mini?' atau 'Tapi Anda menikmati kan?' padahal itu pemerkosaan kan tidak pantas," kata dia.
Dia mengatakan norma hukum yang ada cenderung melindungi pada hak tersangka dan terdakwa.
"Tapi hak untuk korban sama sekali tidak ada, korban bersaksi sendiri dan tidak didampingi pendamping hukum," kata dia.
"Ada keterbatasan pengetahuan tentang hak hukum, keterbatasan keuangan dan keterbatasan akses ke penasihat hukum," lanjutnya.
Bahkan, ujarnya korban harus bersaksi dalam satu ruangan dengan terdakwa sehingga menimbulkan perasaan yang tidak nyaman.
"Korban jadi takut kalau terdakwa nya saja melotot ke arah dia," ujar dia
Merespon masalah itu, MA menerbitkan Peraturan MA No.3 tahun 2017 tentang perempuan sebagai korban dan pelaku yang harus dilindungi.
Seperti yang dialami oleh Baiq Nuril, korban yang justru divonis 6 bulan penjara karena menyebarkan rekaman pelecehan seksual yang dia alami.
Nuril dikenakan pasal 27 ayat 1 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"MA juga memberikan pelatihan kepada hakim-hakim dalam mengadopsi peraturan MA mengenai kekerasan terhadap perempuan," kata Albertina.
Terdapat 7000 hakim dan 1400 hakim muda di seluruh Indonesia yang akan menerima pelatihan di seluruh Indonesia.
"Tantangan banyak sekali banyak aparat penegak hukum yang tidak memiliki perspektif gender, oleh karenanya kita mulai sedini mungkin ketika mereka jadi hakim," kata dia.
Pengurus LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Ratna Batara Munti, mengatakan banyak korban pelecehan seksual tidak melapor.
"Seringkali ketika pelaku kekerasan memiliki hubungan dekat dengan korban seperti pacar, suami yang terjadi hukuman menjadi ringan karena dianggap korban 'bukan perempuan baik-baik'," kata dia.
Ratna berharap pemerintah (Kemensos) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPS) bisa berada di depan untuk memikirkan bentuk perlindungan yang tepat untuk mereka.
"Rumah Aman yang ada sangat minim. Seharusnya tidak ada plang nama nya, dan lokasi rahasia sehingga tidak bisa menerima intervensi dari pihak manapun," kata dia.
Berdasarkan Laporan Komnas Perempuan, terdapat 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2017.
Peran Masyarakat
Penasihat Senior EU-UNDP Support for the Justice Sector in Indonesia (SUSTAIN) Gilles Blanchi mengatakan masalah pelecehan seksual dam kekerasan terhadap perempuan serta kerusakan lingkungan merupakan isu yang akhir ini mengemuka.
“Masyarakat dapat berperan membantu aparat hukum dalam melaporkan kasus tersebut agar meningkatkan kesadaran kaum muda bahwa pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan adalah masalah kita semua," kata dia.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung RI mengatakan pihaknya telah menerbitkan peraturan tentang penanganan perempuan ketika berhadapan dengan hukum.
"Tapi menerbitkan ini belum menyelesaikan persoalan. Oleh karena itu, lembaga/akademisi/masyarakat bisa memantau apakah penerbitan itu benar-benar membuat perubahan. Peran serta masyarakat juga dibutuhkan," kata dia.
Ketua Pusat Studi dan Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah mengatakan lemahnya pengetahuan hukum masyarakat menjadi salah satu tantangan utama dalam upaya mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan pelecehan seksual.
"Keterbatasan pengetahuan korban atas proses hukum, viktimisasi dan kurangnya dukungan jadi masalah sehingga mereka rentan terhadap kasus kekerasan atau pelecehan seksual," kata dia.
Ia mencatat, setidaknya dalam sehari terdapat tidak pekerja migran yang mengalami kasus kekerasan. Saat ini, 85% dari sekitar tujuh juta warga Indonesia (WNI) yang menjadi buruh migran merupakan perempuan.
Anis menyebut, ada juga kalimat intimidatif yang dilontarkan hakim di Indonesia terhadap korban kekerasan sehingga korban menjadi takut.
Selain itu, banyak pemberitaan media yang tidak berpihak pada korban dan menyudutkan korban. "Banyak yang hanya mementingkan click bait saja.”